Kamis, 27 Mei 2021

TOKYO TRIP (MEET N GREAT W/ BROWN, CAMII, N TTEOKBOKKI)

Setelah pulang ke Indonesia, aku banyak flashback. Lebih-lebih karena Jepang terasa benar-benar jauh; mulai dari jarak, hingga kesempatan untuk bisa ke sana lagi. Satu tahun di Jepang bagiku seperti mimpi panjang, dimana aku tidak ingin bangun lagi dan menjalani kehidupan seperti biasa. Jepang bagiku adalah kabur; lari terlama dengan jarak terjauh yang pernah kutempuh. Jepang adalah tempat dimana hal-hal mustahil yang tak pernah kubayangkan mampu hadir dan mewarnai hidupku.

Sepanjang hidupku, aku tidak pernah berani untuk pergi jalan-jalan sendiri. Namun, jika sudah di Jepang dan tidak jalan-jalan tentu akan menjadikan waktuku sia-sia selama di Jepang. Hampir seperti kekuatan magis, aku mampu mengumpulkan niat untuk jalan-jalan berkeliling kotanya disaat aku adalah manusia yang lebih suka rebahan dibanding apapun.

Hampir setiap akhir pekan, aku tidak pernah ada di rumah. Aku selalu punya tempat untuk dituju, meski harus melawan dingin, meski itu hanya sebuah taman yang penuh anak-anak bermain. Ternyata punya kegiatan di hari libur bukan hal yang buruk. Lalu aku mulai lupa dengan banyaknya list tontonan variety shows-ku, namun ternyata aku lebih bahagia. Ternyata aku perlu bernapas dengan udara yang lebih segar, sementara udara kamar sudah terlalu apek diisi penat selama 5 hari penuh dengan bekerja.

Diantara bulan-bulan penuh jalan-jalan yang kulewati, Oktober hingga Desember mungkin adalah puncaknya. Jalan-jalannya jauh, perlu banyak waktu dan pengorbanan. Pengorbanan utamanya adalah menyerah pada fashion karena dinginnya suhu. Tubuh mungilku padahal telah tenggelam dalam padding namun tetap menggigil didalamnya. Kutengok kanan dan kiri, manusia-manusia lain tetap terlihat cantik dengan rok mini. Heran kutatap mereka tanpa ingin mereka salah paham, karena aku tak lebih dari seonggok kepompong yang berjalan. Bagaimana bisa mereka melangkah dengan paha cantik tanpa ditutup kain? Sementara tak se-senti-pun kulitku nampak namun beku bahkan ditiap-tiap ujung kukunya.

Lagi-lagi, seperti mantra yang diucap sang penyihir, aku tetap memilih jalan-jalan. Meski danbou (AC dengan udara panas) terasa sulit ditinggalkan dengan cuaca yang sungguh tak mampu kumengerti mengapa dinginnya mampu menusuk tulang. Meski futon (kasur tanpa dipan) terasa semakin empuk dan nyaman untuk ditiduri di tengah cuaca yang sepertinya selalu memusuhiku dengan dinginnya angin bertiup. Namun lebih dari ingin membuatku nyaman, kurasa futon-ku lebih muak melihatku berbaring guling-gulingan diatasnya tanpa semangat hidup.

Salah satu jalan-jalanku yang paling berkesan adalah petualangan Tokyo. Selama setahun di Jepang, aku (lumayan) sering ke Tokyo meski hanya sekadar numpang lewat di stasiunnya. Namun di beberapa kesempatan, Tokyo banyak menjadi inti dari petualanganku. Tokyo menjadi tujuan utama untuk kujelajahi.

29 November 2020, kedua kalinya, aku sampai di Line Friends Flagship Harajuku Store. Tempat dimana aku paham mengapa Harajuku terkenal atas kata ‘fashionista’nya. Tempat dimana Shibuya kukenang dengan megah bangunannya, tinggi gedungnya, dan canggih teknologinya. Tempat dimana BTS punya surga belanjanya sendiri; goods dan semua tentang BTS. Di lantai satu, beruang coklat besar yang menjadi icon toko itu kini berubah penampilan. Karena natal sudah dekat, pun dia ikut-ikutan pakai syal warna merah dengan dekorasi hijau-hijau. Aku banyak belanja untuk keperluan oleh-oleh. Mundar-mandir ke sana-sini memilah-milih, sungguh kegiatan yang menyenangkan bisa berbelanja puas-puas meski tak satu barangpun kubeli untuk diri sendiri.

Lalu aku sadar, ini kali terakhirku berkunjung karena sebentar lagi akan pulang, aku berfoto sekaligus pamit dan minta didoakan pada beruang agar perjalanan pesawatku lancar dan chapter hidupku selanjutnya bisa terus menyenangkan. Aku juga berharap bisa bertemu sang beruang lagi dengan penampilan lainnya.

Hari itu, meski dingin, aku banyak berjalan-jalan. Dari yang awal niatnya berjalan-jalan sambil keliling, hingga kebanyakan jalan tak tahu arah karena nyasar. Faktor nyasar ini karena lapar dan bingung mau makan apa, lalu tiba-tiba ingin Ichiran Ramen. Ramen paling enak yang masuk kekategoriku. Mienya tipis-tipis dan lembut, kuahnya kental, di atasnya bertabur bubuk cabe yang pedasnya bisa kita request hingga level 10. Aku biasa makan level 7, dan rasanya pas sekali. Pedas yang tidak terlalu pedas, dan sangat bisa kunikmati. Aku bukan hardcore fan mie kuah, tapi Ichiran membuatku jatuh cinta. Ia adalah pengecualian yang mampu datang dan merusak tatanan seleraku.

Sama seperti toko Ichiran yang pernah kukunjungi, Ichiran kali ini juga dimulai dengan memesan menunya di jidouhangbaiki (vending machine). Fun fact; Ichiran hanya punya satu menu. Benar-benar hanya ramen! Selain itu yang membedakan adalah toppingnya. Gila sih, usaha satu menu ramen bisa selaku ini. Mungkin karena rasanya memang bisa diadu kapan saja. Lalu lanjut masuk ke dalam ruang makannya, dimana itu disekat-sekat untuk satu orang. Mirip seperti ruang belajar... aku sempat terkagum-kagum dengan kran airnya. Sungguh simple dan efisien.

Hal lain yang membuatku kagum adalah cara penyajiannya. Aku belum pernah makan di suatu restonan yang penyajiannya macam Ichiran. Nanti pelayannya akan muncul dari balik tirai, mengantarkan ramen, dan ojigi (membungkuk). Jepang sekali.

Sulit bagiku menjelaskan bagaimana sekat-sekat dan kran air yang kumaksud, jadi aku googling untuk mencari fotonya:


Setelah duduk di bangkunya, aku mengisi kuesioner singkat tentang bagaimana ramenku perlu disajikan. Aku biasa menghilangkan daun bawang, namun meminta lebih banyak bawang putih, selanjutnya yang paling penting adalah tingkat kepedasannya. Kupilih level 7; lucky seven.

Saat pesananku datang, aku hanya mampu menatapnya perlahan-lahan dan mencoba mencerna apa yang terjadi. Dengan amat sangat jelas mataku dapat melihat bahwa yang tersaji di depanku adalah ramen dengan irisan babi di atasnya. Reksa di sampingku juga sama bingungnya, menatapku tanpa suara tapi aku paham kalimatnya; bahwa dia juga kaget atas babi yang dia lihat.

“Makan aja apa ya? Pisahin babinya. Yang penting babinya gak kita makan," saran Reksa.

Aku ragu. Ini bukan perkara misahin daging, tapi sederhananya mulutku tak bisa menelan jika jelas-jelas ada babi dipiringku. Ini salah diagamaku, dan aku punya kesempatan untuk menjauhinya maka, "aku mau protes ke mas-nya. Aku bakal jelasin ke mas-nya kalau tadi di kuisioner aku pilih nashi (without/tanpa) babi," kataku kelewat percaya diri mengingat kemampuan bahasa Jepang-ku yang kurang mumpuni.

Akhirnya ku panggil mas-nya, kukatakan sumimasen, kujelaskan terbata-bata, lalu Reksa ambil alih. Memang kemampuan bahasa Jepangnya jauh di atasku. Dia jelaskan kalau kami minta tukar pesanan tanpa daging babi, lalu masnya double check kuisioner yang sebelumnya kami isi, mas-nya paham lalu meminta maaf dan mengganti pesanan kami dengan ekspresi, "aneh lu anjir dikasih daging gak mau".

Kira-kira pesananku yang datang seperti ini:


Pesanan yang kuharapkan dan akhirnya datang:

Kali ini aku memotretnya sendiri. Bahkan hanya melihat fotonya aku bisa membayangkan rasanya. Aku bisa merasakan kuahnya mengalir pelan-pelan ditenggorokanku, berjalan menyusuri usus, dan mengabarkan kegembiraan pada perutku.

Perut kami sudah kenyang dengan ramen, pun telah hangat karena kuahnya. Kami sudah punya banyak kekuatan untuk kembali berpetualang, dan tujuan selanjutnya adalah Tokyo Camii. Hampir setahun aku di Jepang, baru kali ini aku akan mengunjungi tempat ibadahku sebagai seorang muslim. Memang aku, sungguh jauh dari kata taat.

Sampai di Camii, aku banyak menemukan orang-orang Jepang yang ikut terkagum-kagum atas bangunan megah masjid itu. Bahasa Jepang-ku buruk, namun aku mengerti satu-dua kalimat yang mereka obrolkan. Aku senyum-senyum saat ada yang menjelaskan tentang Islam; agamaku diceritakan dengan indah lewat mulut mereka. Aku sempat foto bagian depannya:

Bangunan masjid-nya kental sekali dengan nuansa Turki. Aku tak banyak tahu soal arsitektur, namun saat aku cek di google, memang nama lengkapnya adalah Tokyo Camii & Turkish Culture Centre. Masuk ke dalam masjidnya, aku disambut museum mini. Didalamnya juga ada semacam mini market yang menjual berbagai makanan halal. Tersedia juga kelengkapan sholat seperti sajadah, mukena, tasbih, dsb. Ada juga perpustakaan didalamnya, namun aku tak sempat memeriksa buku-bukunya karena sebentar lagi adzan ashar dan aku ingin merasakan sholat berjamaah.

Aku sholat dengan mengenakan mukena yang disediakan masjid. Model mukenanya adalah mukena simple yang tinggal masuk (?) wkwk bagaimana harus kujelaskan? Lalu warna mukenanya seragam hitam semua. Saat aku sholat, ada seorang perempuan Jepang berjalan-jalan mengagumi bagian dalam masjid sambil terus mengambil gambar dengan kamera yang ia kalungkan. Hal yang lucu adalah ia hampir menginjak seseorang yang tengah sujud karena terlalu fokus melihat-lihat atap masjid wkwk. Entah apa yang ada dipikirannya saat melihat tulisan Arab yang tidak kalah heboh dengan kanji.




Sesudah sholat, aku lapar lagi. Aku mau menyalahkan udara dingin yang mudah membuatku lapar namun setelah diingat-ingat…memang porsi makanku setara tahanan yang tidak diberi makan seminggu. Dengan berbagai belanjaan di tangan, aku melesat ke kota lain dengan densha (kereta). Aku menuju sebuah kota yang tak pernah membuatku kecewa kapanpun aku datang; Shinookubo.

Shinookubo atau terkenal dengan panggilan “Korean Town” merupakan sebuah negara Korea ‘mini’ yang Jepang sediakan. Isinya tentu penuh dengan boyband dan girlband Korea, makanan Korea, dan yang paling membahagiakan tentu skin care dan make up Korea. Aku tak pandai urusan skin care maupun make up, namun setiap melihat 2 benda itu aku selalu tertarik. Sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan, aku hanya mampu mengagumi orang-orang yang mampu menggunakannya dengan baik.

Sampai Shinookubo, aku (lagi-lagi) membeli oleh-oleh. Kali ini, aku juga membeli liptint untuk diriku sendiri. Tak ketinggalan aku juga membeli tteokbokki dilanggananku (padahal baru beli 2x). Enak. Enak sekali. Sampai saat ini, tteokbokki langgananku adalah tteokbokki terenak yang pernah aku makan.

Selebihnya, aku hanya berjalan-jalan menikmati udara Shinookubo diiringi musik Kpop kemanapun kaki melangkah. Aku masuk dari toko satu ke toko yang lain sekadar melihat-lihat make up. Aku siap untuk petualanganku besok; Disney Sea. Aku usahakan menabung waktu dan meluangkannya untuk menulis. Aku akan kembali dengan nuansa Disney Sea. See ya!

Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar