Sabtu, 24 April 2021

RINDU

Sejak pulang ke tanah air, tak banyak yang aku lakukan selain rebahan dan melamar kerja. Yap, hidupku seperti ter-reset dan kembali ke canva; mengikuti zaman dan membuat CV jadi lebih menarik. Alasannya mungkin sederhana, karena kemampuanku tidak menarik:) WKWKWKW. Keterampilanku tidak ada, jadi menyerah dan malah lari ke nilai keindahan. Meski akhirnya, CV-ku hanya menggunakan design rata-rata karena jiwa kreatifku juga hanya rata-rata. Kemampuan canva-ku juga rata-rata. Memang hidupku, hanya manusia rata-rata.

Singkat cerita, aku yang memiliki cita-cita dapat pekerjaan dekat-dekat rumah malah kerja di Jababeka II. Rumahku di Setu, btw. Jadi jarak tempuhnya sekitar 45-60 menit dengan motor. Ironi.

Dulu, aku kuliah di Unisma Bekasi. Jarak tempuhnya juga 45-60 menit dari rumah dengan motor. Setiap berangkat, aku selalu berandai-andai kalau saja ada perosotan yang bisa aku naiki agar cukup meluncur dan sampai tujuan tanpa harus berlelah-lelah oleh macetnya Cikarang. Saat sampai di parkiran kampus, hal pertama yang aku impikan adalah sudut kerudung yang presisi namun selalu kalah karena tertimpa helm sepanjang perjalanan.

Banyak kehidupan kampus yang membuatku iri, tapi melihat orang-orang dengan dress lucu-lucu membuatku menundukkan pandangan. Tentu saja naik motor tak bisa jadi alasan untuk tidak bisa mengenakan dress. Namun aku lebih sering menyerah karena hujan suka tiba-tiba datang dan jas hujan bukan kombinasi yang aman serta nyaman jika mengenakan dress didalamnya. Okelah hujannya reda, namun aku harus menyerah lagi karena aku akan lebih merasa nelangsa kalau dress yang kukenakan terkena cipratan lumpur atau becekan bekas hujan.

Setelah bertubi-tubi drama permotoran, aku lebih sering berdoa. Tolong jangan ada lagi jarak ‘tanggung’ yang perlu aku jangkau dengan motor. Mending ‘jauh’ sekalian, bisa naik kereta atau angkutan umum lain. Atau ‘dekat’, cukup sepeda. Dan kemudian, aku skripsian di Kampung Jamu. Letaknya di kawasan EJIP Cikarang. Jaraknya? 45-60 menit dari rumah dengan motor. Tolong:”)

Kembali lagi ke hari ini, seperti yang sudah kukatakan, aku bekerja di salah satu perusahaan yang letaknya di Jababeka II. Tentu saja masih kutempuh dengan motor. Melewati panas dan jalan berlubangnya Cikarang. Melewati hujan dan macetnya Cikarang. Paling parah adalah melewati hujan namun kepanasan karena mengenakan jas hujan dilembabnya udara Cikarang, lalu macet karena jalanannya bolong-bolong. Sudah. Tidak ada hal lain yang mampu lebih sedih dari itu semua. Tidak ada.

Setelah rutinitas permotoran dan bekerja yang melelahkan, aku banyak mencari hiburan sebagai jalan keluarnya. Mulai dari hal-hal sederhana seperti mendengarkan musik hingga menonton film. Tapi ternyata dua hal menyenangkan tersebut juga bisa membosankan. So I back to the basic; membaca dan menulis. Dan pada buku yang sedang kubaca, aku menemukan kalimat ini; buku adalah sumber ilmu tiada ternilai, mengisi waktu kosong dengan membaca adalah pilihan baik. Kurasa, aku memang memilih dengan baik.

Sc: Google

Buku yang kubaca berjudul Rindu yang ditulis oleh Tere Liye. Setelah merasa memilih dengan tepat, aku sampai pada kalimat; ‘apakah untuk menjadi penulis kita harus banyak membaca? Tentu. Jika kau ingin menulis satu paragraf yang baik kau harus membaca satu buku. Maka jika di dalam tulisan itu ada beratus-ratus paragraf, sebanyak itulah buku yang harus kau baca’. Berat, berat sekali. Berani-beraninya aku telah sampai di paragraf sekian dari tulisan ini hanya karena satu buku yang kubaca.

Salah satu karakter novel itu ada yang namanya Ahmad Karaeng dan ia hobi menulis. Tentu saja hal-hal yang ditulisnya adalah hal-hal berfaedah karena ia adalah salah satu ulama besar. Aku tergugu pada saat Ahmad Karaeng diceritakan kesulitan menulis. ‘Tangannya yang memegang pena seperti tak kuasa menulis barang satu kalimat. Seperti seluruh gagasan yang hendak dia tuliskan menguap. Dia tiba-tiba kehilangan keyakinan atas apa yang akan dia tumpahkan - begitu saja. Dijeda shalat maghrib, disela shalat Isya, tetap saja hasilnya sama, lembaran kertas tetap kosong. Lantas pertanyaan-pertanyaan itu mengungkung kepalanya. Apakah mungkin karena dia sendiri memang tidak pernah seyakin itu atas pengetahuan yang dia miliki’.

Maksudku, aku menulis untuk bersenang-senang. Aku menulis untuk pergi dari rutinitas yang membosankan. Tapi dia menjadikan menulis sebagai rutinitasnya dan justru malah membuatnya kebingungan dan kelelahan. ‘Selalu menyakitkan saat kita membenci sesuatu. Apalagi jika itu ternyata membenci orang yang seharusnya kita sayangi’. Lalu saat kasusnya adalah membenci rutinitas yang kita sukai, aku tak tahu bagaimana harus menggambarkannya dengan kata-kata selain menyebutnya sebagai kehilangan arah.

Tidak banyak yang aku pikirkan saat membaca novel ini, aku langsung membuka bukunya tanpa membaca sinopsisnya. Lembar pertamanya sudah membuatku tertarik saat pembahasannya adalah sebuah kapal yang digunakan untuk berangkat haji. Dijelaskan bahwa kapal itu sangat besar, luas, tangguh, dan segalanya tampak menawan. Namun satu yang kuingat bahwa kapal itu bernama Blitar Holland.

Aku ingat betul kapal itu merupakan kapal yang besar karena diceritakan masjid di dalam kapalnya mampu menampung 600 jamaah. Kadang kalo dipikir menggunakan otakku, aku rasa agak mustahil namun novel ini seperti diambil dari kisah nyata karena tahun-tahun yang diceritakan persis seperti kondisi Indonesia di masa lalu. Novel ini bahkan membahas bagaimana Aceh disebut sebagai Serambi Mekkah.

Kalau perlu kuceritakan dengan lebih spesifik, kalimat yang tertulis adalah ‘ruangan luas yang bisa menampung enam ratus jamaah itu dilapisi karpet tipis berwarna hijau yang bersih dan nyaman’. Namun yang lebih mengangumkan adalah di dalam kapal itu juga terdapat ruang laundry dengan mesin cuci. Ada juga ruang dengan mesin jahit beserta penjahitnya yang merupakan orang India. Tunggu. Ada yang lebih ajaib. Kapal itu juga punya penjara, kantin yang luas, dan tempat bermain dan belajar khusus anak-anak. Perjalanan haji dengan kapal yang membutuhkan waktu berbulan-bulan terasa seperti liburan dimataku.

Secara garis besar, memang itulah isi novel yang kubaca. Benar-benar hanya seputar kehidupan di kapal besar selama berbulan-bulan yang digunakan sebagai transportasi untuk berangkat haji. Sudah. Sederhana sekali. Namun konflik melebar dengan pembahasan para karakternya yang memiliki masalah hidup dan tujuan yang berbeda-beda hingga akhirnya memutuskan berangkat haji dengan Blitar Holland.

Dalam setiap perjalanan, satu-dua orang akan pergi untuk lari. Aku selalu yakin atas hal itu. Kurasa, Tere Liye punya paham yang sama hingga akhirnya di novel inipun, ‘lari’ diceritakan begitu detail. ‘Hanya dua hal yang bisa membuat seorang pelaut tangguh berhenti bekerja di tempat yang dia sukai, lantas memutuskan pergi naik kapal apapun yang bisa membawanya sejauh mungkin ke ujung dunia. Satu karena kebencian yang amat besar, satu lagi karena rasa cinta yang sangat dalam. Oh my son, jangan-jangan, kau mengalami dua hal itu sekaligus’.

Sulit bagiku menjelaskan ‘lari’ yang aku maksudkan namun ada dialog yang menurutku cukup untuk menggambarkannya,

“Apakah ia punya musuh? Maksudku kenapa dia harus pergi jauh?"

"Bukan itu. Tidak selalu orang lari dari sesuatu karena ketakutan atau ancaman. Kita juga bisa pergi karena kebencian, kesedihan, ataupun karena harapan”

Pergi, lari, kabur, pulang, rumah adalah beberapa kata sederhana yang kita gunakan sehari-hari namun konteksnya bisa berubah 180 derajat jika perasaan telah mengambil alih. Jika kehidupan terlalu banyak ikut campur menyakiti diri dan menggerus tanpa ampun dengan kenyataan-kenyataan pahit. ‘Semoga perjalanan ini membuat suasana hati kau jadi lebih baik. Kata orang bijak, kesibukan selalu membantu orang-orang yang sedang dalam situasi seperti kau’. Tidak. Hakikatnya kesibukan tidak membuat lupa. Kesibukan hanya membuat lelah hati berganti menjadi lelah fisik. Dan justru pada banyak kesempatan, lelah hati selalu mengalahkan lelah fisik.

Perjalanan ini sepertinya menjanjikan banyak hal. Semua kesibukan. Semua hal baru. Mungkin dia bisa melupakan banyak hal. Tapi entahlah, malam ini, dia tetap merasa separuh hatinya kosong melompong. Disebut apa situasi yang dia alami ini? Jenis perasaan apa?

Malam ini, sungguh dia telah ditipu oleh hatinya sendiri. Dia kira, semuanya sudah kembali normal, kehidupannya sudah berjalan baik. Dia pikir, kesibukan telah berhasil menyingkirkan semua. Ternyata itu hanya muslihat hatinya sendiri’.

Omong kosong. Semua kesibukan ini, pengalaman baru, tidak pernah mampu mengusir pergi kenangan itu. Jika itu sebuah benteng, maka benteng itu rapuh, rontok seketika. Jika itu sebuah tameng, maka tameng itu juga tipis dan ringkih, hancur seketika’. NAH. Sudah kukatakan sibuk tak membuat lupa.

Luka fisik dengan cepat sembuh, sedangkan pemahaman baik atas setiap kejadian akan selalu menetap’. Itu luka fisik, lalu bagaimana lelah fisik yang kukatakan? Nyatanya, pemahaman yang baik tidak didapat saat fisik terlanjur lelah. ‘Bukan fisiknya yang lelah, melainkan hatinya. Dan itu cukup membuat kondisi tubuhnya ikut memburuk’. NAH. Harus sejelas apalagi kugambarkan lelah hati?

Sekuat apapun aku melawan ingatan itu, aku tidak bisa. Di kepalaku masih melintas wajah-wajah mereka, aku bahkan masih mengingat detailnya. Telingaku masih mendengar semuanya. Aku tidak bisa mengenyahkan kenangan itu

Membiarkan semua kenangan itu terus menghujam kepalaku, membuatku bermimpi buruk setiap malam, membuatku malu bertemu siapapun

Selain Ahmad Karaeng, banyak tokoh-tokoh yang unik. Salah satunya adalah Ambo Uleng, dia diceritakan dengan kalimat, ‘kau pemuda malang yang terpagut harapan, terjerat keinginan memiliki dan terperangkap kehilangan seseorang yang kau sayangi’. Ada juga pasangan suami istri super romantis; mbah Kakung dan mbah Putri. Sampai sekarang, aku masih suka senyum-senyum sendiri saat mengingat kalimat mbah Kakung, ‘sejak kami menikah, hidupku tak memiliki pertanyaan lagi. Aku sudah memiliki semua jawaban. Buat apa bertanya? Aku menghabiskan hari dengan pasti. Aku bahagia, bersyukur atas setiap takdir yang kuterima’.

NAMUN yang paling menyita perhatianku adalah 2 tokoh anak kecil yang bernama Elsa dan Anna. Mereka diceritakan sebagai kaka beradik. Maksudku…kenapa…harus Frozen. Membuatku membayangkan Elsa dan Anna membaca al-quran, lari-lari di kapal, lalu berangkat haji adalah sesuatu yang membingungkan.

Dari novel ini, selain berkaca diri, aku belajar hal-hal baru. Terutama tentang perkapalan dan terkagum-kagum atas fakta-fakta yang kubaca. Banyak analogi-analogi yang Tere Liye gunakan, namun aku paling suka kalimat ini; ‘jangan pernah merusak diri sendiri. Kita boleh jadi benci atas kehidupan ini. Boleh kecewa. Boleh marah. Tapi ingatlah nasehat lama, tidak pernah ada pelaut yang merusak kapalnya sendiri. Akan dia rawat kapalnya, hingga dia bisa tiba di pelabuhan terakhir. Maka, jangan rusak kapal kehidupan milik kau, hingga dia tiba di dermaga terakhirnya’.

Kemarin, berita yang tak henti-henti kulihat dan kutangisi juga tentang kapal. Kri Nanggala yang saat menyebutkan namanya saja membuatku sakit hati. Aku doakan semoga tiap-tiap orang yang ada didalamnya mendapat tempat tebaik disisi Allah SWT. Maaf aku hanya mampu berdoa. Namun novel ini bilang bahwa doa itu segalanya, itu melebihi apapun, doa adalah sumber kekuatan yang tidak terbayangkan.

Kurasa menulis memang perlu banyak membaca. Lihat aku yang hanya membaca satu buku dan menulis. Betapa tak teraturnya pembahasan yang aku coba sampaikan. Bahkan menutup tulisan inipun harus kulakukan dengan cara seperti ini. Hanya mampu berterima kasih karena kalian telah sampai pada akhir kalimat. Terima kasih telah membaca.


Categories: , ,

0 komentar:

Posting Komentar