Minggu, 22 Maret 2020

MENUJU SAITAMA DAN MELAMPAUINYA

2 Maret 2020, 8:40, 6° setelah mengendarai sepeda melewati hujan dan sekarang sedang duduk di depan loker kerja. Beberapa menit menuju zengtaichourei (apel pagi) perusahaan. Agak deg-degan sedikit, sebab harus memperkenalkan diri di depan karyawan-karyawan di sini. Doakan. Nanti aku akan kembali dan menulis lagi.

23:34, masih di hari yang sama. Aku masih mengenakan kacamata, sebab baru selesai mengerjakan nikki (buku harian) dan memutuskan untuk datang ke sini. Sekarang lampu sudah padam, Jeje (teman magangku) sudah terpejam dalam selimutnya. Ah, perihal zengtaichourei, semua berjalan dengan lancar. Kami maju ke depan dan memperkenalkan diri sebagai pemagang Indonesia. Deg-degan? Tentu saja. Meski hanya kuucap, ohayou gozaimasu, Alya-desu. Yoroshiku onegaishimasu.

Baiklah mari kita mundur ke beberapa hari ke belakang. 13 Februari 2020, aku pindahan dari Toride, Ibaraki ke Hongjo, Saitama. Jaraknya ibarat Cikarang-Bandung, pun macam naik bus patas antar kota. Memang beneran naik bus, btw. Bedanya di sini kudu-wajib-harus pakai seatbelt, jadi lebih aman. Selama perjalanan tidak boleh berdiri. Dengan kata lain; jangan bar-bar.

Aku ingat betul bahwa sebelum masuk bis menuju Saitama, kami dibekali dengan meronpan, roti stroberi, dan sebotol air mineral. Hingga detik ini, sebotol air mineral itu adalah air mineral kemasan pertama dan terakhir yang pernah kuminum selama di Jepang. Kenapa? Karena aku selalu minum air kran wkwk air yang sama untuk air mencuci piring. Jadi derajatku kurang-lebih setingkat dengan piring kotor bekas makan yang ditumpuk di westafel. ENGGA IH GAK GITU:( Kan memang air kran di Jepang bisa diminum. Buktinya aku masih hidup, baik-baik saja, sehat, ceria, serta penuh suka cita.

Masih perkara air, walaupun sama-sama air kran, rasa air kran Toride dan Hongjo tuh beda. Air kran Toride lebih enak, dan dari segi warnapun lebih jernih. Air kran Hongjo butek dulu, lalu jadi jernih setelah beberapa saat wkwk ini gimana jelasinnya coba:( ya gitulah pokoknya. Padahal Hongjo nih desa banget jadi sempat bingung kenapa justru air krannya aneh. Tapi, anehnya, dari semua orang, ada satu yang berpendapat kalau Honjo punya air lebih bagus. Reksa, namanya. Sudah pasti lidahnya yang salah. Dari semua orang, hanya dia yang berpendapat demikian. Maka yang aneh sudah pasti dia. Yang salah juga dia. Lalu setelah diingat-ingat mengapa air kran Toride lebih enak, pengolahan sampah Toride jauh lebih kibishii (kejam) daripada Hongjo.

Setiap mengingat pengolahan sampah Toride, statement-ku masih sama; kalau Indonesia menerapkan pengolahan sampah macam Toride maka kurasa sebagian besar masalah negriku akan selesai. Bukan hanya dipisah antara organik dan non-organik, botol, kaleng, dsb tapi setiap kemasan yang mengandung makanan maupun minuman, sisanya harus dicuci dulu sebelum masuk bak sampah. Jadi misal aku makan ciki-ciki-an nih atau minum susu kartonan nah kemasannya itu harus dibongkar dulu, dibilas air, baru dibuang.

Sebagian besar teman-temanku sekarang lebih memilih untuk memasak airnya dulu sebelum diminum. Hanya aku dan kak Febi (teman magangku) yang tetap istiqamah minum langsung dari kran. Alhamdulillah semenjak kenal kak Febi, aku jadi tahu bahwa di dunia ini ada manusia yang lebih jarang mandi daripada aku. Rasanya seperti bertemu dengan guru yang lebih jelas visi misinya dalam kejorokan.

Kalau dihitung hari, maka ini hari ke-37-ku di Hongjo. Terhitung sejak 13 Februari hingga sekarang 21 Maret dimana note ini baru kubuka kembali. Banyak hal berubah, terutama rumah. Rumah baruku lebih baik. Sangat amat jauh lebih baik. Mulai dari segi design, luas, hingga fasilitas. Bahkan sebelum memasukinya aku sudah jatuh cinta. Selain rumah, aku punya 3 hal lain yang kusukai setelah pindahan; sepeda, WiFi pocket, dan setrikaan.

Sepedanya berwarna putih, bernomor 13, memiliki keranjang di depannya, dan boncengan di belakangnya. Tapi hukum di Jepang melarang naik sepeda berboncengan. Jadi selain untuk barang, boncengan itu hanya pajangan saja. Tidak bisa romantis-romantisan sepedaan berdua. Aku juga baru tahu kalo Jepang se-pro ini sama jomblo.

Kunci sepedanya kuberi gantungan kerang berwarna putih dengan mutiara sebagai pemanis. Cantik sekali, setidaknya, menurutku. Karena sekarang aku sedang di Jepang, aku rasa perlu mencari bahasa Korea-nya kerang (?) Dan ternyata bahasa Korea-nya kerang adalah keobtegi. Lucu:3 setidaknya, menurutku. Jadi kunamakanlah sepedaku demikian; keobtaegi.

Perihal WiFi pocket, ini sudah seperti nyawaku. Karenanya aku bisa mengakses internet. Mengakses internet berarti aku bisa menghubungi keluargaku, bertukar kabar dengan teman-temanku, sambat di twitter, hingga update tulisan di blog macam ini. Soal setrikaan, waktu di Toride we can't afford that thing so its nice to meet setrikaan here xixi.

Soal kehidupanku di tempat baru ini, hal pertama dan paling terlihat berbeda adalah; pemandangan. Bahkan saat masih diperjalanannyapun kami sudah ribut, "ko makin pedalaman ya?" WKWKW. Berbeda dengan Toride yang kanan-kirinya gedung-gedung, Hongjo mah dusun haha. Tapi anehnya justru kehidupanku di Hongjo lebih modern. Ya tapi sedusun-dusunnya Jepang juga inimah setara Jakarta-nya Indonesia. Dan karena seumur hidupku di Cikarang pemandangan yang bisa kulihat hanya angkot dan jalanan rusak, bisa tinggal di Hongjo adalah sebuah nikmat tiada tara.

Kalau perlu kudeskripsikan, maka pemandangan Honjo tuh kira-kira seperti ini; gunung berjejer gagah, sawah terhampar luas, semenanjung sungai dengan barisan pohon sakura...mantap dah pokoknya. Jadi pagi-pagi sejak berangkat kerja hingga parkiran sepeda viewnya wallpaper-able sekali. Belum lagi langitnya yang super bersih. Malaikat rasa-rasanya rajin sekali sapu menyapu di Jepang. Aku sempat berpikir, saat Allah menciptakan  Jepang, kurasa Ia sedikit pilih kasih. Namun Allah Maha Adil, maka sama seperti Indonesia, Jepang juga pasti banyak jeleknya. Bedanya kejelekan Indonesia sudah mengakar jadi susah dicabutnya.

Langit malamnya juga cantik bertabur bintang. Andai Adinda (temanku) ada di sini, dia pasti betah berlama-lama menatapnya. Kesukaanku adalah langit sorenya yang penuh warna dari biru ke pekat lalu kuning ke orange; megah sekali. Saat melihatnya kurasa Allah ingin berkomunikasi denganku; bahwa aku sudah berusaha dan melakukan yang terbaik, ayo berusaha lagi dan terus membaik.

Aku harap, langit manapun yang kamu tatap selalu mampu mendatangkan senyum pada lelahnya berjuangmu. Aku harap, meski lebih banyak langit mendung yang kamu lihat, kamu tetap percaya hari-hari lain yang akan datang. Hari-hari dimana bukan langit cerah yang menghiburmu, namun justru kamulah yang menghibur langit. Membuatnya bangga bisa menaungi semangatmu. Langit tahu, dia merekam semua lelahmu. Langit tahu, dia hanya perlu sedikit waktu untuk hadiah dari kerja kerasmu. Langit tahu, jadi ayo berusaha lagi dan terus membaik bersama.

Categories: , , ,

0 komentar:

Posting Komentar