Dulu sekali, saat kegiatanku masih sebatas kursi sekolah dan kursi warnet, aku jarang berkaca diri; tentang sikap, maupun penampilan. Lalu beranjak, saat kursi-kursi lain mulai aku duduki; ekstrakulikuler, les, sosial media, kekoreaan, dan entahlah apa namun ternyata tidak banyak membawa perubahan. Mungkin aku, memang tidak cocok pada bidang mempercantik diri. Meski aku iri, saat mereka sedang membicarakan warna lipstick. Meski hatiku bergetar saat perubahan-perubahan positif mereka tidak mampu aku imbangi.
Pendapatku yang lain, mungkin aku memang tidak cocok dibidang musik dan lagu-lagu. Meski aku penasaran, saat mendengar lagu yang cocok di telingaku namun terlalu malu menanyakan judulnya karena takut dibilang kurang gaul. Meski aku lebih sering merasa tertinggal, saat tiba-tiba musik menyala, lalu mereka dengan kompak menyanyi bersama. Aku juga ingin, namun lagi-lagi, bukannya melangkah maju, aku mundur ke belakang. Menarik diri, dan memilih menjalani hidupku. Hidup yang kurasa terlalu hening, tanpa perubahan berarti, tanpa hiburan yang berarti pula.
Waktu tetap berlari, tak peduli padaku yang terlalu cepat lelah dan meninggalkanku jauh di belakang. Tiba-tiba, aku dipaksa mencoba kursi-kursi lain. Kursi-kursi yang belum tentu cocok untukku. Kursi-kursi yang takut kucoba namun terlanjur kududuki. Kursi-kursi yang kalau kubilang membawa perubahan, aku juga tidak terlalu yakin; penolakan, kecewa, perjuangan, lelah, penat, tanggung jawab umur 20 tahunan.
Jika waktu-waktuku hidup ditimbang dan diukur, mungkin sebagian besarnya adalah kesendirian. Dimana waktu-waktu sendiri itu lebih banyak membuatku membayangkan skenario-skenario besar namun patah karena usahaku yang minim. Atau merenung membanding-bandingkan diri dengan yang lain. Saat mereka sudah jelas akan selalu lebih dariku; lebih cantik, lebih baik, lebih pintar, lebih ini, dan lebih itu. Bodohnya aku, berkali-kali tak kunjung paham, bahwa hal-hal 'lebih' yang mereka miliki sebenarnya adalah lebih rajin, lebih berusaha, lebih mengeksplorasi diri, lebih belajar, lebih banyak bangkit dibanding menyerah, lebih fokus memperbaiki diri sendiri dibanding mencari pembelaan seperti yang kulakukan.
Kemudian kenyataan mulai menghamtam bertubi-tubi. Kenyataan yang dulu datang perlahan-lahan, kini tak lagi memberiku ampun. Kenyataan datang dan menindasku; teriak-teriak bahwa aku tertinggal dan tak ada banyak waktu tersisa. Meski aku berlari sekuat mungkin, namun jarak yang tercipta sudah kelewat jauh. Meski aku bangkit, namun kesempatan-kesempatan telah runtuh. Terlalu terlambat karena telah kusia-siakan. Lagi, aku mencari pembelaan-pembelaan.
Kini, mungkin aku masih tak banyak berubah. Mungkin aku masih aku yang dulu. Mungkin aku masih aku yang mencari-cari pembelaan. Tapi kursi-kursi lain tetap datang; entah aku siap maupun tidak. Kesempatan-kesempatan selalu ada; entah aku ambil maupun tidak. Entah seberapa takutnya aku, aku akan tetap memilih kursi, aku akan tetap menjalani hidup dari kesempatan-kesempatan yang kupilih.
Pun hari ini, aku masih duduk di kursi. Ditemani sebotol Teh Pucuk, diiringi lagu-lagu Sheila On 7, jari jemariku lincah mengetik. Hari ini, aku pilih menulis. Membangkitkan hobi yang sudah lama tak kusisihkan waktu untuk mengisi luang. Kesempatan untuk berleha-leha selalu ada, tapi detik ini kupilih untuk menuliskannya satu-persatu; malas-malasanku harus terlihat lebih elegan.
Besok, aku akan memilih kursi lagi. Sama seperti hari ini dan hari-hari lalu, kursiku bisa saja membuatku kecewa. Sama seperti kemarin dan minggu lalu, kesempatan yang aku ambil bisa saja salah. Namun tak apa, masih ada lusa dan minggu depan, dimana kursi-kursi lain bisa aku duduki. Masih ada bulan baru dan tahun lain yang selalu membawa kesempatan untuk aku berubah. Membuatku berkaca dan memperbaiki diri; tentang sikap, maupun penampilan.
0 komentar:
Posting Komentar