Setelah
pulang ke Indonesia, aku banyak flashback. Lebih-lebih karena Jepang terasa
benar-benar jauh; mulai dari jarak, hingga kesempatan untuk bisa ke sana lagi.
Satu tahun di Jepang bagiku seperti mimpi panjang, dimana aku tidak ingin
bangun lagi dan menjalani kehidupan seperti biasa. Jepang bagiku adalah kabur;
lari terlama dengan jarak terjauh yang pernah kutempuh. Jepang adalah tempat
dimana hal-hal mustahil yang tak pernah kubayangkan mampu hadir dan mewarnai
hidupku.
Sepanjang
hidupku, aku tidak pernah berani untuk pergi jalan-jalan sendiri. Namun, jika sudah
di Jepang dan tidak jalan-jalan tentu akan menjadikan waktuku sia-sia selama di
Jepang. Hampir seperti kekuatan magis, aku mampu mengumpulkan niat untuk
jalan-jalan berkeliling kotanya disaat aku adalah manusia yang lebih suka
rebahan dibanding apapun.
Hampir
setiap akhir pekan, aku tidak pernah ada di rumah. Aku selalu punya tempat
untuk dituju, meski harus melawan dingin, meski itu hanya sebuah taman yang
penuh anak-anak bermain. Ternyata punya kegiatan di hari libur bukan hal yang
buruk. Lalu aku mulai lupa dengan banyaknya list
tontonan variety shows-ku, namun
ternyata aku lebih bahagia. Ternyata aku perlu bernapas dengan udara yang lebih
segar, sementara udara kamar sudah terlalu apek diisi penat selama 5 hari penuh
dengan bekerja.
Diantara
bulan-bulan penuh jalan-jalan yang kulewati, Oktober hingga Desember mungkin
adalah puncaknya. Jalan-jalannya jauh, perlu banyak waktu dan pengorbanan. Pengorbanan
utamanya adalah menyerah pada fashion
karena dinginnya suhu. Tubuh mungilku padahal telah tenggelam dalam padding namun tetap menggigil
didalamnya. Kutengok kanan dan kiri, manusia-manusia lain tetap terlihat cantik
dengan rok mini. Heran kutatap mereka tanpa ingin mereka salah paham, karena aku
tak lebih dari seonggok kepompong yang berjalan. Bagaimana bisa mereka
melangkah dengan paha cantik tanpa ditutup kain? Sementara tak se-senti-pun
kulitku nampak namun beku bahkan ditiap-tiap ujung kukunya.
Lagi-lagi,
seperti mantra yang diucap sang penyihir, aku tetap memilih jalan-jalan. Meski danbou (AC dengan udara panas) terasa
sulit ditinggalkan dengan cuaca yang sungguh tak mampu kumengerti mengapa
dinginnya mampu menusuk tulang. Meski futon
(kasur tanpa dipan) terasa semakin empuk dan nyaman untuk ditiduri di tengah
cuaca yang sepertinya selalu memusuhiku dengan dinginnya angin bertiup. Namun
lebih dari ingin membuatku nyaman, kurasa futon-ku
lebih muak melihatku berbaring guling-gulingan diatasnya tanpa semangat hidup.
Salah satu
jalan-jalanku yang paling berkesan adalah petualangan Tokyo. Selama setahun di Jepang, aku (lumayan) sering ke Tokyo meski hanya sekadar numpang lewat di
stasiunnya. Namun di beberapa kesempatan, Tokyo banyak menjadi inti dari
petualanganku. Tokyo menjadi tujuan utama untuk kujelajahi.
29 November
2020, kedua kalinya, aku sampai di Line Friends Flagship Harajuku Store. Tempat
dimana aku paham mengapa Harajuku terkenal atas kata ‘fashionista’nya. Tempat dimana Shibuya kukenang dengan megah
bangunannya, tinggi gedungnya, dan canggih teknologinya. Tempat dimana BTS
punya surga belanjanya sendiri; goods
dan semua tentang BTS. Di lantai satu, beruang coklat besar yang menjadi icon toko itu kini berubah penampilan.
Karena natal sudah dekat, pun dia ikut-ikutan pakai syal warna merah dengan
dekorasi hijau-hijau. Aku banyak belanja untuk keperluan oleh-oleh.
Mundar-mandir ke sana-sini memilah-milih, sungguh kegiatan yang menyenangkan
bisa berbelanja puas-puas meski tak satu barangpun kubeli untuk diri sendiri.
Lalu aku
sadar, ini kali terakhirku berkunjung karena sebentar lagi akan pulang, aku
berfoto sekaligus pamit dan minta didoakan pada beruang agar perjalanan
pesawatku lancar dan chapter hidupku selanjutnya bisa terus menyenangkan. Aku
juga berharap bisa bertemu sang beruang lagi dengan penampilan lainnya.
Hari itu,
meski dingin, aku banyak berjalan-jalan. Dari yang awal niatnya berjalan-jalan
sambil keliling, hingga kebanyakan jalan tak tahu arah karena nyasar. Faktor
nyasar ini karena lapar dan bingung mau makan apa, lalu tiba-tiba ingin Ichiran
Ramen. Ramen paling enak yang masuk kekategoriku. Mienya tipis-tipis dan
lembut, kuahnya kental, di atasnya bertabur bubuk cabe yang pedasnya bisa kita
request hingga level 10. Aku biasa makan level 7, dan rasanya pas sekali. Pedas
yang tidak terlalu pedas, dan sangat bisa kunikmati. Aku bukan hardcore fan mie kuah, tapi Ichiran
membuatku jatuh cinta. Ia adalah pengecualian yang mampu datang dan merusak
tatanan seleraku.
Sama seperti
toko Ichiran yang pernah kukunjungi, Ichiran kali ini juga dimulai dengan
memesan menunya di jidouhangbaiki (vending machine). Fun fact; Ichiran hanya
punya satu menu. Benar-benar hanya ramen! Selain itu yang membedakan adalah
toppingnya. Gila sih, usaha satu menu ramen bisa selaku ini. Mungkin karena rasanya
memang bisa diadu kapan saja. Lalu lanjut masuk ke dalam ruang makannya, dimana
itu disekat-sekat untuk satu orang. Mirip seperti ruang belajar... aku sempat
terkagum-kagum dengan kran airnya. Sungguh simple dan efisien.
Hal lain yang membuatku kagum adalah cara penyajiannya. Aku belum pernah makan di suatu restonan yang penyajiannya macam Ichiran. Nanti pelayannya akan muncul dari balik tirai, mengantarkan ramen, dan ojigi (membungkuk). Jepang sekali.
Sulit bagiku
menjelaskan bagaimana sekat-sekat dan kran air yang kumaksud, jadi aku googling
untuk mencari fotonya:
Setelah
duduk di bangkunya, aku mengisi kuesioner singkat tentang bagaimana ramenku
perlu disajikan. Aku biasa menghilangkan daun bawang, namun meminta lebih
banyak bawang putih, selanjutnya yang paling penting adalah tingkat
kepedasannya. Kupilih level 7; lucky
seven.
Saat pesananku datang, aku hanya mampu menatapnya perlahan-lahan dan mencoba mencerna apa yang terjadi. Dengan amat sangat jelas mataku dapat melihat bahwa yang tersaji di depanku adalah ramen dengan irisan babi di atasnya. Reksa di sampingku juga sama bingungnya, menatapku tanpa suara tapi aku paham kalimatnya; bahwa dia juga kaget atas babi yang dia lihat.
“Makan aja
apa ya? Pisahin babinya. Yang penting babinya gak kita makan," saran
Reksa.
Aku ragu.
Ini bukan perkara misahin daging, tapi sederhananya mulutku tak bisa menelan
jika jelas-jelas ada babi dipiringku. Ini salah diagamaku, dan aku punya
kesempatan untuk menjauhinya maka, "aku mau protes ke mas-nya. Aku bakal
jelasin ke mas-nya kalau tadi di kuisioner aku pilih nashi (without/tanpa)
babi," kataku kelewat percaya diri mengingat kemampuan bahasa Jepang-ku
yang kurang mumpuni.
Akhirnya ku
panggil mas-nya, kukatakan sumimasen,
kujelaskan terbata-bata, lalu Reksa ambil alih. Memang kemampuan bahasa
Jepangnya jauh di atasku. Dia jelaskan kalau kami minta tukar pesanan tanpa
daging babi, lalu masnya double check
kuisioner yang sebelumnya kami isi, mas-nya paham lalu meminta maaf dan
mengganti pesanan kami dengan ekspresi, "aneh lu anjir dikasih daging gak
mau".
Kira-kira
pesananku yang datang seperti ini:
Kali ini aku
memotretnya sendiri. Bahkan hanya melihat fotonya aku bisa membayangkan
rasanya. Aku bisa merasakan kuahnya mengalir pelan-pelan ditenggorokanku,
berjalan menyusuri usus, dan mengabarkan kegembiraan pada perutku.
Perut kami sudah
kenyang dengan ramen, pun telah hangat karena kuahnya. Kami sudah punya banyak
kekuatan untuk kembali berpetualang, dan tujuan selanjutnya adalah Tokyo Camii.
Hampir setahun aku di Jepang, baru kali ini aku akan mengunjungi tempat ibadahku
sebagai seorang muslim. Memang aku, sungguh jauh dari kata taat.
Sampai di
Camii, aku banyak menemukan orang-orang Jepang yang ikut terkagum-kagum atas
bangunan megah masjid itu. Bahasa Jepang-ku buruk, namun aku mengerti satu-dua
kalimat yang mereka obrolkan. Aku senyum-senyum saat ada yang menjelaskan
tentang Islam; agamaku diceritakan dengan indah lewat mulut mereka. Aku sempat foto bagian depannya:
Bangunan
masjid-nya kental sekali dengan nuansa Turki. Aku tak banyak tahu soal
arsitektur, namun saat aku cek di google, memang nama lengkapnya adalah Tokyo
Camii & Turkish Culture Centre. Masuk ke dalam masjidnya, aku disambut
museum mini. Didalamnya juga ada semacam mini market yang menjual berbagai
makanan halal. Tersedia juga kelengkapan sholat seperti sajadah, mukena,
tasbih, dsb. Ada juga perpustakaan didalamnya, namun aku tak sempat memeriksa
buku-bukunya karena sebentar lagi adzan ashar dan aku ingin merasakan sholat
berjamaah.
Aku sholat
dengan mengenakan mukena yang disediakan masjid. Model mukenanya adalah mukena
simple yang tinggal masuk (?) wkwk bagaimana harus kujelaskan? Lalu warna
mukenanya seragam hitam semua. Saat aku sholat, ada seorang perempuan Jepang
berjalan-jalan mengagumi bagian dalam masjid sambil terus mengambil gambar
dengan kamera yang ia kalungkan. Hal yang lucu adalah ia hampir menginjak
seseorang yang tengah sujud karena terlalu fokus melihat-lihat atap masjid
wkwk. Entah apa yang ada dipikirannya saat melihat tulisan Arab yang tidak
kalah heboh dengan kanji.
Sesudah
sholat, aku lapar lagi. Aku mau menyalahkan udara dingin yang mudah membuatku
lapar namun setelah diingat-ingat…memang porsi makanku setara tahanan yang
tidak diberi makan seminggu. Dengan berbagai belanjaan di tangan, aku melesat
ke kota lain dengan densha (kereta). Aku menuju sebuah kota yang tak pernah
membuatku kecewa kapanpun aku datang; Shinookubo.
Shinookubo
atau terkenal dengan panggilan “Korean Town” merupakan sebuah negara Korea ‘mini’
yang Jepang sediakan. Isinya tentu penuh dengan boyband dan girlband Korea,
makanan Korea, dan yang paling membahagiakan tentu skin care dan make up Korea.
Aku tak pandai urusan skin care maupun make up, namun setiap melihat 2 benda
itu aku selalu tertarik. Sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan, aku hanya
mampu mengagumi orang-orang yang mampu menggunakannya dengan baik.
Sampai
Shinookubo, aku (lagi-lagi) membeli oleh-oleh. Kali ini, aku juga membeli
liptint untuk diriku sendiri. Tak ketinggalan aku juga membeli tteokbokki
dilanggananku (padahal baru beli 2x). Enak. Enak sekali. Sampai saat ini, tteokbokki
langgananku adalah tteokbokki terenak yang pernah aku makan.
Selebihnya,
aku hanya berjalan-jalan menikmati udara Shinookubo diiringi musik Kpop
kemanapun kaki melangkah. Aku masuk dari toko satu ke toko yang lain sekadar
melihat-lihat make up. Aku siap untuk petualanganku besok; Disney Sea. Aku
usahakan menabung waktu dan meluangkannya untuk menulis. Aku akan kembali
dengan nuansa Disney Sea. See ya!
0 komentar:
Posting Komentar