Sejak pulang ke tanah air, tak
banyak yang aku lakukan selain rebahan dan melamar kerja. Yap, hidupku seperti
ter-reset dan kembali ke canva; mengikuti zaman dan membuat CV jadi lebih
menarik. Alasannya mungkin sederhana, karena kemampuanku tidak menarik:)
WKWKWKW. Keterampilanku tidak ada, jadi menyerah dan malah lari ke nilai
keindahan. Meski akhirnya, CV-ku hanya menggunakan design rata-rata karena jiwa
kreatifku juga hanya rata-rata. Kemampuan canva-ku juga rata-rata. Memang hidupku,
hanya manusia rata-rata.
Singkat cerita, aku yang memiliki cita-cita dapat pekerjaan dekat-dekat rumah malah kerja di Jababeka II. Rumahku di Setu, btw. Jadi jarak tempuhnya sekitar 45-60 menit dengan motor. Ironi.
Dulu, aku kuliah di Unisma
Bekasi. Jarak tempuhnya juga 45-60 menit dari rumah dengan motor. Setiap berangkat,
aku selalu berandai-andai kalau saja ada perosotan yang bisa aku naiki agar
cukup meluncur dan sampai tujuan tanpa harus berlelah-lelah oleh macetnya
Cikarang. Saat sampai di parkiran kampus, hal pertama yang aku impikan adalah
sudut kerudung yang presisi namun selalu kalah karena tertimpa helm sepanjang
perjalanan.
Banyak kehidupan kampus yang
membuatku iri, tapi melihat orang-orang dengan dress lucu-lucu membuatku
menundukkan pandangan. Tentu saja naik motor tak bisa jadi alasan untuk tidak
bisa mengenakan dress. Namun aku lebih sering menyerah karena hujan suka
tiba-tiba datang dan jas hujan bukan kombinasi yang aman serta nyaman jika
mengenakan dress didalamnya. Okelah hujannya reda, namun aku harus menyerah
lagi karena aku akan lebih merasa nelangsa kalau dress yang kukenakan terkena
cipratan lumpur atau becekan bekas hujan.
Setelah bertubi-tubi drama
permotoran, aku lebih sering berdoa. Tolong jangan ada lagi jarak ‘tanggung’ yang
perlu aku jangkau dengan motor. Mending ‘jauh’ sekalian, bisa naik kereta atau
angkutan umum lain. Atau ‘dekat’, cukup sepeda. Dan kemudian, aku skripsian di
Kampung Jamu. Letaknya di kawasan EJIP Cikarang. Jaraknya? 45-60 menit dari
rumah dengan motor. Tolong:”)
Kembali lagi ke hari ini, seperti
yang sudah kukatakan, aku bekerja di salah satu perusahaan yang letaknya di
Jababeka II. Tentu saja masih kutempuh dengan motor. Melewati panas dan jalan
berlubangnya Cikarang. Melewati hujan dan macetnya Cikarang. Paling parah
adalah melewati hujan namun kepanasan karena mengenakan jas hujan dilembabnya
udara Cikarang, lalu macet karena jalanannya bolong-bolong. Sudah. Tidak ada
hal lain yang mampu lebih sedih dari itu semua. Tidak ada.
Setelah rutinitas permotoran dan
bekerja yang melelahkan, aku banyak mencari hiburan sebagai jalan keluarnya. Mulai
dari hal-hal sederhana seperti mendengarkan musik hingga menonton film. Tapi ternyata
dua hal menyenangkan tersebut juga bisa membosankan. So I back to the basic;
membaca dan menulis. Dan pada buku yang sedang kubaca, aku menemukan kalimat
ini; buku adalah sumber ilmu tiada
ternilai, mengisi waktu kosong dengan membaca adalah pilihan baik. Kurasa,
aku memang memilih dengan baik.
Sc: Google |
Buku yang kubaca berjudul Rindu yang ditulis oleh Tere Liye. Setelah merasa memilih dengan tepat, aku sampai pada kalimat; ‘apakah untuk menjadi penulis kita harus banyak membaca? Tentu. Jika kau ingin menulis satu paragraf yang baik kau harus membaca satu buku. Maka jika di dalam tulisan itu ada beratus-ratus paragraf, sebanyak itulah buku yang harus kau baca’. Berat, berat sekali. Berani-beraninya aku telah sampai di paragraf sekian dari tulisan ini hanya karena satu buku yang kubaca.
Salah satu karakter novel itu ada
yang namanya Ahmad Karaeng dan ia hobi menulis. Tentu saja hal-hal yang
ditulisnya adalah hal-hal berfaedah karena ia adalah salah satu ulama besar. Aku
tergugu pada saat Ahmad Karaeng diceritakan kesulitan menulis. ‘Tangannya yang memegang pena seperti tak
kuasa menulis barang satu kalimat. Seperti seluruh gagasan yang hendak dia
tuliskan menguap. Dia tiba-tiba kehilangan keyakinan atas apa yang akan dia
tumpahkan - begitu saja. Dijeda shalat maghrib, disela shalat Isya, tetap saja
hasilnya sama, lembaran kertas tetap kosong. Lantas pertanyaan-pertanyaan itu
mengungkung kepalanya. Apakah mungkin karena dia sendiri memang tidak pernah
seyakin itu atas pengetahuan yang dia miliki’.
Maksudku, aku menulis untuk
bersenang-senang. Aku menulis untuk pergi dari rutinitas yang membosankan. Tapi
dia menjadikan menulis sebagai rutinitasnya dan justru malah membuatnya kebingungan
dan kelelahan. ‘Selalu menyakitkan saat
kita membenci sesuatu. Apalagi jika itu ternyata membenci orang yang seharusnya
kita sayangi’. Lalu saat kasusnya adalah membenci rutinitas yang kita
sukai, aku tak tahu bagaimana harus menggambarkannya dengan kata-kata selain
menyebutnya sebagai kehilangan arah.
Tidak banyak yang aku pikirkan
saat membaca novel ini, aku langsung membuka bukunya tanpa membaca sinopsisnya.
Lembar pertamanya sudah membuatku tertarik saat pembahasannya adalah sebuah
kapal yang digunakan untuk berangkat haji. Dijelaskan bahwa kapal itu sangat
besar, luas, tangguh, dan segalanya tampak menawan. Namun satu yang kuingat
bahwa kapal itu bernama Blitar Holland.
Aku ingat betul kapal itu
merupakan kapal yang besar karena diceritakan masjid di dalam kapalnya mampu
menampung 600 jamaah. Kadang kalo dipikir menggunakan otakku, aku rasa agak
mustahil namun novel ini seperti diambil dari kisah nyata karena tahun-tahun yang
diceritakan persis seperti kondisi Indonesia di masa lalu. Novel ini bahkan
membahas bagaimana Aceh disebut sebagai Serambi Mekkah.
Kalau perlu kuceritakan dengan
lebih spesifik, kalimat yang tertulis adalah ‘ruangan luas yang bisa menampung enam ratus jamaah itu dilapisi karpet
tipis berwarna hijau yang bersih dan nyaman’. Namun yang lebih mengangumkan
adalah di dalam kapal itu juga terdapat ruang laundry dengan mesin cuci. Ada juga
ruang dengan mesin jahit beserta penjahitnya yang merupakan orang India. Tunggu.
Ada yang lebih ajaib. Kapal itu juga punya penjara, kantin yang luas, dan
tempat bermain dan belajar khusus anak-anak. Perjalanan haji dengan kapal yang
membutuhkan waktu berbulan-bulan terasa seperti liburan dimataku.
Secara garis besar, memang itulah
isi novel yang kubaca. Benar-benar hanya seputar kehidupan di kapal besar selama
berbulan-bulan yang digunakan sebagai transportasi untuk berangkat haji. Sudah.
Sederhana sekali. Namun konflik melebar dengan pembahasan para karakternya yang
memiliki masalah hidup dan tujuan yang berbeda-beda hingga akhirnya memutuskan
berangkat haji dengan Blitar Holland.
Dalam setiap perjalanan, satu-dua
orang akan pergi untuk lari. Aku selalu yakin atas hal itu. Kurasa, Tere Liye
punya paham yang sama hingga akhirnya di novel inipun, ‘lari’ diceritakan
begitu detail. ‘Hanya dua hal yang bisa
membuat seorang pelaut tangguh berhenti bekerja di tempat yang dia sukai,
lantas memutuskan pergi naik kapal apapun yang bisa membawanya sejauh mungkin
ke ujung dunia. Satu karena kebencian yang amat besar, satu lagi karena rasa
cinta yang sangat dalam. Oh my son, jangan-jangan, kau mengalami dua hal itu
sekaligus’.
Sulit bagiku menjelaskan ‘lari’
yang aku maksudkan namun ada dialog yang menurutku cukup untuk
menggambarkannya,
“Apakah ia punya musuh? Maksudku kenapa dia harus pergi jauh?"
"Bukan itu. Tidak selalu orang lari dari sesuatu karena ketakutan
atau ancaman. Kita juga bisa pergi karena kebencian, kesedihan, ataupun karena
harapan”
Pergi, lari, kabur, pulang, rumah
adalah beberapa kata sederhana yang kita gunakan sehari-hari namun konteksnya
bisa berubah 180 derajat jika perasaan telah mengambil alih. Jika kehidupan
terlalu banyak ikut campur menyakiti diri dan menggerus tanpa ampun dengan
kenyataan-kenyataan pahit. ‘Semoga
perjalanan ini membuat suasana hati kau jadi lebih baik. Kata orang bijak,
kesibukan selalu membantu orang-orang yang sedang dalam situasi seperti kau’.
Tidak. Hakikatnya kesibukan tidak membuat lupa. Kesibukan hanya membuat lelah hati
berganti menjadi lelah fisik. Dan justru pada banyak kesempatan, lelah hati
selalu mengalahkan lelah fisik.
‘Perjalanan ini sepertinya menjanjikan banyak hal. Semua kesibukan.
Semua hal baru. Mungkin dia bisa melupakan banyak hal. Tapi entahlah, malam
ini, dia tetap merasa separuh hatinya kosong melompong. Disebut apa situasi
yang dia alami ini? Jenis perasaan apa?’
‘Malam ini, sungguh dia telah ditipu oleh hatinya sendiri. Dia kira,
semuanya sudah kembali normal, kehidupannya sudah berjalan baik. Dia pikir,
kesibukan telah berhasil menyingkirkan semua. Ternyata itu hanya muslihat
hatinya sendiri’.
‘Omong
kosong. Semua kesibukan ini, pengalaman baru, tidak pernah mampu mengusir pergi
kenangan itu. Jika itu sebuah benteng, maka benteng itu rapuh, rontok seketika.
Jika itu sebuah tameng, maka tameng itu juga tipis dan ringkih, hancur seketika’.
NAH. Sudah kukatakan sibuk tak membuat lupa.
‘Luka
fisik dengan cepat sembuh, sedangkan pemahaman baik atas setiap kejadian akan
selalu menetap’. Itu luka fisik, lalu bagaimana lelah fisik yang kukatakan?
Nyatanya, pemahaman yang baik tidak didapat saat fisik terlanjur lelah. ‘Bukan fisiknya yang lelah, melainkan
hatinya. Dan itu cukup membuat kondisi tubuhnya ikut memburuk’. NAH. Harus sejelas
apalagi kugambarkan lelah hati?
‘Sekuat apapun aku melawan ingatan itu, aku tidak bisa. Di kepalaku
masih melintas wajah-wajah mereka, aku bahkan masih mengingat detailnya.
Telingaku masih mendengar semuanya. Aku tidak bisa mengenyahkan kenangan itu’
‘Membiarkan semua kenangan itu terus menghujam kepalaku, membuatku
bermimpi buruk setiap malam, membuatku malu bertemu siapapun’
Selain Ahmad Karaeng, banyak
tokoh-tokoh yang unik. Salah satunya adalah Ambo Uleng, dia diceritakan dengan
kalimat, ‘kau pemuda malang yang
terpagut harapan, terjerat keinginan memiliki dan terperangkap kehilangan
seseorang yang kau sayangi’. Ada juga pasangan suami istri super romantis;
mbah Kakung dan mbah Putri. Sampai sekarang, aku masih suka senyum-senyum sendiri
saat mengingat kalimat mbah Kakung, ‘sejak
kami menikah, hidupku tak memiliki pertanyaan lagi. Aku sudah memiliki semua
jawaban. Buat apa bertanya? Aku menghabiskan hari dengan pasti. Aku bahagia,
bersyukur atas setiap takdir yang kuterima’.
NAMUN yang paling menyita
perhatianku adalah 2 tokoh anak kecil yang bernama Elsa dan Anna. Mereka diceritakan
sebagai kaka beradik. Maksudku…kenapa…harus Frozen. Membuatku membayangkan Elsa
dan Anna membaca al-quran, lari-lari di kapal, lalu berangkat haji adalah
sesuatu yang membingungkan.
Dari novel ini, selain berkaca
diri, aku belajar hal-hal baru. Terutama tentang perkapalan dan terkagum-kagum
atas fakta-fakta yang kubaca. Banyak analogi-analogi yang Tere Liye gunakan,
namun aku paling suka kalimat ini; ‘jangan
pernah merusak diri sendiri. Kita boleh jadi benci atas kehidupan ini. Boleh
kecewa. Boleh marah. Tapi ingatlah nasehat lama, tidak pernah ada pelaut yang
merusak kapalnya sendiri. Akan dia rawat kapalnya, hingga dia bisa tiba di
pelabuhan terakhir. Maka, jangan rusak kapal kehidupan milik kau, hingga dia
tiba di dermaga terakhirnya’.
Kemarin, berita yang tak
henti-henti kulihat dan kutangisi juga tentang kapal. Kri Nanggala yang saat
menyebutkan namanya saja membuatku sakit hati. Aku doakan semoga tiap-tiap
orang yang ada didalamnya mendapat tempat tebaik disisi Allah SWT. Maaf aku
hanya mampu berdoa. Namun novel ini bilang bahwa doa itu segalanya, itu melebihi apapun, doa adalah sumber kekuatan yang
tidak terbayangkan.
Kurasa menulis memang perlu
banyak membaca. Lihat aku yang hanya membaca satu buku dan menulis. Betapa tak
teraturnya pembahasan yang aku coba sampaikan. Bahkan menutup tulisan inipun
harus kulakukan dengan cara seperti ini. Hanya mampu berterima kasih karena
kalian telah sampai pada akhir kalimat. Terima kasih telah membaca.
0 komentar:
Posting Komentar