Minggu, 05 April 2020

LA LA LAND

Sc: Google

Apa yang akan terpikir setelah membaca judul posting blog ini? Pastinya soal film yang sempat rilis dan ramai dibicarakan orang-orang, termasuk kamu, bukan? Yap. Tentu. Hanya saja, aku tidak termasuk ke dalam ke'ramai'an itu. Dan sekarang, setelah sepi, aku baru mencari dan akan mencoba memahaminya. Alasan-alasan kenapa dunia sempat sibuk membahas film ini.

Ah, haruskah kujelaskan bagaimana akhirnya aku bisa tertarik untuk ikut berpendapat soal film ini? Oke jadi, pertama-tama, tentu saja aku tidak mungkin tiba-tiba penasaran. Sangat amat bukan Alya yang kukenal selama hidupku. Jadi tentu saja ada dorongan eksternal yang membuatku ingin tahu, bahkan memaksanya untuk tahu, dan akhirnya memilih menonton La La Land

Dorongan eksternal yang datang padaku adalah kalimat dari salah satu temanku; "Eh Al, aku baru beres nonton film yang sama ke sekian kalinya," yang datang pada chat WhatsApp. "Setidaknya setahun 2 bulan sekali. Dan itu di bioskop aku nonton entah berapa kali. Pas awal2 lebih gila," katanya melanjutkan. Haruskah kukira-kira? La La Land rilis 12 Januari 2017 (berdasarkan hasil googling). Anggaplah temanku mulai menontonnya via streaming sejak 2018, setahun ada 12 bulan, dan sekarang sudah April.

Baiklah, setidaknya selama 2018 dan 2019 ia menontonnya 12x dan di 2020 ini anggaplah dia sudah menontonnya 2x maka jumlahnya 14x. 14x dan itu belum termasuk yang ia tonton di bioskop dan di waktu gabutnya. Wow. Sungguh banyak hal sia-sia yang dilakukan manusia di dunia ini untuk hal-hal yang disukainya.

Oh, sebentar. Soal sia-sia; akan aku tarik kembali. Tidak ada hal sia-sia yang mampu membuat hati senang. Kita hanya punya preferensi yang berbeda untuk bahagia. Jadi soal sia-sia, aku tarik kembali namun tak akan kuhapus. Itu bentuk kejujuranku pada temanku sendiri, aku tidak ingin curang dan berbohong. Sebab pertama kali mendengar fakta seringnya ia menonton La La Land, memang itulah yang lewat dipikiranku.

Sebenarnya aku ragu menulis review film ini. Aku takut mengecewakan temanku, sang La La Land's Holic; tentang bagaimana sudut pandangku bisa saja berbeda dengan penilaiannya. Tapi biarlah. Biarlah kami berteman dengan perbedaan. Toh selama ini perkara telur matang dan setengah matang saja kami tidak pernah kompak. Maka akan kumulai;

Pertama, aku suka poster filmnya. Ini penting menurutku, sebab menarik minat orang-orang untuk memutuskan akan menonton filmnya atau tidak. Ingat kalimat, dari mata turun ke hati? Ilmu marketing juga bersumbu pada kalimat itu. Aku banyak googling bagaimana poster-poster La La Land lain yang dirilis, dan menurutku semuanya bagus.



Sc: Google

Kedua, aku suka jalan ceritanya. Sebenarnya film ini simple saja; tentang 2 orang yang berusaha keras mengejar mimpinya, bertemu, jatuh cinta, lalu terpisah dengan alasan yang sama. Pisah untuk mengejar mimpi masing-masing, sebab pengorbanan memang selalu begitu adanya. Kita tidak bisa mendapat semua yang kita inginkan. Mutlak hukumnya.

Namun yang membuatnya menarik adalah bagaimana ceritanya berjalan. Dari satu plot ke plot yang lain. Disusun dengan ringan, mudah dimengerti meski alurnya maju-mundur dan terselip twist diberbagai tempat. Tapi ceritanya rapih sekali. Ceritanya seperti mengajak kita untuk ikut melangkah satu demi satu, runtut, terkemas dengan sederhana dan dapat dipahami dengan baik.

Ketiga, "percakapan, lirik, gambar, acting, musik, jangan lupain itu semua", gitu kata temanku. Maka sejak aku nawaitu menontonnya, aku berusaha menempatkan diri sebagai penggemar La La Land nomor 1 meski belum tahu kearah mana aku akan dibawa pada film ini. Aku menaruh ekspektasi tinggi, dan fokus pada 5 hal yang temanku sebutkan. Lalu keputusanku setelah menontonnya; aku setuju. 

Percakapan dan lirik yang ada di film ini banyak yang berkesan, bahkan sejak dari opening. So I bang on every door. And even the answer is no or when my money is running low. The dusty mic and neon glow are all I need♪♪♪

I'm reaching for the heights. And chasing all the lights that shine. And when they let you down, you get up off the ground. 'Cause morning rolls around. And its another day of sun♪♪♪

Dan kurasa (dan semua orang) legend dari deretan lirik yang ada di film ini adalah; here's to the ones who dream. Foolish as they may seem. Here's to the hearts that ache. Here's to the mess we make♪♪♪

A bit of madness is key. To give us new colors to see♪♪♪

Semua rangkaian liriknya memang sesuai dengan tema "impian" yang ingin disuguhkan pada film ini. Itulah doktrin yang secara tidak langsung ingin disampaikan pada penonton untuk ikut berjuang pada mimpi masing-masing. Bahwa bekerja keras memang hampir selalu mengkhianati hasil, jadi usahlah banyak mengeluh. Memang begitu adanya. Memang semua manusia adalah manusia gagal. Kalau ada manusia yang berhasil, maka jumlah gagalnya sudah pasti lebih banyak dari jumlah gagalmu. Tetaplah berjalan dan gagal. Itu lebih baik daripada hanya berdiam diri.

"I don't think I'm gonna like her. Does she like jazz?"
"Probably not,"
"Then what are we gonna talking about?"
-mengapa aku suka sekali pembahasan ini? Maksudnya, well, aku setuju seribu persen bagaimana ketertarikan seseorang akan sesuatu mampu menentukan tingkat komunikasi yang terjalin.

"Why do you say "romantic" like it is a dirty word?"
"Unpaid bills are not romantic,"
-oke aku bahkan tidak perlu membahas ini.

"You're acting like life's got me on the ropes,"
"I wanna be on the ropes,"
"I'm letting life hit me 'til it gets tired,"
"Oh? Then I'm gonna hit back,"
-BOOM!! THE POWER OF THOSE WORDS.

Satu hal yang paling aku apresiasi dari film ini adalah dance!! Mulai dari openingnya saja aku sudah kagum. Tidak bisa aku bayangkan bagaimana kerasnya setiap dancer berlatih tiap harinya untuk mempersembahkan tarian pembuka pada film ini. Belum lagi kru-kru lain yang pastinya harus mengatur timing antara pengambilan gambar dan gerakan dance. Lalu para cameraman-nya yang pastinya perlu bekerja keras bagaimana baiknya sisi pengambilan gambar pada film ini. Belum sewa jalan, mobil, melawan terik matahari, dan lain-lain-lain-lainnya yang kalau kujelaskan satu persatu mungkin bisa jadi jurnal.

Lalu scene Mia dan Sebastian yang menari di bawah hamparan langit ungu. Setelah beberapa platform kulalui, aku mengetahui fakta bahwa shooting-nya dilakukan saat subuh untuk mendapat magic hour. Wow. Pantas saja bisa semegah itu. Apalagi katanya itu dilakukan dengan one-take. Tidak bisa kubayangkan kalau salah satu dari mereka ada yang membuat kesalahan, maka harus diulang secara keseluruhan. 

Oke, lanjut aja ya ke point keempat; udahan sih, aku hanya terpikir sampai tiga point WKWKWKW. Barusan temanku datang, aku bilang reviewnya sedang kukerjakan. "Tapi kayaknya Alya gaakan nonton untuk kedua kali deh," ucapku padanya. Memang kuakui bagusnya film ini, namun tidak masuk seleraku. Aku juga bukan tipe orang yang suka mengulang nonton film sebab sudah tahu bagaimana jalan hingga akhir ceritanya.

Satu hal yang kupahami setelah menonton La La Land; cinta dan mimpi memang tidak pernah menyenangkan. Banyak skenario lain yang bisa terjadi atas hal-hal lain yang tidak kita ambil, namun masa sekarang akan terus berjalan ke masa depan. Sementara di masa sekarang hal-hal yang sudah kita tinggalkan ada di masa lalu, tentunya tidak akan membersamai kita di masa depan. Skenario-skenario panjang dan indah yang mungkin saja terjadi itu hanya mampu tergambar dan berjalan pada pikiran. Ironi hidup memang sesadis itu.

*ps:
Tadi dia menyuruhku untuk memberi rating. Hmmm 7/10? Dia sempat bilang, "jangan di pause, jangan di skip" ketika aku menontonnya. Hampir ku pikir dia juga akan bilang, "jangan napas", yak biar mati sekalian. Namun kenyataannya aku perlu 2 hari untuk menontonnya. Berarti seleraku memang bukan pada genre film ini meski keseluruhan film ini tetap membuatku terkesan. -3 pada ratingku adalah representasi dari perbedaan seleraku.

*pss:
Apalagi yang harus kutonton setelah ini?


Senin, 30 Maret 2020

AYAH

Sc: Google

Segala hal dalam hidup ini terjadi tiga kali, Boi. Pertama lahir, kedua hidup, ketiga mati. Pertama lapar, kedua kenyang, ketiga mati. Pertama jahat, kedua baik, ketiga mati. Pertama benci, kedua cinta, ketiga mati. Jangan lupa mati, Boi.”

29 Maret 2020, 01:07 waktu Hongjo, Saitama. Saat ini, mempertimbangkan waktu yang sedang berjalan, tentu saja bisa ditebak aku sedang rebahan di atas kasur. Ditemani lagu dari Joox yang mengiringiku mengetik. Merdu suara penyanyi kadang terhenti untuk mendengar Tokopedia jual barang, kadang entahlah apa pokoknya harus menunjukkan bahwa aku bukan pengguna premium jadi terimalah nasib yang ada. 

"Cinta adalah kata yang asing. Cinta adalah racun manis penuh tipu muslihat. Cinta adalah burung merpati pada topi pesulap. Cinta adalah tempat yang jauh, sangat jauh, dan urusan konyol orang dewasa".

Aku baru saja selesai membaca novel Ayah karya Andrea Hirata. Alasan mengapa aku bisa melabuhkan senggang pada novel ini karena salah seorang temanku yang tak suka membaca mengatakan bahwa ia berhasil menyelesaikan novel Ayah yang tebalnya tak kurang dari 300 halaman. Saking tak sukanya membaca, ia hanya akan membaca posting blog-ku kalau ada namanya. Maka aku tak mau kalah, jadi meski aku membahasnya, tak akan kutulis namanya pada postingan ini meski hanya panggilannya. Biarlah ia tak perlu tahu ada tulisan ini, tak perlulah ia membacanya.

Aku ingat-ingat bagaimana novel ini sejak dulu punya tempat khusus dihatiku. Sejak dari judul, aku memang punya ekspektasi tinggi terhadap novel ini. Sebab sejak dalam tetralogi Laskar Pelangi hingga Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas, rangkaian kata Andrea Hirata saat mengisahkan seorang "ayah" sungguh fantastis. Tak habis-habis aku dibuatnya kagum. Berderai-derai pengorbanan "ayah" yang Andrea ceritakan, berderai-derai pula terharuku.

Masih kuingat perjuangan Zamzami, ayah Enong pada Padang Bulan. Seorang ayah sederhana yang hidupnya hanya ia dedikasikan pada keluarga. Sempat mengenalnya merupakan salah satu pengalaman yang indah sekaligus mengharukan. Sebab Zamzami diceritakan meninggal, tertimbun timah, terhujam ke dalam tanah galian, ia sudah tak ada. Ia pergi dengan sejuta inspirasi untukku. Kini, aku mengenal sosok ayah baru yang juga menginspirasiku; Sabari.

Sabari, namanya. Dinamai demikian agar ia memiliki sifat sabar seperti namanya. Sabari bin Insyafi, lengkapnya. Sungguh nama memang sebuah doa, kongsi terang-terangan antara Tuhan dan orang tua. Maka tumbuh, besar, dan hiduplah Sabari sesuai dengan namanya.

Ditimpa musibah, ia senyum. Ditolak mentah-mentah, ia mengais-ngais syukur. Dicemooh, ia acuh. Dipandang rendah, ia sadar diri. Memang tak ada bagus-bagusnya ia sebagai manusia kecuali sifat sabarnya. Sifat sabarnya itu yang selalu menyelamatkannya berkali-kali. Membuatnya berusaha dua-tiga-bahkan empat puluh kali lipat dibanding orang lain. Membuat juangnya tak pandang lelah, terus mencoba. Gagal, bangun. Jatuh, berdiri. Tersungkur, merangkak. Tumbang, terseok-terseok bangkit. Begitulah Sabari diceritakan.

Berbeda dengan ayah lain, Sabari menjadi ayah tanpa perlu jadi ayah. Kalau kalian tak paham, pun aku tak paham bagaimana cara menceritakannya. Jadi kusarankan untuk membacanya sendiri. Bacalah, dan terkagum-kagumlah pada tokoh Sabari yang menjadi peran utama pada novel ini.

"Tuhan selalu menghitung, dan suatu ketika, Tuhan akan berhenti menghitung".

Diceritakan Sabari hanya mencintai sekali, pada hanya seorang perempuan, hingga mati menjemputnya. Marlena binti Markoni, perempuan manis berlesung pipit, pemberontak, pecontek kelas kakap, berpendirian batu sekeras karang. Sungguh tidak ada bagus-bagusnya jika kudeskripsikan demikian, namun begitulah adanya. Namun sejelek-jeleknya Lena diceritakan, ia adalah perempuan yang membuatku takjub atas jalan hidupnya. 

"Lena bukanlah tipe lampu hijau, lampu kuning, lampu merah. Dia hanya akan memperingatkan sekali, setelah itu tiada maaf, khatam, tamat, the end, finito, game over". Lena adalah perempuan merdeka yang mampu bertanggungjawab atas pilihan-pilihan yang ia ambil dalam menjalani kehidupan. "Dapat mengambil keputusan sendiri adalah kemerdekaan yang indah" begitulah kuatnya karakter Lena. "Aku tak menyangkal bahwa banyak peristiwa masa lalu yang kusesali sekarang. Karena waktu itu aku muda, bodoh, dan marah. Namun, bukankah kita tidak benar-benar hidup jika kita tidak hidup tanpa penyesalan?".

Prinsip-prinsip 'batu' yang dianut oleh Lena sebenarnya menyuarakan pendapat perempuan-perempuan yang selama ini sulit berkata apa yang benar-benar ingin dijalaninya. Apa-apa yang sungguh ingin dilakukan perempuan tanpa takut dipandang aneh. Oh iya ada satu pesan Lena yang kurasa perlu kusampaikan; "pesannya untuk kawan-kawannya terutama dirinya sendiri, jika menghadapi pasangan yang selingkuh: get out, don't look back. Hidup ini terlalu singkat untuk dilewatkan dengan orang yang tak setia. Penyelewengan adalah penyakit kambuhan yang harus dibasmi dengan sekali bidik. Selingkuh ibarat ular yang menggigit ekornya sendiri, tak akan berkesudahan".

"Dalam peri kehidupan manusia, sebelum nasib sial menghantam bertubi-tubi, menganggur, tak lolos audisi, kena PHK, kena tipu, utang membelit, prahara rumah tangga, ekonomi sulit, berupa-rupa penyakit tiada jeda menghantam sampai napas tersangkut di tenggorokan, lalu mati, nasib memanjakan manusia dengan satu masa yang hebat: SMA". 

Dimulai sejak ujian masuk SMA, lalu bersekolah di SMA yang sama. Entah berapa puisi Sabari tulis yang pastinya dihiraukan oleh Lena. Entah berapa request lagu di radio yang pastinya tidak digubris oleh Lena. "Khalayak ramai tak habis pikir melihat seorang lelaki hanya terpaku pada satu perempuan, tak dapat dibelok-belokkan ke perempuan lain, seolah dunia ini hanya selebar saputangan Lena".

Jika kisah cinta biasa, laki-laki hanya akan memberi bunga dan coklat. Tapi yang Sabari berikan adalah buku tulis hasil kerja kerasnya memenangkan lomba. Berjam-jam latihan baris berbaris karena Lena suka laki-laki demikian. Menjabat sebagai penggulung kabel di band, juru hapus papan tulis, penunggu pohon akasia, dan segala hal-hal tak masuk akal lain demi merebut perhatian Lena. Namun bagai menjaring angin, jangankan diberi balasan baik oleh Lena, dilirikpun tidak. Perjuangan Sabari, selalu ditolaknya mentah-mentah. Lebih mentah dari getah karet yang mengurai keluar dari pohonnya.

"Filosofi hidupnya adalah mencintai seseorang merupakan hal yang fantastis, meskipun orang yang dicintai itu merasa muak"

Namun, dari seribu jalan yang ditempuh Sabari, dari tumpukan kisah heroiknya memperjuangkan Lena, Sabari pernah hampir menyerah. Ia demam berhari-hari karena gundah gulana, hampir gila kehilangan akal sehat, bahkan sedikit lagi memilih kelar sekolah. "Bagaimana dia bisa ke sekolah kalau sekolah telah menjadi neraka? Dia bertekad meninggalkan sekolah. Bahkan, ayahnya tak bisa membujuknya. Mungkin bagi banyak orang hal itu absurd. Hanya karena cinta? Namun, mengingat banyak orang di dunia ini menjerat leher mereka sendiri karena cinta, bolehlah tindakan Sabari disebut konyol, tetapi tidak luar biasa". 

Entahlah. Aku tak paham. Sebab konsep patah hatiku justru sebaliknya. Konsep patah hatiku mengharuskan aku untuk tetap bangun pagi, menjalani hari dengan letih hati, lalu dipandang aneh sebab lesu punggungku macam dunia hampir longsor seutuhnya. Biarlah. Biarlah dipandang malas hidup dengan tetap lunglai berjalan melewati hari demi hari. Mereka tak paham karena aku merasa tak perlu menjelaskan. Sebab sulit menggambarkan langit runtuh dihadapanku padahal matahari jelas-jelas masih tergantung terang-terang.

Aku tidak kabur. Aku tidak lari. Atau justru sebenarnya kabur dan lariku adalah dengan melanjutkan kehidupan seperti biasa? Toh sebelum patah hati pun hidupku baik-baik saja, jadi aku ingin semua baik-baik saja kembali. Jadi, entah aku atau Sabari, salah satu dari kami menjalani konsep patah hati yang salah.

"Mengapa tak ada hukum yang menjerat orang-orang yang suka main-main dengan cinta? Baginya cinta adalah perbuatan buruk yang dilindungi hukum".

Namun boleh aku jumawa sedikit? Bahkan tanpa perlu menanyakannya, kurasa konsep patah hatiku lebih masuk akal hingga Sabari pada akhirnya menyerah. Ia kalah, dan memilih mencoba konsepku. Meski pada akhirnya, tak ada konsep yang lebih baik antara milikku dan miliknya. Kami tetap sama, kami tetap kalah.

"Dia mau kerja berat membanting tulang. Dia mau tubuhnya hancur setiap pulang kerja, lalu jatuh tertidur lupa diri. Bangun tidur dan bekerja keras lagi. Semua itu karena dia mulai bertekad untuk melupakan Lena. Ini kemajuan. Barangkali semakin dewasa dia semakin bijak".

Salah satu hal yang paling kusukai dari Sabari adalah hobinya yang senang menulis puisi. "Puisi adalah salah satu temuan manusia yang paling indah". Benar. Aku setuju. "Jika dia berkata, matanya bersinar memancarkan kecerdasan berbahasa". Benar. Aku sungguh kagum. "Jangan sungkan berpantun, berpepatah. Pantun adalah madu bahasa, pepatah adalah harta bahasa. Kata-kata itu mencerminkan kualitas watak orang yang menyampaikannya". Benar. Pun aku berpendapat demikian.

Ada satu puisi Sabari yang sangat kusukai; 
Tanpa tempat mengadu, Sabari hanya mengadu pada puisi. Jika dia rindu kepada Lena, berlembar-lembar puisi ditulisnya.
Rindu yang kutitipkan melalui kawan
Rindu yang kutinggalkan di bangku taman
Rindu yang kulayangkan ke awan-awan
Rindu yang kutambatkan di pelabuhan
Rindu yang kuletakkan di atas nampan
Rindu yang kuratapi dengan tangisan
Rindu yang kulirikkan dalam nyanyian 
Rindu yang kusembunyikan dalam lukisan
Rindu yang kusiratkan dalam tulisan
Sudahkah kau temukan?

Sabari tumbuh dan besar dengan puisi bukan dengan sendirinya. Namun ayahnya yang berjasa membawanya pada dunia dimana kata-kata mampu disusun sedemikian indah. "Telah kucoba menulis puisi, namun rupanya hanyalah mereka yang disayangi Tuhan yang mampu menulis puisi. Puisi-puisimu akan menjadi utang asmaraku untukmu". Aih. Bukan main.

Membaca novel ini seperti mengisi baterai pada waktu senggangku. Meski kuperlukan 2 malam full untuk menghabiskannya. Lalu 2 malam full lagi untuk meriewnya. Tak apa. Aku senang melakukannya. Kalau senang, maka aku berada dijalur yang benar. 

Awal-awal membacanya, ceritanya memang pontang panting kesana sini. Membawaku pada dunia satu ke dunia lain. Macam ujung-ujung benang yang kemudian menyatu padu dan rangkaplah semua ceritanya. Ini menjadi semakin dramatis karena pada BAB berjudul Biru, semuanya berlabuh. Indah sekali. Seindah warna biru itu sendiri. 

Maka akan kututup saja review panjang lebar ini dengan; "cinta sejati akan melemparkanmu pada sebuah tempat yang dari situ kau dapat melihat segala sesuatu dalam hidupmu dengan jernih". Aku harap kalian bisa cepat-cepat membacanya. Lalu tenggelam dalam kisah Sabari sang "ayah".



Minggu, 22 Maret 2020

MENUJU SAITAMA DAN MELAMPAUINYA

2 Maret 2020, 8:40, 6° setelah mengendarai sepeda melewati hujan dan sekarang sedang duduk di depan loker kerja. Beberapa menit menuju zengtaichourei (apel pagi) perusahaan. Agak deg-degan sedikit, sebab harus memperkenalkan diri di depan karyawan-karyawan di sini. Doakan. Nanti aku akan kembali dan menulis lagi.

23:34, masih di hari yang sama. Aku masih mengenakan kacamata, sebab baru selesai mengerjakan nikki (buku harian) dan memutuskan untuk datang ke sini. Sekarang lampu sudah padam, Jeje (teman magangku) sudah terpejam dalam selimutnya. Ah, perihal zengtaichourei, semua berjalan dengan lancar. Kami maju ke depan dan memperkenalkan diri sebagai pemagang Indonesia. Deg-degan? Tentu saja. Meski hanya kuucap, ohayou gozaimasu, Alya-desu. Yoroshiku onegaishimasu.

Baiklah mari kita mundur ke beberapa hari ke belakang. 13 Februari 2020, aku pindahan dari Toride, Ibaraki ke Hongjo, Saitama. Jaraknya ibarat Cikarang-Bandung, pun macam naik bus patas antar kota. Memang beneran naik bus, btw. Bedanya di sini kudu-wajib-harus pakai seatbelt, jadi lebih aman. Selama perjalanan tidak boleh berdiri. Dengan kata lain; jangan bar-bar.

Aku ingat betul bahwa sebelum masuk bis menuju Saitama, kami dibekali dengan meronpan, roti stroberi, dan sebotol air mineral. Hingga detik ini, sebotol air mineral itu adalah air mineral kemasan pertama dan terakhir yang pernah kuminum selama di Jepang. Kenapa? Karena aku selalu minum air kran wkwk air yang sama untuk air mencuci piring. Jadi derajatku kurang-lebih setingkat dengan piring kotor bekas makan yang ditumpuk di westafel. ENGGA IH GAK GITU:( Kan memang air kran di Jepang bisa diminum. Buktinya aku masih hidup, baik-baik saja, sehat, ceria, serta penuh suka cita.

Masih perkara air, walaupun sama-sama air kran, rasa air kran Toride dan Hongjo tuh beda. Air kran Toride lebih enak, dan dari segi warnapun lebih jernih. Air kran Hongjo butek dulu, lalu jadi jernih setelah beberapa saat wkwk ini gimana jelasinnya coba:( ya gitulah pokoknya. Padahal Hongjo nih desa banget jadi sempat bingung kenapa justru air krannya aneh. Tapi, anehnya, dari semua orang, ada satu yang berpendapat kalau Honjo punya air lebih bagus. Reksa, namanya. Sudah pasti lidahnya yang salah. Dari semua orang, hanya dia yang berpendapat demikian. Maka yang aneh sudah pasti dia. Yang salah juga dia. Lalu setelah diingat-ingat mengapa air kran Toride lebih enak, pengolahan sampah Toride jauh lebih kibishii (kejam) daripada Hongjo.

Setiap mengingat pengolahan sampah Toride, statement-ku masih sama; kalau Indonesia menerapkan pengolahan sampah macam Toride maka kurasa sebagian besar masalah negriku akan selesai. Bukan hanya dipisah antara organik dan non-organik, botol, kaleng, dsb tapi setiap kemasan yang mengandung makanan maupun minuman, sisanya harus dicuci dulu sebelum masuk bak sampah. Jadi misal aku makan ciki-ciki-an nih atau minum susu kartonan nah kemasannya itu harus dibongkar dulu, dibilas air, baru dibuang.

Sebagian besar teman-temanku sekarang lebih memilih untuk memasak airnya dulu sebelum diminum. Hanya aku dan kak Febi (teman magangku) yang tetap istiqamah minum langsung dari kran. Alhamdulillah semenjak kenal kak Febi, aku jadi tahu bahwa di dunia ini ada manusia yang lebih jarang mandi daripada aku. Rasanya seperti bertemu dengan guru yang lebih jelas visi misinya dalam kejorokan.

Kalau dihitung hari, maka ini hari ke-37-ku di Hongjo. Terhitung sejak 13 Februari hingga sekarang 21 Maret dimana note ini baru kubuka kembali. Banyak hal berubah, terutama rumah. Rumah baruku lebih baik. Sangat amat jauh lebih baik. Mulai dari segi design, luas, hingga fasilitas. Bahkan sebelum memasukinya aku sudah jatuh cinta. Selain rumah, aku punya 3 hal lain yang kusukai setelah pindahan; sepeda, WiFi pocket, dan setrikaan.

Sepedanya berwarna putih, bernomor 13, memiliki keranjang di depannya, dan boncengan di belakangnya. Tapi hukum di Jepang melarang naik sepeda berboncengan. Jadi selain untuk barang, boncengan itu hanya pajangan saja. Tidak bisa romantis-romantisan sepedaan berdua. Aku juga baru tahu kalo Jepang se-pro ini sama jomblo.

Kunci sepedanya kuberi gantungan kerang berwarna putih dengan mutiara sebagai pemanis. Cantik sekali, setidaknya, menurutku. Karena sekarang aku sedang di Jepang, aku rasa perlu mencari bahasa Korea-nya kerang (?) Dan ternyata bahasa Korea-nya kerang adalah keobtegi. Lucu:3 setidaknya, menurutku. Jadi kunamakanlah sepedaku demikian; keobtaegi.

Perihal WiFi pocket, ini sudah seperti nyawaku. Karenanya aku bisa mengakses internet. Mengakses internet berarti aku bisa menghubungi keluargaku, bertukar kabar dengan teman-temanku, sambat di twitter, hingga update tulisan di blog macam ini. Soal setrikaan, waktu di Toride we can't afford that thing so its nice to meet setrikaan here xixi.

Soal kehidupanku di tempat baru ini, hal pertama dan paling terlihat berbeda adalah; pemandangan. Bahkan saat masih diperjalanannyapun kami sudah ribut, "ko makin pedalaman ya?" WKWKW. Berbeda dengan Toride yang kanan-kirinya gedung-gedung, Hongjo mah dusun haha. Tapi anehnya justru kehidupanku di Hongjo lebih modern. Ya tapi sedusun-dusunnya Jepang juga inimah setara Jakarta-nya Indonesia. Dan karena seumur hidupku di Cikarang pemandangan yang bisa kulihat hanya angkot dan jalanan rusak, bisa tinggal di Hongjo adalah sebuah nikmat tiada tara.

Kalau perlu kudeskripsikan, maka pemandangan Honjo tuh kira-kira seperti ini; gunung berjejer gagah, sawah terhampar luas, semenanjung sungai dengan barisan pohon sakura...mantap dah pokoknya. Jadi pagi-pagi sejak berangkat kerja hingga parkiran sepeda viewnya wallpaper-able sekali. Belum lagi langitnya yang super bersih. Malaikat rasa-rasanya rajin sekali sapu menyapu di Jepang. Aku sempat berpikir, saat Allah menciptakan  Jepang, kurasa Ia sedikit pilih kasih. Namun Allah Maha Adil, maka sama seperti Indonesia, Jepang juga pasti banyak jeleknya. Bedanya kejelekan Indonesia sudah mengakar jadi susah dicabutnya.

Langit malamnya juga cantik bertabur bintang. Andai Adinda (temanku) ada di sini, dia pasti betah berlama-lama menatapnya. Kesukaanku adalah langit sorenya yang penuh warna dari biru ke pekat lalu kuning ke orange; megah sekali. Saat melihatnya kurasa Allah ingin berkomunikasi denganku; bahwa aku sudah berusaha dan melakukan yang terbaik, ayo berusaha lagi dan terus membaik.

Aku harap, langit manapun yang kamu tatap selalu mampu mendatangkan senyum pada lelahnya berjuangmu. Aku harap, meski lebih banyak langit mendung yang kamu lihat, kamu tetap percaya hari-hari lain yang akan datang. Hari-hari dimana bukan langit cerah yang menghiburmu, namun justru kamulah yang menghibur langit. Membuatnya bangga bisa menaungi semangatmu. Langit tahu, dia merekam semua lelahmu. Langit tahu, dia hanya perlu sedikit waktu untuk hadiah dari kerja kerasmu. Langit tahu, jadi ayo berusaha lagi dan terus membaik bersama.

Minggu, 01 Maret 2020

LAYAR TERKEMBANG

"Anak-anak muda sekarang suka benar menyebut perkataan berbahagia. Pada hal yang dinamakan berbahagia itu tiada diketahuinya"

Hongjou, Saitama. 23 Februari 2020.

Alhamdulillah akhirnya aku punya waktu untuk bermalas-malasan seharian. Beneran seharian yang bikin aku cuma rebahan, twitteran, gorogoro (rebahan), nonton, hingga sadar sudah sore. Semangat Alya sebentar lagi kamu sukses menyia-nyiakan waktu satu hari penuh.

Tapi ternyata sebelum beneran sukses seharian, sedikit sadar diri ada hal yang perlu disampaikan. Ada janji yang perlu dituntaskan. Lebih-lebih teringat sempat ada chat WA yang mengingatkan dengan pertanyaan, "udah bikin review Layar Terkembang?". Nah. Kuputuskan untuk menulisnya sekarang.

Sejujurnya membuat review yang 'tertunda', alias tidak langsung dikerjakan saat selesai membaca novelnya itu seperti jam pasir yang semakin lama semakin habis berjatuhan ke bawah. Sebab ceritanya memudar di otak, jadi harus membaca ulang untuk memastikan. Sementara kasusku, novelnya sudah tidak ditanganku. Sudah kembali pada empunya. Jadi untuk memastikannya sekali lagi, aku sudah tidak bisa.

Baiklah sudah selesai curhat, pembelaan, dan beribu alasannya. Mari kita mulai reviewnya. Sudah sering mendengar perihal novel Layar Terkembang inikah? Salah satu karangan Alisyahbana. Aku lupa terbitnya tahun berapa, jadi tunggu sebentar, aku cari dulu. Sempat kufoto covernya sebelum kukembalikan.

Cetakan pertamanya terbit tahun 1937, dan yang kupegang adalah cetakan ke-15-nya: terbit tahun 1984. Novel ini hasil pinjaman dari Alu (teman suka membacaku di Jepang). Alu, makasih ya pinjamannya yang menyegarkan otak, membuat pikiran terbuka, membuat pandangan-pandangan baru untuk hidupku.

Khusus untuk novel ini, rasanya aku tidak perlu banyak berkomentar. Membacanya seperti menggantikanku berbicara. Semua yang tertulis pada novel ini, bisa dibilang merangkum suara-suara dan pendapatku soal perempuan. Layar Terkembang, yang telah berumur 83 tahun, mampu menyuarakan hak-hak perempuan yang hingga sekarang masih terinjak-injak. Membuatku berpikir dan bertanya-tanya, apakah kita sebegitu tak berkembangnya? Sebegitu malaskah kita untuk berubah menjadi lebih baik?

"Ia yakin benar-benar, bahwa keadaan perempuan bangsanya amat buruk. Dalam segala hal makhluk yang tiada mempunyai kehendak dan keyakinan, manusia yang terikat oleh beratus-ratus ikatan, manusia yang hanya harus menurut kehendak kaum laki-laki," -Tuti.

Karakter utama novel ini adalah Tuti. Sosok perempuan pejuang yang memerjuangkan perempuan-perempuan lain. Menjadi wakil kaumnya untuk teriak-teriak meminta kesetaraan akan hak-haknya. 

"Sampai sekarang masih dapat dihitung berapa jumlahnya perempuan yang sesungguhnya bebas berdiri sendiri memakai pikiran dan timbangannya sendiri, yang berani bertanggungjawab akan segala perbuatannya".

"Untuk menjaga supaya perempuan insyaf akan kedudukannya, akan nasibnya yang nista itu, maka diikat oranglah ia dengan bermacam-macam ikatan: bermacam-macam adat, kebiasaan, dan nasehat". DEG!! LOUDER MISS LOUDERRR. Sungguh terharu bisa membaca kalimat-kalimat yang tidak mampu ku susun dengan baik namun tersampaikan dengan cantik di novel ini.

"Perempuan dikurung orang dalam rumah sampai bersuami, tidak boleh berjalan kemana sekehendaknya. Segalanya itu namanya melindungi perempuan dari kejahatan dan aib, tetapi pada hakikatnya segalanya itu melemahkan perempuan. Ia terpencil dari dunia, pengalamannya kurang dan seluk beluk dunia tiada diketahuinya". Well, sekarang kita sudah lebih bebas sih. Sepertinya. Setidaknya perempuan-perempuan dilingkunganku. Masalahnya Indonesia ini luas, dunia ini luas, dan setiap sudutnya ada perempuan-perempuan lain yang perlu diselamatkan.

"Dan dari perempuan yang telah dimatikan semangatnya serupa itu orang masih berani berharap lahirnya suatu keturunan yang kuat. Adakah, saudara-saudara, permintaan yang lebih gila daripada itu?" YEAY TUTI!!! HER WORDS DESERVES AN OSCAR.

Tuti nih perempuan super sibuk yang dimana-mana rapat, orasi sanasini, pokoknya kalau ditanya untuk apa masa mudanya dihabiskan, maka tak akan habis diceritakan kisahnya. Kontras yang membuat novel ini menjadi lebih menarik adalah penekanan perbedaan sifat yang dimiliki adiknya Tuti; Maria. Maria diceritakan memiliki kepribadian yang bertolak belakang dengan Tuti; ceria, supel, bawel, pokoknya pelangi deh warna warni. Sementara Tuti lebih ke hitam-putih; serius, pendiam, gitu deh. Selain mereka, ada pacarnya Maria yang juga punya peran penting pada novel ini. Berhari-hari kucoba mengingat namanya namun nihil. Aku tak ingat namanya:(

Dikisahkan Tuti yang superior itu menolak lamaran seorang laki-laki karena ia merasa dikekang jika sulit menerima izin untuk pergi-pergian. Padahal pergi yang Tuti lakukan adalah jalan hidupnya; pengorbanannya akan kecintaannya pada perjuangan. "Percintaan harus berdasar atas dasar yang nyata: sama-sama menghargai. Perempuan tidak harus mengikat hati laki-laki oleh karena penyerahannya yang tiada bertimbang dan bertangguh lagi. Perempuan tiada boleh memudahkan dirinya. Ia harus tahu dimana watas haknya terlanggar dan sampai mana ia harus minta dihormati dari pihak yang lain".

Pada saat itu, umur Tuti sudah hampir 30 dan belum kunjung menikah. Bisa dibayangkan betapa banyak cibiran untuknya, terutama pada zaman itu perempuan rata-rata nikah muda. Jangankan 30, angka 20 sudah dianggap aib. "Selalu ia berkata, apabila pernikahan menjadi ikatan baginya, bagi cita-cita dan pekerjaan hidupnya, biarlah seumur hidupnya ia tidak menikah. Hanya satu pendirian itu saja yang sesuai dengan akal sehat".

"Saya takut kalau-kalau ia menjadi korban kecakapannya. Ia hanya dapat hidup bersama-sama dengan orang yang luar biasa seperti ia pula. Orang biasa tiada akan mengerti sikap hidupnya yang terang dan nyata itu". Jadi seakan-akan tiada laki-laki yang kecakapannya mampu mengimbangi Tuti. Fakta itu tidak membuat Tuti merasa tinggi, ia yang serba tangguh itu didalam hatinya merasa takut.

"Sebentar tiada kuasa, sebagai orang yang putus asa merasa kekalahannya, sebentar sebagai seorang yang menang, yang dengan insyaf tahu apa yang akan harus dibuatnya dan telah mengambil keputusan tiada akan berbuat sesuatu yang berlawanan dengan pikirannya".

"Pikirannya sering melayang-layang tidak tentu arahnya. Sering ia merasa dirinya gelisah, tetapi apa sebabnya tidak dapat diselidikinya. Kadang-kadang memberat rasa hatinya dan selaku menghilanglah tempat ia berpegang dan berjejak. Lemah terasa olehnya dirinya hilanglah kepercayaannya akan kesanggupan dan kecakapannya. Tetapi apabila ia selaku orang yang berputus asa demikian, dikumpulkannya tenaganya dan dikeraskannya hatinya: perasaan ini harus hilang, harus hilang, saya tidak boleh dialahkannya".

"Sebenarnya telah terlampau berat pekerjaan yang dipikulkan orang kepadanya. Tetapi hal itu telah jamaknya demikian. Dan meskipun ia tahu bahwa pekerjaan yang diserahkan kepadanya itu berat, ia tiada hati sampai menolaknya, apalagi karena ia was-was, pekerjaan yang sebulat itu memenuhi hatinya kelak akan terserah ke orang lain, yang tiada akan bersungguh-sungguh melangsungkannya. Tetapi oleh itu pulalah ia terpaksa memakai tenaganya lebih-lebih dari biasa".

Entahlah...bagaimana harus kujelaskan? Sederhananya aku pernah ada diposisi itu. Posisi yang sama; dimana tak seorangpun kupercaya untuk turut serta dalam tanggungjawab yang harusnya tidak dipikul sendiri. Terlalu egois dan tidak memercayai kecakapan orang lain. Tenggelam dalam penilaian pribadi yang dirasa akan dan selalu berusaha memberikan, mengusahakan, dan menghasilkan yang terbaik. Standarku adalah segalanya. Betapa bodoh masa lalu kuhabiskan.

"Tetapi sebagai orang yang gembira berjuang, perasaan kecewa itu di dalam kalbunya menjelma menjadi pendorong baginya untuk lebih kuat berusaha dan bekerja".

"Tetapi kita sebagai golongan mereka yang insyaf menunjukkan jalan yang baru, tidak boleh sangsi-sangsi. Kita harus menyatakan sesuatu senyata-nyatanya. Sesuatu yang baik hanya mungkin baik, sesuatu yang jelek hanya mungkin jelek."

Baca novel ini seperti menerima nasihat dari seorang buyut pada cucunya untuk lebih menghargai kehidupan. Seperti mendengarkan dongeng sebelum tidur tentang mimpi-mimpi Tuti yang menggebu-gebu. Seperti melihat Indonesia lebih dalam, Indonesia yang kaya akan bahasanya. Membaca ceritanya seperti membaca puisi ditiap halamannya. 

Banyak sekali pesan-pesan perihal hidup yang disampaikan pada novel ini. Tidak hanya sebatas perjuangan, namun juga cinta, keluarga, lingkungan, bahkan agama. Banyak sindiran-sindiran yang mampu mengusik hati kecil agar lebih berkaca dan memperbaiki diri.

Epilog:
"Sembahyang jugakah, Tuan?"
"Saya? Ah, bukankah agama itu pekerjaan orang yang telah pensiun? Saya pun menanti saya pensiun dahulu, baru akan sembahyang..."

"Itulah hakekat yang sebenarnya pada kebanyakan kaum priyayi atau terpelajar. Agama itu dikerjakan, apabila tak ada suatu apalagi yang diharapkan dari hidup ini. Jika sudah berputus asa akan hidup, barulah mencari agama. Pada agama diredakannya perasaan takutnya akan mati, yang datang mendekat tiada terelakkan lagi. Tidak peduli ia tiada tahu, apa yang disebut dan diucapkannya, tapi dalam perbuatan yang tiada diketahuinya, yang oleh karena itu baginya mengandung rahasia itu, diredakannya perasaan takutnya akan rahasia mati yang nyata kelihatan kepadanya mengancamnya".

Minggu, 16 Februari 2020

MY 1ST MONTH OF JAPAN'S LIFE


11 Februari 2020 00:55, aku baru saja selesai menulis buku harian. Malam tadi paket roamingku habis sudah. Tapi mataku belum mau terpejam, daripada sia-sia aku pilih untuk meluangkan waktu di sini. Di note smartphone ku yang tidak smart.

Cieee setelah menceritakan seminggu pertama, sekarang sebulan pertama. Apakah ini pertanda bahwa Alya sudah berubah dan akan rajin menulis? Tentu saja tidak. Kalau malas lebih mengalahkanku, aku bisa apa? Salah satu warga Twitter pernah bilang, sekuat apapun kalau Tuhan sudah kasih ngantuk, hambaNya bisa apa? Maka yasudahlah. Kalau nanti aku kalah dengan malas dan ngantuk, yasudahlah. Tapi dengan sekuat tenaga kuserang balik.

Masih soal Jepang yang baru kupijak beberapa minggu lalu, aku mau melanjutkan cerita. Kalau diukur-ukur dari tingkat urgensi, kewajiban, dan faktor-faktor lainnya, menulis hal-hal seperti ini seharusnya jadi yang terakhir dilakukan. Tapi gimana? Aku bisa gila kalau tidak meluangkan waktu untuk hobi menulisku. Aku perlu menyelamatkan diri sendiri.

Aku baik-baik saja, itulah kabarku. Udara di Jepang sungguh memiliki kualitas yang berbeda jauh dengan Cikarang. Sangat amat. Apalagi di sini tidak ada abang-abang jajanan pinggir jalan, jadi jajanannya lebih sehat. 

Tapi tetap saja sih kangen. Kangen gorengan yang bercampur asap kendaraan, kangen baso dan micin-micinnya, kangen bubur ayam demi apapun ga bohong inimah:(( pernah sekali berdebat dengan Reksa (teman magangku) soal bubur diaduk dan tidak diaduk. Rasanya hampa sekali. Kami memperdebatkan makanan yang tidak bisa kami makan hingga Januari 2021 nanti:") tak perlu dihitung berapa lama lagi, lukaku tak perlu ditambah garam.

Aku juga kangen martabak yang bisa diakses tiap malam-malam gabut yang perlu manis-manis. Aku baru sebulan di sini and I'm craving for Indonesian food:(( Di Toride nih beneran gak ada abang-abang pinggir jalan:( aku pengen kasih tahu ke mereka kalau peluang bisnis terbuka lebar jika kalian buka warung kopi, wedang, atau sekadar pecel lele di depan rumah masing-masing. Kenapa orang Jepang gak bisa melihat peluang usaha sih:") WKWKWK LUCU BGT AL LUCU. Oke, lupakan.

Lantas, bagaimana kabarmu? Semoga kamu juga baik-baik saja. Aku tahu Cikarang masih panas, tidak perlu kutanyakan sebab seumur hidupku, pun aku memang tinggal di Cikarang. Bagaimana keadaan di sana sudah ku hafal tanpa sengaja. Kuingat setiap sudutnya yang penuh sesak. Ramainya Cikarang, sungguh meramaikan hidupku juga.

Di sini dingin, berlipat-lipat ganda. Dan hal itu membuatku mengenakan pakaian yang berlipat-lipat ganda pula. Aku bahkan mengenakan 2 kaos kaki sekaligus donggg kurang wow apa. Pakai baju 3, celana + legging, pakai sarung tangan pula sebab jari-jari serasa beku. Jadi setiap aku dan teman-temanku sedang mengenakan sepatu dan semua peretelan-peretelan untuk melindungi dingin, Rere selalu bilang, 'kita kaya mau perang ya' WKWKWK IYA PERANG LAWAN SUHU.

Beberapa hal yang membuat satu bulanku menyenangkan adalah bagian jalan-jalannya. Alhamdulillah aku sempat ke Ueno, Tokyo. Di sana aku keliling Asakusa. Bangunan-bangunannya bagus...aku hanya mampu mengagumi. Betapa manusia dengan jiwa-jiwa seni mampu membahagiakan hati orang lain dengan karyanya. Mampu memberikan hadiah bagi setiap mata yang memandang. Di sana banyak sekali jajanan; mulai dari makanan, pernak-pernik, kaos, oleh-oleh, macam-macam lah semua ada. Kalau jodoh dicari di sana juga mungkin ada. Coba saja.

Dari Asakusa, aku dan teman-teman pergi menuju Tokyo National Museum. Parah sih depannya aja keren banget. Dan di sebrangnya ada taman yang sungguh amat luas. Seluas hati ibu menyayangi anaknya. Kayaknya gitu deh konsepnya. Habisnya sangat membuat nyaman. Belum apa-apa sudah disambut dengan air mancur dan deretan bunga. Gedung-gedungnya benar-benar juara. Ada kebun binatang, kuil, bahkan food truck, pertunjukkan seni, musik, yaampun apa aja ada tapi sayangnya ga nemu seblak. Lagi-lagi ada peluang usaha yang dilewatkan masyarakat Jepang.

Sebenarnya kami mau coba makan di toko yang serba halal gitu namanya Ayam Ya, tapi pas sampai di sana ternyata tutup. Tokonya pindah dong guys:") tapi di dekat situ ada taman bermainnya. The real taman bermain yang ada perosotan, ayunan, dan pokoknya kalo tidak mengingat umur sendiri, aku mau ikutan main juga. Kami duduk-duduk rehat di sana sambil searching mau makan dimana. Hingga akhirnya pilihan jatuh ke Saizeria karena dekat dengan stasiun biar sekalian pulang.

Lalu dilain hari, aku berhasil mewujudkan salah satu impianku untuk berkunjung ke perpustakaan. Special thanks untuk Erizal yang mau membantuku dan Anggita yang sempat kebingungan karena tak tahu arah menuju perpustakaan. Ditambah Alu yang akhirnya ikut juga. Saat sampai di perpustakaan, sungguh benar-benar perpustakaan. Hah gimana? Wkwk. Penuh buku yang aku sukai. Penuh orang yang membaca. Sedihnya aku hanya mampu duduk dan mengambil buku cerita anak-anak. Kemampuan kanjiku mengkhawatirkan, tak ada novel yang mampu kubaca. Buku dongeng anak-anakpun aku baca dengan bantuan kamus wkwk.

Selain jalan-jalan sendiri, gakkou (sekolah) tempatku belajar juga menyediakan study tour ke beberapa tempat yang sangat menarik. Pertama, kami diajak ke Bantar Gebang-nya Toride wkwk. Super canggih, super besar, super bersih, ini tempat pengolahan sampah yang kalau ditiru Indonesia maka setengah permasalahan di negeriku mungkin bisa selesai. Halah. 

Kedua, ke tempat simulasi bencana. Parah sih aku seneng banget karena bisa ke sini. Kami diajak ngerasain gempa, taifu, memadamkan kebakaran, pokoknya seru kaya ke Dufan.

Alhamdulillah setelah beberapa hari, kami dikasih kesempatan untuk mempraktekkan cara melindungi diri dengan dikasih gempa beneran:( aku ingat betul bahwa itu jam 2 pagi, iPhone kak Mirha teriak kencang-kencang, "Jising desu, jising desu!" (Ada gempa! Ada gempa!). Berkali-kali.

Aku terbangun, memanggil nama kak Mirha, dan yaudah. Getar semuanya; mulai dari kasur tempatku tidur, lampu kamar, dan semua benda-bendanya yang ada. Yang kulakukan pada saat itu hanya sampai terduduk di kasur lantai 2, tidak turun, tidak melindungi kepala dengan bantal, tidak berlindung di bawah meja. Pokoknya ilmunya gaada yang dipake dan lanjut tidur lagi:") aku beneran warga santuynya Indonesia ternyata. Tanah air, aku sudah cukup membanggakankah?

Dan yang terakhir, kami berkunjung ke Kirin Beer. Iya. Beer. Apakah kami dibolehkan minum beer di sana? Yap. Dibolehkan. Maksimal 3 gelas. Tapi karena aku muslim, aku memilih untuk minum jus jeruk dan jus apel. Jus apelnya enak:( rasa Fruittea Apel tapi ini lebih segerrr. Enak pokoknya mau bawa pulang buat stock tapi gagitu cara mainnya... Ini study tour bukan kondangan ke nikahan tetangga. 

Yaudah abis minum-minum, pulang deh. Pulang ke gakkou untuk belajar lagi WKWKWK serius ini. Belajar! Nulis nikki (diary dalam bahasa Jepang) dibuku yang sudah disediakan gakkou. Setiap hari memang harus ditulis. Beserta kotoba (kata) baru perhari minimal 3 kotoba. Sejauh ini sudah lebih dari 10 hari aku tidak mengisi bagian kotobanya karena sibuk baca novel. 10hari x 3kotoba = 30. Wow. Hebat sekali Alya dalam menumpuk pekerjaan dan mengejar deadline.

Kak Efri pernah bilang, bener kata Shinchan kalau seluruh kota merupakan tempat bermain yang asik. Nah. Setujuuu. Akutuh ya di sini jalan-jalan ya benar-benar dihabiskan dengan "jalan". The real jalan dengan menggunakan kedua kaki. Jaraknya bisa satu jam untuk sampai ketujuan, misal ke Wonder Rex. Atau ke Daiso dan perpustakaan bisa setengah jam. Tapi ya menyenangkan aja. Mungkin karena dilewati bersama teman-teman jadi tak puas-puas obrolan kami habiskan diperjalanan. Cape sudah pasti, kakiku kalau punya mulut mungkin sudah teriak-teriak minta tolong karena lelah. Tapi lelahnya terbayar. Lelahnya membahagiakan.

Yap begitulah rangkumannya. Banyak sekali yang ingin kubagi tapi mengetik dengan HP sedikit-banyak menyusahkanku. Salah satu penyesalan terbesarku tak membawa serta notebook untuk keperluan menulisku. Tapi biarlah. Biar perjuangan menulisku ada ceritanya, ada keluh kesahnya, agar kubagi dengan kalian yang membaca. Oleh karena itu, aku akan datang lagi. Tunggu saja, nanti akan kuberi kabar. Dadah.

Senin, 10 Februari 2020

JALAN TAK ADA UJUNG

Engkau akan biasa pada kekerasan. Manusia punya tenaga menyesuaikan diri yang amat besar.

Gimana ya ini openingnya... Sudah hampir 5 menit jari-jari ini mengetik dan hapus. Pertama-tama aku mau bilang kalau aku senang sekali karena bisa bertemu sama novel Mochtar Lubis yang judulnya Jalan Tak Ada Ujung. Umur novelnya seumur kakekku; terbit tahun 1952, dan yang kupegang ini bisa jadi kakakku. Sebab ini cetakan ketiganya, terbit tahun 1993. Kedua, aku mau bilang makasih ke Alu karena sudah berbaik hati meminjamkan novel ini ke aku. Makasih juga karena sempet nemenin ngobrol disela-sela pelajaran untuk sama-sama melawan kantuk.

Setting waktu novel ini dimulai dari September, 1946. Indonesia baru merdeka, dan perang masih dimana-mana. Bahkan baru beberapa lembar kubaca, aku langsung disuguhkan dengan kematian, "seorang dari kanak-kanak itu dengan tidak berteriak apa-apa tersungkur ke tanah, menggelepar dua kali, dan kemudian  terbaring diam-diam dalam debu jalan". Begitu susunan kalimatnya, sungguh penggambaran mati yang menyesakkan dada.

Tokoh utama dari novel ini adalah Guru Isa. Seorang yang bernama Isa dan bekerja sebagai guru. Seorang penakut yang merasa tidak perlu berjuang demi kemerdekaan, jangankan untuk negeri, dirinya sendiri lebih sering dijajah rasa takut. "Ia akan merasa terluka hatinya, jika dikatakan padanya, bahwa perasaan yang dirasanya sekarang adalah rasa takut. Tetapi pada dirinya sendiri dia tidak hendak mengakui, bahwa ia takut". Kalau ditelusuri, keyword "takut" pasti akan ada banyak sekali. Sungguh.

"Dia tidak akan bertanya. Takut. Kalau dia bertanya, dia akan tahu, apa yang disangkanya sesungguhnya terjadi. Dan semua yang akan terjadi karena hal itu, lebih menakutkan hatinya". Pun aku maupun kamu pasti pernah ada diposisi Guru Isa; dimana mendapat jawaban justru bukanlah sebuah kebebasan, namun pintu gerbang menuju penderitaan lain. "Dia ingin membuat konfortasi. Dia tidak bisa tahan lagi hidup seperti ini. Apakah dia cinta padanya dan menolongnya, atau dia harus pergi. Tetapi dalam hatinya sendiri dia takut, bahwa keputusan yang akan diambil, dia sendiri tidak berani hadapi dan terima". Kenapa harus sebegitu menderita dan menyedihkan?

"Dia telah dapat merasakannya. Sekarang juga sudah. Tetapi seperti biasa dia tetap juga mengharap. Meskipun hatinya mengharap penuh ketakutan, dan telah tahu bahwa apa yang ditunggunya tidak akan datang".

Menariknya, bahasa pada novel ini tidak terlalu berat meski umurnya jauh di atasku. Perang, darah, tembakan, semua tergambar dengan baik di novel ini. Sederhananya mungkin karena sang penulis melihat kejadian-kejadian memilukan itu dengan matanya langsung. Jadi kalimat-kalimatnya langsung sampai, langsung dapat dipahami dengan mudah. 

Guru Isa diceritakan dengan sangat sederhana; hidupnya, pikiran-pikirannya, bahkan tujuan hidupnya. "Dia melihat ke meja, dan berpikir dalam hatinya. Sedikit benar sebenarnya yang mereka perlukan untuk dapat hidup dan bergembira. Beras dua liter sehari, sedikit lauk pauk dan sayuran. Sedikit gula untuk kopi. Dan sekali sebulan sehelai kebaya untuk Fatimah dan baju untuk Salim. Kemeja atau celana untuk dirinya sendiri".

Dia masih terikat. Masih banyak yang mengikatnya. "Aku masih terikat oleh dunia tempat aku dari kecil menjadi besar. Aku terikat kepada hormat dan patuh anak terhadap ayahnya, kepada ketertiban seseorang dalam masyarakat, pada kepercayaan kesetiaan berkawan. Aku masih terikat pada perasaan apa yang akan dirasa dan dipikir orang lain terhadap diriku," -Hazil

Second lead dari novel ini bernama Hazil; sungguh berkebalikan dari Guru Isa. Hazil diceritakan dengan semangat menggebu-menggebu tentang janji-janji kemerdekaan, tentang harapan-harapan kebebasan yang perlu diperjuangkan. Guru Isa "terjebak" dalam lingkup orang-orang macam Hazil yang memaksanya untuk ikut berjuang. "Muda-muda benar anak-anak yang berevolusi ini. Diantara mereka berapa banyak yang berjuang dengan sadar apa yang dipertaruhkan oleh bangsanya, dan berapa banyak pula yang menganggap ini suatu permainan, suatu pencarian pengalaman hebat?". 

Meski takut setengah mati untuk berjuang, namun Guru Isa lebih takut jika tidak ikut berjuang. Ia takut dipandang lemah, ia takut pada orang-orang asing yang akan mendatanginya jika ia sendirian. "Telah begitu lama dia mengikuti anak-anak perjuangan ini yang dapat tertawa bercakap-cakap dengan maut, masih saja dalam hati Guru Isa tidak bisa timbul kegembiraan untuk perjuangan. Hatinya terlalu takut untuk merasa gembira".

"Orang hidup seharusnya melupakan mati. Jangan menyinggung-nyinggung maut. Karena mati tiada indah dan tiada menarik. Tapi hidup juga tiada indah dan tidak menarik. Penuh dengan teror dan ancaman. Dan rasa takut yang memburu-buru. Juga dalam tidur dan mimpi. Tidak ada pelepasan dan pembebasan dari hari ke hari. Siang dan malam. Sekarang dan esok. Di balik esok telah menunggu pula ancaman baru. Dan di belakang ketakutan baru".

Dari semua keseriusan perjuangan dalam novel ini, ada satu waktu dimana aku tertawa. Iya, aku tertawa saat sedang tegang-tegangnya misi penyelundupan senjata. "Ini bisa berbahaya," kata Hazil, "kita pergi membawa senjata dan membawanya ke Manggarai. Lalu kita selundupkan ke Karawang. Engkau masih berani?" Dullah berkata, "Kalau Bapak Guru dan Bapak berani, mengapa saya tidak berani?". Mendengar itu Guru Isa berkata dalan hatinya, 'saya tidak berani, mengapa saya harus ikut?'

LIKE....WKWKWK APAAN SIH BENERAN CUPU BANGET NIH ORANG PEGEL BACANYA. Tapi yasudahlah. Selebihnya aku tak tertawa lagi. Jadi mari kita lanjutkan.

Guru Isa sudah menikah dengan seorang bernama Fatimah. Pun memiliki anak bernama Salim. Meski Salim diangkatnya menjadi anak, dan bukan anak kandungnya. "Fatimah tidak pernah tidak setia pada suaminya. Barangkali memang perempuan lebih dapat menahan diri daripada laki-laki dalam keadaan serupa ini, atau pendidikannya menahannya". Sungguhan! Entah berapa kali faktor pendidikan menyelamatkan hal-hal memalukan yang bisa saja kulakukan, namun pendidikan menahanku. Meski tetap banyak hal-hal memalukan yang tetap kulakukan...tapi setidaknya...yah..... "Orang tidak terlalu muda untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa bikin menyesal setelah melakukannya, dan tidak terlalu tua untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang jika tidak dilakukan di kemudian hari akan membawa rasa sedikit sayu, sedikit menyesal, dan pertanyaan-pertanyaan; mengapa tidak aku lakukan dulu?"

Jadi pilihannya hanya dua; menyesal tidak melakukan atau menyesal melakukan. Dulu, prinsipku ada dipilihan pertama. Sekarang, sejak umurku menginjak 20tahunan, pilihanku jatuh pada nomor yang kedua. Terlalu banyak penyesalan-penyesalan atas apa yang tidak kulakukan maka aku perlu berontak. Terserah dunia mau bilang apa.

"Tidak, aku tidak suka pada orang yang berpura-pura,". Dia terdiam setelah mengatakan ini, karena sekarang dia juga harus memasukkan dirinya ke dalam mereka yang berpura-pura. Tidak pernah terlintas ke dalam pikirannya bahwa tidak ada manusia yang tidak berpura-pura di dunia ini. Macam-macam sebab orang berpura-pura. Ada yang hendak menyembunyikan ketakutannya, kesedihan hati yang ditanggung, menyembunyikan kegembiraan hati, menyembunyikan kesombongan hati. Yang seorang hendak menyembunyikan kepalsuan, yang lain menyembunyikan kebenaran.

Tapi novel inituh banyak plot twistnya. Serius deh. Apalagi diakhir-akhirnya. Guru Isa yang penakut itu justru adalah orang yang tidak bisa dibuat berlutut oleh penjajah. Saat dia ditangkap dan disiksa macam-macam untuk mengakui seluruh perbuatannya demi membantu perjuangan, dia hanya mampu berkata, "seluruh jiwaku menjerit minta mengaku, tetapi lidahku kelu karena kesakitan dan ketakutan. Tetapi kita tidak boleh mengalah pada ini. Orang harus belajar hidup dengan ketakutan-ketakutannya".

Dan novel ini ditutup dengan, "dia telah menguasai dirinya sendiri. Tiada benar dia tidak merasa takut lagi. Tetapi dia telah damai dengan takutnya. Telah belajar bagaimana harus hidup dengan takutnya". So its okay to be afraid. Kamu tidak perlu jadi pemberani, kamu cukup menerima takutmu dan melanjutkan hidup. Bukankah itu sudah suatu keberanian untuk tetap melangkah dengan semua risiko yang belum kamu ketahui apa yang akan kamu dapat?

Selasa, 04 Februari 2020

SURAT UNTUK VEREN

Sepertinya ini saat yang tepat untuk kembali mengganggu Veren dengan tulisan-tulisanku. Hobiku memang menulis; apapun itu, dimanapun itu. Salah satu yang paling menyenangkan bagiku adalah menulis surat, meski kadang menyulitkan orang-orang yang menerima dan membacanya. Tapi tak apa, sebab hobi keduaku adalah menyusahkan. Oke. Sip.

Untuk pembukaan, aku mau post ulang salah satu suratku.

Untuk 'de' yang selalu kupanggil.

De, aku gabisa larang kamu buat gabikin masalah. Sebab selama ini, pun aku memang sumber masalah.

De, aku mau pesan banyak hal tapi semua kata lenyap tiap berkaca diri. Pun aku bukan manusia yang layak ditiru.

De, aku ini memang gaada bagus-bagusnya. Jadi kaka juga gaada fungsinya. Gabisa apa-apa. Bisaku cuma menyayangimu.

De, aku tahu kamu pasti akan baik-baik saja. Terima kasih karena sudah selalu jadi manusia kuat. Ayo lebih  kuat lagi.


  • Veren itu siapa?
Biar aku kenalkan dulu. Nama lengkapnya Veren Karmeilita. Aku lupa tanggal lahirnya, tapi aku yakin tahunnya 1998. Nanti kutanyakan lagi. Veren biasa aku panggil 'de', sebab memang umurnya lebih muda dibanding aku. Lalu soal kedewasaan? Tentu saja. Tentu saja Veren yang lebih dewasa WKWK.

Dia yang selalu datang untuk menjemputku sarapan. Tanpa dia, entah berapa sarapan yang akan aku lewati karena malas. Dia yang selalu mengajakku untuk membawa bekal makan siang. Tanpa dia, entah berapa siang yang perlu aku isi dengan somay. Dia yang selalu melarang minum kopi, tapi justru selalu datang tiba-tiba dengan kopi. Tanpa dia, entah berapa kafein yang tidak tercukupi dalam hidupku.

  • Veren dimana?
Veren bisa dimana-mana, tapi lebih sering di sampingku. Halah.

  • Veren kenapa?
Tentu saja dia tidak apa-apa. Dia baik-baik saja. Dia sehat walafiat dan tidak kekurangan suatu apapun. Tolong doakan dia untuk selalu sehat dan bahagia. I love her. She deserves the world.

  • Veren bagaimana?
Pertama, dia cantik. Matanya sipit dan berkacamata. Kulitnya putih. Ayahnya memang orang China. Genetiknya terlalu bagus untuk tidak membuatnya cantik. Senyumnya manis, apalagi dengan deretan gigi gingsulnya. Kalau pakai baju suka nabrak-nabrak tapi cantiknya membantunya. Lama-lama aku jadi soudzon, jangan-jangan sebenarnya Veren jago fashion tapi cuma merendah saja karena aku tidak pandai berpakaian.

Veren itu cepet banget. Segala sesuatu yang ia kerjakan pasti lekas selesai. Anaknya asik, gamau ribet, tapi bablas jadi cuek bebek. Suka banget makan, apa aja dimakan asalkan itu makanan. Partner ku dalam makan banyak pokoknya. Lalu soal minuman, dia bisa disamakan dengan unta. Manusia yang bikin tagihan galon jebol pokoknya wkw. Aku sebaliknya, aku jarang minum air bening. Sebab kalau air putih itu susu. Yaela, Al. Kalau ditotal, jumlah kafein yang aku konsumsi sudah dapat dipastikan akan lebih banyak. Aku malas dimarahi Veren, jadi kita harus akhiri pembahasan kafein ini sekarang.

Soal kebiasaan-kebiasaannya yang aku ingat, kalau dia sudah pada puncak marahnya, maka kotoba (kata) yang akan keluar dari mulutnya adalah gila ibab wkwk. Itu bahasa Palembang dan satu-satunya kotoba yang mampu kuingat saking berkesannya.

Khusus untukku, kalau Veren sudah mulai gerah dengan tingkah lakuku yang menyebalkan, maka dia akan meneriakkan nama lengkapku, "ALYA ANASTASYA HARSONO," dengan kencang dan penuh kebencian. Kalau digambarkan dengan kata mungkin akan seperti ini; "ALYA ANASTASYA HARSONO!!!!!!!" Sungguh akan terdengar bahwa aku menyebalkan dan aku harus tahu itu. Wkwkw. Maka aku suka membalas dengan nama lengkapnya juga. Tentu dengan intonasi yang sama; bahwa dia menyebalkan dan kalau bisa satu dunia harus tahu itu.

  • Veren itu apa?
Manusia, tentu saja. Malaikat mah aku. WKWKWKWKWKKWWK.

Tapi setengah panda. Sebab sama sepertiku, kerjanya hanya rebahan. Kerjaan lainnya adalah ketiduran saat rebahan. Tidak akan beranjak dari kasur kalau tidak ada kepentingan. Kasur adalah hidup, maka hidup harus dipenuhi kasur.

  • Veren itu kapan?
Kapan apasih dih gajelas banget wkwk.

Kapan pertama kali kenal Veren itu sekitar bulan Juli/Agustus 2019. Lalu kita dekat, makin dekat, bahkan semua orang bilang kalau ada aku maka akan ada Veren. Aku belum mengerti kenapa kita selalu berdua. Alasan utamanya mungkin karena aku suka menyusahkan Veren. Dan karena ia baik hati, jadi selalu bisa menerima dan menemaniku.

Kapan aku dan Veren bisa sangat kompak? Saat melakukan hal-hal bodoh yang--jangankan orang lain, kami berdua pun suka tidak mengerti kenapa bisa kami melakukan hal-hal bodoh yang gak masuk akal. Maksudnya, sebagai teman dan adik yang baik, bukannya kalau aku dikiranya akan melakukan hal bodoh maka tugas Veren adalah menghentikanku, bukan? Tapi dia malah mendukungku. "Pura-pula gila ajalah, kak," gitu katanya:( WKWK. Lalu entah kenapa aku juga sama gobloknya. Sebagai teman, bahkan orang yang lebih tua, bukannya harus menjadi contoh yang layak? Bukannya tugasku adalah mengingatkan risiko-risiko akan hal-hal bodoh yang ia lakukan? Tapi justru malah kudukung dan mengatakan, "ya pura-pura gila lah, de," WKWK. Lingkaran setan macam apa ini.

Kapan waktu favoritku bersama Veren? Saat berjalan untuk membeli jajanan, saat sampai di tukang jajanan, dan saat makan jajanan. Yang terbaik dan selalu jadi pilihan kita bersama adalah Surabi Solo rasa keju. Please lah itu enak banget. Aku tidak sanggup menggambarkam enaknya karena percuma. Hanya membuat ingin tanpa bisa kubeli untuk saat ini. Kedua, telur gulung. Bahkan traktiran jajanan terakhir yang Veren berikan padaku adalah telur gulung. Ketiga, ayam goreng depan Indomaret. Ini ceritanya jadi sedih karena abangnya tiba-tiba engga jualan lagi. Pindah gatau kemana. Bisa-bisanya dia bikin aku dan Veren patah hati:") bagaimana bisa ditinggalkan harus sesakit ini...

Oh iya soal traktiran jajanan terakhir yang Veren berikan, aku juga sempat menulis surat untuknya. Akan aku cantumkan di bawah. Agar Veren baca lagi, agar Veren lebih bete lagi karena harus baca untuk kedua kali.

10 Desember 2019 22:18

De, aku nih memang suka banget minum kopi. Tapi waktu aku bilang aku mau ngurangin minum kopi, aku serius. Pun biar kamu bilang, "Hoax, Alya!!"😂

De, kamu harus tahu kalau aku selamat berkali-kali karena kopi. Kantukku mungkin sudah menyerah dengan kafein, tapi kecewaku belum. Pun meski kafein tak menghilangkan kecewaku, hanya mengalihkan.

De, aku banyak minum kopi dengan banyak kondisi. Marah, senang, terharu, kecewa, bahkan sedih dan sakit hati. Pun hari ini aku minum kopi sedih. Tanpa kupesan. Tanpa kuingin datangnya dari kamu.


Yap. Begitulah isi suratnya. Aku harap adikku Veren masih mengingat beberapa katanya. Tapi lupa pun tak apa. Sudah aku ingatkan dengan surat ini. Kalau setelah ini, pun ia lupa lagi, maka tidak apa-apa. Aku akan datang lagi dan mengingatkannya. Aku akan selalu datang. Soal diterima ataupun tidak, aku tidak peduli. Sebab di masa lalu, Veren tidak pernah menyerah menyeretku untuk bangun dari kasur dan hidup dengan lebih banyak bergerak.

Jadi, sekarang, saat ini, dan seterusnya.. biar aku yang datang. Biar aku yang merengek minta didengarkan. Biar aku yang teriak-teriak untuk dipedulikan.

Semoga Veren-ku selalu sehat dan dipenuhi dengan makanan-makanan enak. Sebab aku tahu betul bahagianya adalah makan. Jadi aku berdoa untuk setiap kebutuhan jajanannya. Terima kasih atas semuanya de, aku sayang kamu de. Love u!!

Sabtu, 01 Februari 2020

TENTANG A.W DAN I.W (III)

Parah sih sama sekali tidak menyangka kalau akan ada part selanjutnya dari judul postingan ini. Tapi aku senang, kalau cerita ini berlanjut artinya orang-orang yang selama ini aku sayangi sejak di bangku sekolah masih Allah kasih kesempatan untuk mengisi hari-hari di bangku kerjaku. Semoga terus hingga di bangku masa tua nan jompoku. Aamiin.

Alasan kenapa cerita ini bisa berlanjut pastinya karena Indah dan Wisnu masih ada untuk aku susahkan. Kalau kasusnya Indah, dia memang tidak pernah pergi. Indah selalu ada di sana, ditempat yang selalu bisa aku datangi kapan saja dalam kondisi apapun. Indah yang tidak hanya menyediakan telinga untuk mendengarkan, namun juga dengan kalimat-kalimat yang mampu menguatkan, mengingatkan, hingga menjatuhkan wkwk kadang aku yang bego ini memang butuh disadarkan untuk kembali kekenyataan. Dan Indah di sana, selalu ada dengan tangan terbuka untuk merengkuh aku dengan tampar maupun peluk. Tangannya memang diciptakan bukan sekadar untuk membelaku, namun bisa tegas menyalahkanku kalau aku mulai salah jalan. Terima kasih Indah.

"IW-ya, Alya juga di sini," merupakan satu-satunya kalimat yang mampu aku kasih ke Indah. Bahwa kapanpun dia butuh, Indah bisa langsung menemuiku. Bahwa kapapun dunia menyerangnya, meski tak bisa kulawan semua wkwk, setidaknya aku akan tetap menjadi tamengnya. Menjadi wadah keluh kesahnya, suka citanya, hancurnya, bahagianya. Aku mau Indah tahu kalau hatiku cukup besar untuk menampung runtuhan deritanya eaaa. Geli banget Alya wkwk. Dan aku juga berterima kasih karena Indah masih selalu menyempatkan datang. Aku selalu berharap Indah datang dengan hal-hal baik nan menyenangkan. Bukan karena aku malas mendengarnya mengeluh, aku cuma ingin segala yang indah-indah untuk Indah. Aamiin.

Baiklah sekarang soal Wisnu...

Wisnu sempat menghilang. Tidak tahu kemana. Selain faktor Wisnu yang pergi tanpa pamit, aku juga menjadi faktor yang menyebalkan. Aku tidak mencarinya. Aku membiarkan dia tidak berotasi di duniaku. Tapi aku tidak akan meminta maaf. Sebab aku yakin perginya Wisnu pasti punya alasan baik yang sulit ia jelaskan. Sebab aku tahu ketiadaan Wisnu pasti sedang berjuang atas sesuatu yang ingin ia gapai. Sebab aku tahu, Wisnu pasti baik-baik saja. Dan dia, Wisnu-nya Alya dan Indah, pada kenyataannya memang baik-baik saja. Terlepas dari berbagai derita dan rintangan yang harus dia lewati entah apa itu. Terima kasih karena selalu menang atas perangmu dengan hidupmu, Wis.

"Tapi Wisnu-ya, kamu punya orang-orang yang ingin diajak berjuang bersama," merupakan kalimat yang selalu ingin aku sampaikan ke Wisnu. Tidak mampu secara langsung sebab memang belum ada kesempatan lagi untuk bertemu. Tapi nanti Wisnu bisa baca. Harus bisa karena postingan ini akan aku share ke dia. Termasuk yang Tentang A.W dan I.W part I dan Tentang A.W dan I.W part II haha apakah ini sudah saatnya penjajahan atas Wisnu kembali dimulai? Bahwa membuat Wisnu menderita merupakan jalan ninjaku dan Indah yang perlu dilanjutkan? Bahwa waktu-waktu Wisnu pergi harus dibalaskan dengan kesusahan-kesusahan yang perlu aku dan Indah limpahkan? Wkwkw ampun Wis.

Long story short, Wisnu is back. Wisnu kembali. Dia datang lagi yeay. Wisnu yang entah dimana, lagi ngapain, makan apa, sama siapa ituuuuu datang melalui chat Whatsapp. Terima kasih Wisnu, sudah datang ke Alya duluan. Aku bahkan sudah mengatakan kalimat itu secara langsung ke Wisnu. Dan tahu apa? Wisnu masih sama. Masih Wisnu yang dulu; sebelum dia pergi. Dan malah jadi semakin baik:(

"Tes. Assalamualaikum," begitulah awalnya semua reuni ini bermula. Chat itu datang pada tanggal 20 Januari 2020 pada jam 06:09 waktu Toride, Ibaraki. Wisnu ternyata ada di Jepang juga:") Berkah ke Jepang ternyata mampu membawaku ke berkah untuk bertemu lagi sama Wisnu. Allah yang Maha Baik itu selalu mempertemukanku dengan orang-orang baik. Allah yang Maha Baik juga selalu memanjakanku dengan kebaikan-kebaikannya. Terlalu romantis.

Temannya Wisnu adalah temanku merupakan kalimat yang mampu meringkas cerita ini haha. Jadi aku magang di perusahaan yang sama kaya teman kuliahnya Wisnu; Anggita dan Dicky. Dunia itu sempit, yap that's right. Sekadar info selingan, Wisnu sudah di Jepang sejak 11 Januari 2020. Tapi Wisnu di Aichi:") jauh euy:")

Kami tukeran cerita. Banyak banget. Bisa dibilang itu pertama kalinya Wisnu bisa bawel cerita ini itu. Salah satu perubahan besar yang aku rasakan dari Wisnu. Senang akhirnya Wisnu bisa cerita balik ke aku, bukan aku doang yang dongengin Wisnu. Satu hal yang paling bikin terharu adalah dia menitipkanku dong ke Dicky. Bayangin. Coba bayangiiiin. Wkwk apaan si. Awalnya sempet ga percaya Wisnu begitu sampai-sampai aku kakuning (cek ulang? Apasih wkw menegaskan kembali gitu dah) ke Dicky. Masa iya Wisnu begitu? Dan dikirimin screenshotnya dong beneran Wisnu nitipin aku yaampun terharu temanku yang dulu cuek bebek banget bisa khawatir jugaaaa.

Wisnu juga sempat mengajarkan aku masak hehe iya aku masih temannya Wisnu yang tidak berbakat dan tidak berguna:") tapi Wisnu juga masih sama ko ada bego-begonya dikit wkw dia ke Jepang ga kepikiran coba mau bawa apa aja yaampun:( untung apatonya ada wifi walaupun di perdesaan jadi dia tidak terisolasi banget:( apalagi dia katanya deket kan tuh sama pantai jadi engga tenggelem-tenggelem amat;( tapi iri juga karena aku ketemunya di sini sama gedung mulu, sementara Wisnu kanan kiri depan belakangnya pantai coba huhu.

Wisnu masih rajin kaya dulu. Sekarang bahkan jadi rajin belanja sayur katanya. Apalagi karena harus masak sendiri kan. Aku sempet ngeluh kenapa jarak kita engga deketan aja kan jadi bisa menggantungkan hidup ke Wisnu, dan menggangu Wisnu wkwk tapi dengan baiknya dia bales, "iya kan jadi bisa bertukar pikiran soal masak, belanja, dll" yaAllah temanku hatinya melebihi malaikat:((

Kami sudah punya janji bertemu meski entah kapan. Doakan saja semoga reuninya tidak hanya di room chat. Semoga akan ada part-part lain dari postingan ini. Sungguh ingin menulis lagi dengan Indah dan Wisnu sebagai subjeknya. Terima kasih kalian, semoga selalu dalam lindungan Allah.

MY 1ST WEEK OF JAPAN'S LIFE

20 Januari 2020, 22:38 waktu Toride, Ibaraki, Jepang.


Aku nulis ini di handphone, sambil rebahan di bawah danbo (penghangat ruangan). Kasurku tingkat 2 gitu kaya dipesantren, nah aku di atas. Di bawahnya ada siapa? Kak Mirha, namanya. Nama panjangnya Mirha Yulinda. Jadi pas dikocok untuk pembagian kamar, kami mendapatkan kamar terkecil dan hanya bisa dihuni 2 orang. Kenapa dikocok? Jadi sekarang, di Jepang nih aku tinggal ber-sebelas manusia dalam satu rumah yeayyy. Supaya adil pembagian kamarnya, dibuatlah kocokan. Selain kita berdua yang berbagi kamar, kamar lain lebih luas. Ada yang berlima dan berempat. Kira-kira seperti itu, bayangkan saja sendiri.

Saat ini lampu sudah padam, kak Mirha sudah pulang lagi ke Indonesia dalam mimpinya. Sudah sampai Riau, rumahnya untuk selalu pulang. Aku di kegelapan, satu-satunya manusia yang belum tidur sepertinya, sibuk mengetik entah apa ini. Sebab banyak janji-janji menulis yang perlu diselesaikan. Banyak kata-kata penyemangat yang tak usai-usai meminta untuk menulis tapi ngumpulin niatnya sulit sekali. Ini juga maksa banget gak sih? Haha tidak ada topik tapi gas teroooos.

Di Jepang ngapain aja? Pertama, jujur aku mah mau Jepang mau Indonesia mau nanti ke Korea juga kerjaannya mah tidur makan bae:( wkwk. Kedua, di sini dingin. Dingin banget. Bangetnya bangettt. Tadi aku mendapatkan informasi bahwa suhu esok akan -2°C dong:") makanya malam ini dingin sekali. Kasihan selimutku, berusaha tetap tegar melindungiku dari udara jahat. Kasian juga ini bibirku pecah-pecah saking dinginnya. Norak banget memang ini sebadan-badan bereaksi semua. Wkwk ampuni dosa hamba yaAllah.

Tadi nyampe no berapa deh? Ketiga ya? Oke, ketiga...aku jajan mulu ih boros banget wkw di Indonesia juga jajan mulu sih. Jarang belanja tapi kalo sudah menyangkut makanan aku tuh imannya tipis:( jadi kalo ditanya di Jepang ngapain, selain tidur hobiku adalah makan guys. Perihal kenapa aku tidak gemuk-gemuk, aku juga belum paham. Tolong kalau kalian paham bisa hubungi aku dan jelaskan. Jelaskan kemana semua makananku pergi. Sia-sia gini boros ke makanan kalo engga ada yang jadi daging heu.

Percayalah teks ini baru dibuka lagi 23 Januari 2020, 23:44 waktu Toride. Lampu kamar masih padam. Masih mengetik dengan handphone. Xiaomi yang layarnya sudah pecah ga karuan tapi yaudah pake aja. Aku juga ga ngerti kenapa mesti begadang kalo jelas-jelas besok pasti ngantuk setengah mati di kelas. Pasti nyiksa diri sendiri dengan maksain buka mata untuk mendengarkan sensei yang sedang menjelaskan di depan. Aku ga paham, tapi selalu aku lakuin. Bodoh tuh memang bisa dipelihara ternyata. Diternak juga bisa jangan-jangan ya?

Cuma mau kasih sedikit info aja kalau akhirnya kehidupan Jepang berhasil membuatku menggunakan koyo hari ini yeayyy. Pakainya dikedua tangan, di atas siku wkwk. Kakiku kaku-kaku juga sih sebenarnya tapi ini gamangdekinakerebanaranai. Masih harus bisa ditahan. Biarin aja gitu jangan manja soalnya hidup di sini setahun dan pastinya akan sering jalan. Aku ingin kedua kakiku tumbuh besar dan mandiri. Minta doanya ya.

Aku mau lanjutin urutan ke-4 tapi udah lupa mau bahas apaan wkwk ini gimana sih otaknya sudah pindahkah atau gimana aku juga tidak paham. APAAN YA INI NO 4 DST WKWWK. Pindah pembahasan ajalah ya:(

Apa yang ada di Jepang tapi gak akan nemu di Indonesia? Apa yang gak ada di Jepang? Apa yang aneh di Jepang? Pertama, (yaelah pake urutan lagi wkwk) setrikaan cuy. Di sini aku tidak memiliki setrikaan:( gapapa sih sesungguhnya aku juga malas setrika cuma minimal kerudungku jadi ga on point gitu ih meuni pikasebeleun:((. Iya aku alay. Gapapa. Kedua, ini saking dingin suhunya pakai masker aja uap napasnya bisa nembus dong:( dan sampai sekarang masih norak aja gitu suka mainin uap napas wkwk biar kaya di drama-drama Korea gitu kan ya yang kalo ngomong ada asep-asep lucunya gitu. Sialnya ga lucu het. Dingin bat sampe ke tulang-tulang.

Ketiga, danbou. Inituh yaampun kesukaan aku banget. Penghangat ruangan gitu, aku biasa panggil dia AC panas. Tanpanya tidurku tak akan nyenyak guys haha. Mau sungkem sama penciptanya. Keempat, apaan ya kira-kira. Oh meronpan haha roti gituuuu. Enak:3 di Indonesia kayaknya sih pasti ada cuma baru tau di sini dan enak, dan lumayan murah, dan kalo beli di Big* lebih murah daripada di konbini (semacam Indomaret). Apalagi aku anaknya laperan jadi cocok kalau diganjel pakai roti, apalagi aku suka roti, dan apalagi rotinya murah, apalagi apalagi apalagi. Maka nikmat Tuhan mu yang mana kah yang kau dustakan.

"Ibadahnya gimana, Al? Makannya?" Jaaa pertanyaan favorit nih. Aku sih tidak merasakan perbedaan yang signifikan soal ibadah maupun makan. Aku di sini bebas, aman, dan jauh dari tatapan-tatapan aneh meskipun pakai kerudung. Entah mungkin karena aku pakai kerudungnya rame-rame sama teman-teman yang lain atau gimana, ya pokoknya santai aja gitu kerudungan. Kaya di Indonesia aja. Sholat juga mudah karena memang sholat kan bisa dimana aja, dan banyak cara-cara untuk memudahkan sholat. Pengalaman pertamaku sholat subuh di pesawat tanpa mukena, dan hanya tayamum adalah salah satu buktinya. Soal sholat-sholat selanjutnya ya sama aja kaya di Indonesia.

Oh perlu diceritakan sedikit bahwa tempatku belajar sebulan ini di Jepang itu membuat ibadahku kondusif. Entah disengaja atau engga tapi kami kelasnya ditaruh di lantai 3. Dimana itu dekat dengan okujou (atap) jadi bisa sholat di sana. Cuma aku selalu sholat di belokan tangga (ya gitu dah pokoknya), walaupun sempit tapi setidaknya bukan di okujou. Karena dingin banget dong ga sanggup:( beberapa kali juga sholat di kelas dan itu tidak masalah. Pokoknya selain ngambil wudhunya yang super dingin, semuanya sama aja. Kadang suka satu kelas sama orang-orang dari negara China dan mereka ya woles aja. Maksudnya, kalau di Indonesia mungkin kita bisa dapat pandangan kurang enak kan atas hal-hal aneh dan baru? Sementara orang-orang China ini lihat kita sholat ya yaudah. Terserah. Mind your own business I don't give a damn.

Tapi ada sih hal-hal yang bikin jadi berkaca diri. Dulu di Indonesia saat sholat beneran gampang banget, apalagi dengan bantuan suara adzan yang super gede dan dimana-mana tuh ngegampangin banget. Sekarang sholatnya harus lihat Google dulu udah masuk waktunya apa belum. Harus buka aplikasi dulu buat lihat arah kiblat. Plus yang paling nyiksa adalah harus nahan dinginnya air saat wudhu. Harus nahan dingin pas sholat yang bikin mikir "ini sholat buat Allah loh, kamu susah payah wudhunya masa iya ga khusuk dan malah fokus kedinginan?". Suka buru-buru karena memang dingin sekali buat napak di sajadahnya dong walaupun kaos kakinya sudah double pakainya, dan kadang saat sholat ya jadi kepikiran. Baca al-fatihah nya sambil ngeluh yaAllah ini dingin banget kan jadi ga khusuk ya:(

Kalo soal makan mah sama aja. Toh aku gak bisa bedain rasa jadi yaudah. Aku makan yang ada. Toh makanku banyak, jadi ya makan aja. Makan pokoknya. Kalau soal jajanan, aku jajan mulu. Uang abis buat perut het bukannya beli barang yang lucu-lucu ya:( gimana dong kalo lucu doang mah ga kenyang:( palingan aku lihat ada dikomposisinya ada kanji butaniku (babi) atau engga. Kalo engga ada, yaudah dengan kekuatan bismillahirahmaanirahiim.

Akhirnya selesai juga teks ini hehe. Sebelum pamit aku mau bilang makasih sama Irma; teman baikku yang lagi senang hehe dan berhasil membuatku senang juga. Sebab dia mau bantuin posting ini di blog akuuuu. Aku di sini tidak ada PC maupun laptop jadi agak susah edit-editnya, oleh karena itulah aku meminta tolong Irma. Walaupun ini sebagian dari tanggungjawabnya juga karena nyuruh aku untuk tetap menulis di Jepang. Love u, Ir.
Love u, all.