Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Dunia ini selalu dipenuhi kabar buruk. Agar semua orang
menyadari, ada banyak kabar baik yang akan segera datang setelahnya.
Tere Liye lagi yeay! Jadi beberapa
waktu di zaman dahulu kala, saya pernah baca dua novel karya Tere Liye yang wow
sekali. Dua novel itu adalah; Negeri Para Badebah dan Negeri di Ujung Tanduk.
Keduanya kaya bersambung tapi engga(?). Selalu
ada pola di dunia ini. Apapun itu, bahkan saat sesuatu itu tidak berpola,
polanya adalah tidak beraturan. Tetapi sekacau apapun polanya, kita tetap bisa
menemukan hal menarik di dalamnya, menyimpulkan sesuatu. Jadi, dua novel
ini ceritanya saling bersangkut paut tapi kalau dibaca terpisah juga tidak
masalah karena walaupun tokoh utamanya sama namun konfliknya berbeda.
Setiap orang punya urusan masing-masing. Urus saja bagian
sendiri, sisanya tutup mulut.
Seperti biasa, saya adalah manusia
mager yang hobi melakukan prokrastinasi. Mengulur pekerjaan memang menyenangkan
walaupun pada akhirnya menegangkan kalau sudah dekat deadline. Tapi anehnya masih saja dilakukan. Mungkin memang sudah
seharusnya ganti hobi ke hal yang lebih bermanfaat, bukannya malah buang-buang
waktu ga jelas:”)
Terlambat adalah terlambat. Tidak ada bedanya terlambat beberapa detik
dengan terlambat beberapa jam. Apaqa ini alasan kulebih suka
terlambat lebih lama dalam urusan tulis menulis dan posting mem-posting?:”)
Kita terkadang mengambil keputusan bahkan sebelum keputusan itu
dibuat. Kita hanya butuh argumen yang cocok.
Lantas apa yang mendasari saya
untuk buka laptop dan mencoba menulis review ini? Jawabannya adalah Daniel
jengjengjeng!!! Ingat Daniel, ga? Oh bahkan belum kenalan yha hehe. Daniel
adalah teman SMP yang baru saya kenal di SMA. Kita satu geng karena waktu mau
lulus SMA harus belajar bareng untuk UN. Iya benar, kita yang ada di geng itu
tidak ada yang ikut les jadi otodidak belajarnya wkwk.
Melakukan perjalanan, bertemu banyak orang, membuka diri,
mengamati, mencoba sendiri, memikirkan banyak hal, adalah cara tercepat
belajar.
Pada suatu ketika, Daniel upload novel ini di WA story-nya. Terus
saya tanya sudah baca dua-duanya kah? Ternyata sudah. Terus saya bilang kalau
saya sempet mau buat reviewnya,
Daniel bilang ‘yaudah buat’. Akhirnya, nawaitu, saya niat untuk buat review
ini. Plus, kalo ga salah, saya pernah
janji untuk bahas Daniel di blog wkwk pokoknya bawa-bawa nama dia deh. Nah,
dengan ini, janji saya pun tuntas
dan lunas.
Tidak ada demokrasi bagi orang-orang bodoh. Lebih jelas lagi,
tidak ada demokrasi bagi orang-orang yang berkepentingan. Dia menjadi kontra
argumen atas sistem itu sendiri.
Kalimat di atas adalah qoute favorite Daniel, entah novel yang
Negeri Para Badebah atau Negeri di Ujung Tanduk deh saya lupa wkwk. Kalau favorite saya yang mana? Ada donggg.
Pokoknya saya selalu berpikir demikian tapi belum tahu bagaimana mengurainya
dengan kata, lalu pas baca langsung merasa ada yang mewakilkan saya berbicara:
Apakah suara terbanyak adalah suara
Tuhan? Omong kosong. Berani sekali manusia mengklaim sepihak, fait accompli suara Tuhan. Coba kaubayangkan sebuah kota yang
dipenuhi pemabuk, pemadat, mereka mayoritas, maka saat undang-undang tentang
peredaran minuman keras dan ganja disahkan melalui referendum warga kota,
otomatis menang sudah mereka. Bebas menjual minuman keras di mana-mana,
mabuk-mabukan di manapun. Juga masalah lain seperti pernikahan
sesama jenis, kebebasan melakukan aborsi bayi. Bahkan dalam kasus ekstrem,
ketika mayoritas penduduk kota sepakat pembunuhan adalah tindalan legal, maka di mana suara Tuhan?
Sejujurnya, sudah agak lupa sih
sama apa yang dibahas di dua novel ini hehe pokoknya menyangkut masalah negara
gituuu. Ada perbedaan yang lumayan signifikan dari dua novel ini. Novel yang
lebih dulu terbit adalah Negeri Para Badebah, di novel ini lebih membahas soal
keuangan. Yap, mulai dari receh hingga uang negara. Nama pemeran utama di novel
ini adalah Thomas, biasa dipanggil Tommy, bekerja sebagai konsultan keuangan.
Beliau ini pintar sekali, pokoknya, dia menggunakan otaknya dengan sangat baik.
Uang itu seperti ratu lebah yang beranak setiap hari, terus
tumbuh, serakah. Uang itu butuh tempat untuk berkembang biak, persis seperti
mutasi genetik tidak terkendali.
Aku juga sering melakukan rekayasa laporan, mempermanis angka,
memperindah tampilan. Semua penasihat keuangan macam kita terbiasa dengan window dressing, manipulasi.
Tidak ada skenario russian
roullette dalam kehidupan nyata. Kita selalu saja punya kesempatan untuk
memanipulasi situasi, bertaruh dengan sedikit keunggulan.
Di novel kedua, Negeri di Ujung
Tanduk, lebih membahas politik. Thomas-nya sudah berganti pekerjaan jadi
konsultan politik. Tentang pemilihan presiden gitu, mulai dari kampanye biasa
sampai sabotase sana sini. Kalau melihat apa yang terjadi dengan seiring
mendekatnya waktu pemilihan presiden sekarang, kaya lagi berkaca aja gitu sama
novel ini. Beberapa tokoh ada yang namanya mirip-mirip sama yang ada di
kehidupan asli hehe coba temukan ya kalau baca novelnya!
Kau tidak perlu bakat apapun untuk menjadi politikus. Siapapun
bisa bahkan tanpa ijazah formal, itu bisa diatur. Kau hanya perlu kemauan
besar, sisanya bisa dipelajari.
Politik tidak lebih adalah permainan terbesar dalam bisnis omong
kosong, industri artifisial penuh kosmetik yang pernah ada di dunia.
Ide politik selalu bersifat netral. Kita selalu bisa memolesnya
menjadi barang dagangan yang menarik dan memiliki kepentingan.
Mereka membawa amunisi lain yang boleh jadi lebih kejam dan
mengerikan untuk menjatuhkan pesaingnya, mereka memiliki banyak wajah, memasang
wajah manis di depan, tapi di belakang siapa tahu.
(*mereka:orang-orang
yang terlibat kegiatan politik)
Penegakan hukum adalah obat paling mujarab
mendidik masyarakat yang rusak, apatis, dan tidak peduli lagi. Korupsi misalnya, ketika hukum ditegakkan tanpa tawar menawar,
pelaku korupsi dengan sendirinya akan tumbang berjatuhan. Pisau hukum menebas
mereka dengan hukuman berat dan serius. Penegak hukum juga akan mengejar hingga
ke akar-akarnya, tidak peduli siapapun yang mencuri uang rakyat. Pembuktian
terbalik dipakai, orang-orang yang tidak bisa membuktikan dari mana semua
kekayaannya berasal akan dihukum. Saat masyarakat menerima pesan yang kuat
bahwa pemerintah tidak main-main dalam menegakkan hukum, hingga level paling
rendah, orang-orang akan takut melakukannya.
Perbedaan lainnya yang paling
terlihat adalah pemeran wanitanya. Di novel pertama, ada Julia, diceritakan
sebagai jurnalis cantik dan pintar. Di novel kedua, ada Maryam. Nunggu-nunggu
dong gimana kisah Tommy dan Julia akhirnya, ternyata nol besar. Engga ada
cinta-cintaannya sama sekali wkwk. Lalu di novel kedua, “ah! Akhirnya nih Tommy
dapet jodoh!”. Sssst! Jangan terlalu berharap kawan-kawan, akhir Tommy-Maryam
juga tidak bersama. Engga ada manis-manisnya. Jadi kalau baca dua novel ini,
semangat peras otak saja. Tidak ada bumbu-bumbu alay sama sekali.
Kedua novel ini sangat amat
direkomendasikan untuk dibaca. Sekali lagi, tidak masalah mau baca yang mana
dulu, akan tetap ‘nyambung’ kok!;D karena ceritanya memang berbeda. Selamat
berburu novelnya kawan-kawan!
Di dunia ini, urusan penting dan tidak penting hanya terlihat
dari kulit luarnya saja. Orang terkadang lupa, orang-orang di sekitarnya yang
selama ini terlihat biasa saja dan sederhana, justru adalah bagian terpenting
dalam hidupnya.
0 komentar:
Posting Komentar