Engkau akan biasa pada kekerasan. Manusia punya tenaga menyesuaikan diri yang amat besar.
Gimana ya ini openingnya... Sudah hampir 5 menit jari-jari ini mengetik dan hapus. Pertama-tama aku mau bilang kalau aku senang sekali karena bisa bertemu sama novel Mochtar Lubis yang judulnya Jalan Tak Ada Ujung. Umur novelnya seumur kakekku; terbit tahun 1952, dan yang kupegang ini bisa jadi kakakku. Sebab ini cetakan ketiganya, terbit tahun 1993. Kedua, aku mau bilang makasih ke Alu karena sudah berbaik hati meminjamkan novel ini ke aku. Makasih juga karena sempet nemenin ngobrol disela-sela pelajaran untuk sama-sama melawan kantuk.
Setting waktu novel ini dimulai dari September, 1946. Indonesia baru merdeka, dan perang masih dimana-mana. Bahkan baru beberapa lembar kubaca, aku langsung disuguhkan dengan kematian, "seorang dari kanak-kanak itu dengan tidak berteriak apa-apa tersungkur ke tanah, menggelepar dua kali, dan kemudian terbaring diam-diam dalam debu jalan". Begitu susunan kalimatnya, sungguh penggambaran mati yang menyesakkan dada.
Tokoh utama dari novel ini adalah Guru Isa. Seorang yang bernama Isa dan bekerja sebagai guru. Seorang penakut yang merasa tidak perlu berjuang demi kemerdekaan, jangankan untuk negeri, dirinya sendiri lebih sering dijajah rasa takut. "Ia akan merasa terluka hatinya, jika dikatakan padanya, bahwa perasaan yang dirasanya sekarang adalah rasa takut. Tetapi pada dirinya sendiri dia tidak hendak mengakui, bahwa ia takut". Kalau ditelusuri, keyword "takut" pasti akan ada banyak sekali. Sungguh.
"Dia tidak akan bertanya. Takut. Kalau dia bertanya, dia akan tahu, apa yang disangkanya sesungguhnya terjadi. Dan semua yang akan terjadi karena hal itu, lebih menakutkan hatinya". Pun aku maupun kamu pasti pernah ada diposisi Guru Isa; dimana mendapat jawaban justru bukanlah sebuah kebebasan, namun pintu gerbang menuju penderitaan lain. "Dia ingin membuat konfortasi. Dia tidak bisa tahan lagi hidup seperti ini. Apakah dia cinta padanya dan menolongnya, atau dia harus pergi. Tetapi dalam hatinya sendiri dia takut, bahwa keputusan yang akan diambil, dia sendiri tidak berani hadapi dan terima". Kenapa harus sebegitu menderita dan menyedihkan?
"Dia telah dapat merasakannya. Sekarang juga sudah. Tetapi seperti biasa dia tetap juga mengharap. Meskipun hatinya mengharap penuh ketakutan, dan telah tahu bahwa apa yang ditunggunya tidak akan datang".
Menariknya, bahasa pada novel ini tidak terlalu berat meski umurnya jauh di atasku. Perang, darah, tembakan, semua tergambar dengan baik di novel ini. Sederhananya mungkin karena sang penulis melihat kejadian-kejadian memilukan itu dengan matanya langsung. Jadi kalimat-kalimatnya langsung sampai, langsung dapat dipahami dengan mudah.
Guru Isa diceritakan dengan sangat sederhana; hidupnya, pikiran-pikirannya, bahkan tujuan hidupnya. "Dia melihat ke meja, dan berpikir dalam hatinya. Sedikit benar sebenarnya yang mereka perlukan untuk dapat hidup dan bergembira. Beras dua liter sehari, sedikit lauk pauk dan sayuran. Sedikit gula untuk kopi. Dan sekali sebulan sehelai kebaya untuk Fatimah dan baju untuk Salim. Kemeja atau celana untuk dirinya sendiri".
Dia masih terikat. Masih banyak yang mengikatnya. "Aku masih terikat oleh dunia tempat aku dari kecil menjadi besar. Aku terikat kepada hormat dan patuh anak terhadap ayahnya, kepada ketertiban seseorang dalam masyarakat, pada kepercayaan kesetiaan berkawan. Aku masih terikat pada perasaan apa yang akan dirasa dan dipikir orang lain terhadap diriku," -Hazil
Second lead dari novel ini bernama Hazil; sungguh berkebalikan dari Guru Isa. Hazil diceritakan dengan semangat menggebu-menggebu tentang janji-janji kemerdekaan, tentang harapan-harapan kebebasan yang perlu diperjuangkan. Guru Isa "terjebak" dalam lingkup orang-orang macam Hazil yang memaksanya untuk ikut berjuang. "Muda-muda benar anak-anak yang berevolusi ini. Diantara mereka berapa banyak yang berjuang dengan sadar apa yang dipertaruhkan oleh bangsanya, dan berapa banyak pula yang menganggap ini suatu permainan, suatu pencarian pengalaman hebat?".
Meski takut setengah mati untuk berjuang, namun Guru Isa lebih takut jika tidak ikut berjuang. Ia takut dipandang lemah, ia takut pada orang-orang asing yang akan mendatanginya jika ia sendirian. "Telah begitu lama dia mengikuti anak-anak perjuangan ini yang dapat tertawa bercakap-cakap dengan maut, masih saja dalam hati Guru Isa tidak bisa timbul kegembiraan untuk perjuangan. Hatinya terlalu takut untuk merasa gembira".
"Orang hidup seharusnya melupakan mati. Jangan menyinggung-nyinggung maut. Karena mati tiada indah dan tiada menarik. Tapi hidup juga tiada indah dan tidak menarik. Penuh dengan teror dan ancaman. Dan rasa takut yang memburu-buru. Juga dalam tidur dan mimpi. Tidak ada pelepasan dan pembebasan dari hari ke hari. Siang dan malam. Sekarang dan esok. Di balik esok telah menunggu pula ancaman baru. Dan di belakang ketakutan baru".
Dari semua keseriusan perjuangan dalam novel ini, ada satu waktu dimana aku tertawa. Iya, aku tertawa saat sedang tegang-tegangnya misi penyelundupan senjata. "Ini bisa berbahaya," kata Hazil, "kita pergi membawa senjata dan membawanya ke Manggarai. Lalu kita selundupkan ke Karawang. Engkau masih berani?" Dullah berkata, "Kalau Bapak Guru dan Bapak berani, mengapa saya tidak berani?". Mendengar itu Guru Isa berkata dalan hatinya, 'saya tidak berani, mengapa saya harus ikut?'
LIKE....WKWKWK APAAN SIH BENERAN CUPU BANGET NIH ORANG PEGEL BACANYA. Tapi yasudahlah. Selebihnya aku tak tertawa lagi. Jadi mari kita lanjutkan.
Guru Isa sudah menikah dengan seorang bernama Fatimah. Pun memiliki anak bernama Salim. Meski Salim diangkatnya menjadi anak, dan bukan anak kandungnya. "Fatimah tidak pernah tidak setia pada suaminya. Barangkali memang perempuan lebih dapat menahan diri daripada laki-laki dalam keadaan serupa ini, atau pendidikannya menahannya". Sungguhan! Entah berapa kali faktor pendidikan menyelamatkan hal-hal memalukan yang bisa saja kulakukan, namun pendidikan menahanku. Meski tetap banyak hal-hal memalukan yang tetap kulakukan...tapi setidaknya...yah..... "Orang tidak terlalu muda untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa bikin menyesal setelah melakukannya, dan tidak terlalu tua untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang jika tidak dilakukan di kemudian hari akan membawa rasa sedikit sayu, sedikit menyesal, dan pertanyaan-pertanyaan; mengapa tidak aku lakukan dulu?"
Jadi pilihannya hanya dua; menyesal tidak melakukan atau menyesal melakukan. Dulu, prinsipku ada dipilihan pertama. Sekarang, sejak umurku menginjak 20tahunan, pilihanku jatuh pada nomor yang kedua. Terlalu banyak penyesalan-penyesalan atas apa yang tidak kulakukan maka aku perlu berontak. Terserah dunia mau bilang apa.
"Tidak, aku tidak suka pada orang yang berpura-pura,". Dia terdiam setelah mengatakan ini, karena sekarang dia juga harus memasukkan dirinya ke dalam mereka yang berpura-pura. Tidak pernah terlintas ke dalam pikirannya bahwa tidak ada manusia yang tidak berpura-pura di dunia ini. Macam-macam sebab orang berpura-pura. Ada yang hendak menyembunyikan ketakutannya, kesedihan hati yang ditanggung, menyembunyikan kegembiraan hati, menyembunyikan kesombongan hati. Yang seorang hendak menyembunyikan kepalsuan, yang lain menyembunyikan kebenaran.
Tapi novel inituh banyak plot twistnya. Serius deh. Apalagi diakhir-akhirnya. Guru Isa yang penakut itu justru adalah orang yang tidak bisa dibuat berlutut oleh penjajah. Saat dia ditangkap dan disiksa macam-macam untuk mengakui seluruh perbuatannya demi membantu perjuangan, dia hanya mampu berkata, "seluruh jiwaku menjerit minta mengaku, tetapi lidahku kelu karena kesakitan dan ketakutan. Tetapi kita tidak boleh mengalah pada ini. Orang harus belajar hidup dengan ketakutan-ketakutannya".
Dan novel ini ditutup dengan, "dia telah menguasai dirinya sendiri. Tiada benar dia tidak merasa takut lagi. Tetapi dia telah damai dengan takutnya. Telah belajar bagaimana harus hidup dengan takutnya". So its okay to be afraid. Kamu tidak perlu jadi pemberani, kamu cukup menerima takutmu dan melanjutkan hidup. Bukankah itu sudah suatu keberanian untuk tetap melangkah dengan semua risiko yang belum kamu ketahui apa yang akan kamu dapat?
0 komentar:
Posting Komentar