Minggu, 01 Maret 2020

LAYAR TERKEMBANG

"Anak-anak muda sekarang suka benar menyebut perkataan berbahagia. Pada hal yang dinamakan berbahagia itu tiada diketahuinya"

Hongjou, Saitama. 23 Februari 2020.

Alhamdulillah akhirnya aku punya waktu untuk bermalas-malasan seharian. Beneran seharian yang bikin aku cuma rebahan, twitteran, gorogoro (rebahan), nonton, hingga sadar sudah sore. Semangat Alya sebentar lagi kamu sukses menyia-nyiakan waktu satu hari penuh.

Tapi ternyata sebelum beneran sukses seharian, sedikit sadar diri ada hal yang perlu disampaikan. Ada janji yang perlu dituntaskan. Lebih-lebih teringat sempat ada chat WA yang mengingatkan dengan pertanyaan, "udah bikin review Layar Terkembang?". Nah. Kuputuskan untuk menulisnya sekarang.

Sejujurnya membuat review yang 'tertunda', alias tidak langsung dikerjakan saat selesai membaca novelnya itu seperti jam pasir yang semakin lama semakin habis berjatuhan ke bawah. Sebab ceritanya memudar di otak, jadi harus membaca ulang untuk memastikan. Sementara kasusku, novelnya sudah tidak ditanganku. Sudah kembali pada empunya. Jadi untuk memastikannya sekali lagi, aku sudah tidak bisa.

Baiklah sudah selesai curhat, pembelaan, dan beribu alasannya. Mari kita mulai reviewnya. Sudah sering mendengar perihal novel Layar Terkembang inikah? Salah satu karangan Alisyahbana. Aku lupa terbitnya tahun berapa, jadi tunggu sebentar, aku cari dulu. Sempat kufoto covernya sebelum kukembalikan.

Cetakan pertamanya terbit tahun 1937, dan yang kupegang adalah cetakan ke-15-nya: terbit tahun 1984. Novel ini hasil pinjaman dari Alu (teman suka membacaku di Jepang). Alu, makasih ya pinjamannya yang menyegarkan otak, membuat pikiran terbuka, membuat pandangan-pandangan baru untuk hidupku.

Khusus untuk novel ini, rasanya aku tidak perlu banyak berkomentar. Membacanya seperti menggantikanku berbicara. Semua yang tertulis pada novel ini, bisa dibilang merangkum suara-suara dan pendapatku soal perempuan. Layar Terkembang, yang telah berumur 83 tahun, mampu menyuarakan hak-hak perempuan yang hingga sekarang masih terinjak-injak. Membuatku berpikir dan bertanya-tanya, apakah kita sebegitu tak berkembangnya? Sebegitu malaskah kita untuk berubah menjadi lebih baik?

"Ia yakin benar-benar, bahwa keadaan perempuan bangsanya amat buruk. Dalam segala hal makhluk yang tiada mempunyai kehendak dan keyakinan, manusia yang terikat oleh beratus-ratus ikatan, manusia yang hanya harus menurut kehendak kaum laki-laki," -Tuti.

Karakter utama novel ini adalah Tuti. Sosok perempuan pejuang yang memerjuangkan perempuan-perempuan lain. Menjadi wakil kaumnya untuk teriak-teriak meminta kesetaraan akan hak-haknya. 

"Sampai sekarang masih dapat dihitung berapa jumlahnya perempuan yang sesungguhnya bebas berdiri sendiri memakai pikiran dan timbangannya sendiri, yang berani bertanggungjawab akan segala perbuatannya".

"Untuk menjaga supaya perempuan insyaf akan kedudukannya, akan nasibnya yang nista itu, maka diikat oranglah ia dengan bermacam-macam ikatan: bermacam-macam adat, kebiasaan, dan nasehat". DEG!! LOUDER MISS LOUDERRR. Sungguh terharu bisa membaca kalimat-kalimat yang tidak mampu ku susun dengan baik namun tersampaikan dengan cantik di novel ini.

"Perempuan dikurung orang dalam rumah sampai bersuami, tidak boleh berjalan kemana sekehendaknya. Segalanya itu namanya melindungi perempuan dari kejahatan dan aib, tetapi pada hakikatnya segalanya itu melemahkan perempuan. Ia terpencil dari dunia, pengalamannya kurang dan seluk beluk dunia tiada diketahuinya". Well, sekarang kita sudah lebih bebas sih. Sepertinya. Setidaknya perempuan-perempuan dilingkunganku. Masalahnya Indonesia ini luas, dunia ini luas, dan setiap sudutnya ada perempuan-perempuan lain yang perlu diselamatkan.

"Dan dari perempuan yang telah dimatikan semangatnya serupa itu orang masih berani berharap lahirnya suatu keturunan yang kuat. Adakah, saudara-saudara, permintaan yang lebih gila daripada itu?" YEAY TUTI!!! HER WORDS DESERVES AN OSCAR.

Tuti nih perempuan super sibuk yang dimana-mana rapat, orasi sanasini, pokoknya kalau ditanya untuk apa masa mudanya dihabiskan, maka tak akan habis diceritakan kisahnya. Kontras yang membuat novel ini menjadi lebih menarik adalah penekanan perbedaan sifat yang dimiliki adiknya Tuti; Maria. Maria diceritakan memiliki kepribadian yang bertolak belakang dengan Tuti; ceria, supel, bawel, pokoknya pelangi deh warna warni. Sementara Tuti lebih ke hitam-putih; serius, pendiam, gitu deh. Selain mereka, ada pacarnya Maria yang juga punya peran penting pada novel ini. Berhari-hari kucoba mengingat namanya namun nihil. Aku tak ingat namanya:(

Dikisahkan Tuti yang superior itu menolak lamaran seorang laki-laki karena ia merasa dikekang jika sulit menerima izin untuk pergi-pergian. Padahal pergi yang Tuti lakukan adalah jalan hidupnya; pengorbanannya akan kecintaannya pada perjuangan. "Percintaan harus berdasar atas dasar yang nyata: sama-sama menghargai. Perempuan tidak harus mengikat hati laki-laki oleh karena penyerahannya yang tiada bertimbang dan bertangguh lagi. Perempuan tiada boleh memudahkan dirinya. Ia harus tahu dimana watas haknya terlanggar dan sampai mana ia harus minta dihormati dari pihak yang lain".

Pada saat itu, umur Tuti sudah hampir 30 dan belum kunjung menikah. Bisa dibayangkan betapa banyak cibiran untuknya, terutama pada zaman itu perempuan rata-rata nikah muda. Jangankan 30, angka 20 sudah dianggap aib. "Selalu ia berkata, apabila pernikahan menjadi ikatan baginya, bagi cita-cita dan pekerjaan hidupnya, biarlah seumur hidupnya ia tidak menikah. Hanya satu pendirian itu saja yang sesuai dengan akal sehat".

"Saya takut kalau-kalau ia menjadi korban kecakapannya. Ia hanya dapat hidup bersama-sama dengan orang yang luar biasa seperti ia pula. Orang biasa tiada akan mengerti sikap hidupnya yang terang dan nyata itu". Jadi seakan-akan tiada laki-laki yang kecakapannya mampu mengimbangi Tuti. Fakta itu tidak membuat Tuti merasa tinggi, ia yang serba tangguh itu didalam hatinya merasa takut.

"Sebentar tiada kuasa, sebagai orang yang putus asa merasa kekalahannya, sebentar sebagai seorang yang menang, yang dengan insyaf tahu apa yang akan harus dibuatnya dan telah mengambil keputusan tiada akan berbuat sesuatu yang berlawanan dengan pikirannya".

"Pikirannya sering melayang-layang tidak tentu arahnya. Sering ia merasa dirinya gelisah, tetapi apa sebabnya tidak dapat diselidikinya. Kadang-kadang memberat rasa hatinya dan selaku menghilanglah tempat ia berpegang dan berjejak. Lemah terasa olehnya dirinya hilanglah kepercayaannya akan kesanggupan dan kecakapannya. Tetapi apabila ia selaku orang yang berputus asa demikian, dikumpulkannya tenaganya dan dikeraskannya hatinya: perasaan ini harus hilang, harus hilang, saya tidak boleh dialahkannya".

"Sebenarnya telah terlampau berat pekerjaan yang dipikulkan orang kepadanya. Tetapi hal itu telah jamaknya demikian. Dan meskipun ia tahu bahwa pekerjaan yang diserahkan kepadanya itu berat, ia tiada hati sampai menolaknya, apalagi karena ia was-was, pekerjaan yang sebulat itu memenuhi hatinya kelak akan terserah ke orang lain, yang tiada akan bersungguh-sungguh melangsungkannya. Tetapi oleh itu pulalah ia terpaksa memakai tenaganya lebih-lebih dari biasa".

Entahlah...bagaimana harus kujelaskan? Sederhananya aku pernah ada diposisi itu. Posisi yang sama; dimana tak seorangpun kupercaya untuk turut serta dalam tanggungjawab yang harusnya tidak dipikul sendiri. Terlalu egois dan tidak memercayai kecakapan orang lain. Tenggelam dalam penilaian pribadi yang dirasa akan dan selalu berusaha memberikan, mengusahakan, dan menghasilkan yang terbaik. Standarku adalah segalanya. Betapa bodoh masa lalu kuhabiskan.

"Tetapi sebagai orang yang gembira berjuang, perasaan kecewa itu di dalam kalbunya menjelma menjadi pendorong baginya untuk lebih kuat berusaha dan bekerja".

"Tetapi kita sebagai golongan mereka yang insyaf menunjukkan jalan yang baru, tidak boleh sangsi-sangsi. Kita harus menyatakan sesuatu senyata-nyatanya. Sesuatu yang baik hanya mungkin baik, sesuatu yang jelek hanya mungkin jelek."

Baca novel ini seperti menerima nasihat dari seorang buyut pada cucunya untuk lebih menghargai kehidupan. Seperti mendengarkan dongeng sebelum tidur tentang mimpi-mimpi Tuti yang menggebu-gebu. Seperti melihat Indonesia lebih dalam, Indonesia yang kaya akan bahasanya. Membaca ceritanya seperti membaca puisi ditiap halamannya. 

Banyak sekali pesan-pesan perihal hidup yang disampaikan pada novel ini. Tidak hanya sebatas perjuangan, namun juga cinta, keluarga, lingkungan, bahkan agama. Banyak sindiran-sindiran yang mampu mengusik hati kecil agar lebih berkaca dan memperbaiki diri.

Epilog:
"Sembahyang jugakah, Tuan?"
"Saya? Ah, bukankah agama itu pekerjaan orang yang telah pensiun? Saya pun menanti saya pensiun dahulu, baru akan sembahyang..."

"Itulah hakekat yang sebenarnya pada kebanyakan kaum priyayi atau terpelajar. Agama itu dikerjakan, apabila tak ada suatu apalagi yang diharapkan dari hidup ini. Jika sudah berputus asa akan hidup, barulah mencari agama. Pada agama diredakannya perasaan takutnya akan mati, yang datang mendekat tiada terelakkan lagi. Tidak peduli ia tiada tahu, apa yang disebut dan diucapkannya, tapi dalam perbuatan yang tiada diketahuinya, yang oleh karena itu baginya mengandung rahasia itu, diredakannya perasaan takutnya akan rahasia mati yang nyata kelihatan kepadanya mengancamnya".

0 komentar:

Posting Komentar