Senin, 19 November 2018

KAU, AKU, DAN SEPUCUK ANGPAU MERAH


Seperti yang pernah aku bilang pada salah satu posting blog-ku, aku (lumayan) banyak membaca novel Tere Liye. Soal kenapa aku baru membuat reviewnya sekarang, anggap saja aku baru menemukan waktu yang tepat. Khusus untuk novel Tere Liye yang satu ini; Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah, aku sampai membacanya dua kali. Tebalnya lebih dari 400 halaman, tapi aku sama sekali tak merasa letih membacanya.

Cinta sejati tidak pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sekedar muara. Air di laut akan menguap, menjadi hutan, turun di gunung-gunung tinggi, kembali menjadi ribuan anak sungai, menjadi ribuan sungai perasaan, lantas menyatu menjadi Kapuas. Itu siklus tak pernah berhenti, begitu pula cinta.

Siklus Sungai Kapuas jauh lebih abadi dibanding cinta gombal manusia. Beribu tahun tetap di sini, meski airnya semakin keruh. Sedangkan cinta gombal kita? Jangan bilang kematian, bahkan jarak dan waktu sudah bisa memutusnya.

Novel ini bercerita tentang kisah cinta sejati antara bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas dengan gadis berbaju kurung kuning yang selanjutnya dijuluki dengan sendu menawan. Kisah mereka dimulai dari antrian sepit nomor tiga belas.

Cinta itu macam musik yang indah. Bedanya, cinta sejati akan membuatmu tetap menari meskipun musiknya telah lama berhenti.

Saat membacanya, aku sampai mengecek covernya dua-tiga kali, ‘Tere Liye, kan? Bukan Andrea Hirata?’ sebab entah kenapa suasana, jalan cerita yang menunjukkan keindahan sebuah Kota Pontianak dengan sejarah seramnya, ditambah sederhana namun dalamnya filosofi yang dapat diambil dari Sungai Kapuas; mengingatkanku pada Andrea Hirata. Sepertinya aku rindu membaca kisah Ikal dengan Aling.

Ah, perihal bujang dengan hati paling lurus sepajang tepian Kapuas yang sudah aku sebutkan, ia diberi nama Borno. Diambil dari kata Borneo, dengan arti ‘bekas sungai’. Bagaimana seorang manusia bisa dinamakan bekas sungai? Aku tak paham. Bahkan yang punya namapun tak paham mengapa ia dinamakan demikian. Namun dengan ketidakpahamanannya akan sesuatu, kepolosannya itu, mampu membuatku senyum-senyum dengan ketulusan tutur kata dan santun perilakunya.

Baiklah, teks review ini selesai hingga paragraf di atas. Tertunda sejak 16/06/2018. Dan sekarang, hari ini 01/11/18. Kutinggalkan dokumen ini 5 bulan tanpa kabar. Ingin kuhapus saja, namun cerita sang bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas dan sang sendu menawan ini masih mampu membuatku senyum-senyum sendiri. Terlalu bagus untuk ku ketahui sendiri(?). Ingin kubuka kembali novelnya dan membacanya untuk ketiga kali, namun kurasa aku tidak sedang dalam keadaan bisa meluangkan waktu untuk membaca hal lain selain jurnal-jurnal bertumpuk.

Kalau membaca saja tak sempat, mengapa harus memaksa menulis?
Sebab ini beda kasus hehe. Kalau menulispun tak ku sempatkan, maka habislah aku dimakan sepi. Menulis untukku bukannya mengisi luang, namun meluangkan waktu dari hal-hal yang menyesakkan dalam hidup. Anggap saja, caraku relaksasi dari kehidupan.

Baiklah, aku coba lanjutkan.

Bagiku, novel ini spesial karena settingnya di Kapuas. Kisah cinta disekelilingku adalah boncengan motor ke pasar malam, tapi mereka jalan-jalan mengitari Kapuas dengan sepit. Duniaku dipenuhi dengan kebisingan dan asap kendaraan, tapi mereka dengan tenang mengikuti arus Kapuas tanpa perlu mendengarkan klakson kanan kiri. Membayangkannya saja sudah indah, bukan?

Borno pernah bilang, “aku tidak akan merendahkan kehormatan wanita dengan memegang-megang tangannya”. Entah kenapa, sebagai wanita, aku menjadi merasa lebih terhormat dengan mendengar kata-kata itu. Eh. Membaca kata-kata itu. “Aku malu sudah memegang tangannya. Itu dosa,” ucapnya saat tak sengaja bersentuhan tangan dengan sang sendu menawan.

Sebenarnya, Borno dan Mei ini mirip sekali dengan Ikal dan Aling. Borno dan Ikal sama-sama laki-laki sederhana pekerja keras yang menjalani hidupnya dengan keikhlasan untuk tak pernah menyerah. Pada titik ini, aku mengerti mengapa ikhlas berbeda dengan pasrah. Terkadang dalam banyak keterbatasan, kita harus bersabar menunggu rencana terbaik datang, sambil terus melakukan apa saja yang bisa dilakukan.

Lalu Mei dan Aling, sama-sama gadis keturunan Tionghoa yang mampu meluluhlantahkan hati dua pejuang hidup yang barusan kuceritakan. Bedanya, Ikal lebih percaya diri mendekati Aling, menurutku. Sementara Borno sering rendah diri dan merasa tak pantas untuk Mei. “Bukankah kau berjanji untuk melupakan? Kau berjanji untuk tahu diri siapa kau?” tanyanya galau pada diri sendiri untuk segara balik kanan bubar jalan dari sisi Mei. Dalam banyak urusan, kita terkadang sudah merasa selesai sebelum benar-benar berhenti. Yap. Borno sempat merasa telah selesai dengan perasaannya meski perasaannya pada Mei tidak benar-benar berhenti menyukainya.

Perasaan adalah perasaan, meski secuil walau setitik hitam di tengah lapangan putih luas, dia bisa membuat seluruh tubuh jadi sakit, kehilangan selera makan, kehilangan semangat. Hebat sekali benda bernama perasaan itu. Dia bisa membuat harimu berubah cerah dalam sekejap padahal dunia sedang mendung, dan di kejap berikutnya mengubah harimu jadi buram padahal dunia sedang terang benderang.

“Berasumsi dengan perasaan, sama saja dengan membiarkan hati kau diracuni harapan baik, padahal boleh jadi kenyataannya tidak seperti itu,” nasihat Pak Tua saat Borno menceritakan kegalauannya. “Jangan sekali-kali kaubiarkan prasangka jelek, negatif, buruk, apalah namanya itu muncul di hati kau. Karena dengan berprasangka baik saja hati kau masih sering ketar-ketir memendam duga, menyusun harap, apalagi dengan prasangka negatif, tambah kusut lagi perasaan kau,” tambahnya. Pak Tua ini, hidupnya macam buku sejarah; banyak pengalaman dan pelajaran hidup yang bisa didapat. Kata-katanya bagai puisi; dengan indah mampu menginspirasi tanpa merasa digurui. Sembilan dari sepuluh kecemasan muasalnya hanyalah imajinasi kita. Dibuat-buat sendiri, dibesar-besarkan sendiri. Maka tumbuh lagi semangat juang Borno, lalu mengumpulkan kembali keberaniannya untuk mengatakan bahwa ia mampu membahagiakan Mei. Jangan pernah menilai sesuatu sebelum kau selesai dengannya, mengenal dengan baik.

Dan begitulah perjuangan Borno dimulai, setelah antrian sepit nomor tiga belas, ia tak merasa kecil lagi dihadapan Mei. Karena memang sebenarnya, sekalipun Mei tak pernah memandanganya demikian. Kepindahan Mei yang tiba-tiba setelah keputusan Borno untuk berjuang sempat membuatnya tak enak makan kembali. Hingga hari ini aku hanya dapat berkutat dengan harapan-harapan—karena itulah yang tersisa. Namun takdir selalu baik pada orang-orang yang mampu bersabar, mampu percaya semua akan indah pada waktunya. Cinta sejati selalu menemukan jalan. Ada saja kebetulan, nasib, takdir atau apalah sebutannya. Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, khawatir, cemas, serta berbagai peragai norak lainnya.

Aku jadi ingat salah satu dari sekian banyak nasihat Pak Tua, “cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri”. Maka seperti itulah kisah cinta Borno dan Mei. Banyak menunggu, sedikit bertemu. Banyak tersipu, meski hanya diri sendiri yang tahu. Banyak berharap, tanpa memaksa. Lagi-lagi, mereka bertarung dengan ilmu ikhlas.

Tebalnya novel ini bukan hanya membahas kisah cinta Borno dan Mei. Baguslah. Kalau sampai seperti itu, mungkin antrian sepit nomor tiga belas tidak akan spesial lagi untukku. Namun diwarnai dengan kisah bang Togar, perigainya kubayangkan macam preman-preman di depan pasar Cikarang. Namun hatinya lembut sekali, selalu mengutamakan keluarganya. Bahkan saat kubaca perjuangannya untuk mendapatkan istrinya, aku tak bisa apa-apa selain mengaguminya. “Astaga, bebal sekali dia, cinta pada orang yang salah. Tapi terserah dialah, sejak mula pernikahan ini sudah terserah dia sajalah,”keluh mertuanya saat anak perempuannya memilih menikah dan membela bang Togar. Iyap, perjuangan bang Togar terbayar lunas. Ia mendapatkan perempuan yang dicintainya dan menikahinya.

Kalau kisahnya Borno dan Mei membuatku tersipu-sipu, kisah cinta bang Togar membuatku kagum akan perjuangannya yang mati-matian itu, maka ada satu kisah cinta lagi yang justru membuatku menangis di novel ini. Sepasang sahabat kecil tunanetra yang akhirnya menikah dengan berbagai rintangannya. Entah bagaimana membuka bungkus permen saja jadi romantis saat mereka yang melakukannya. Sejujurnya, aku tak akan mampu menceritakan mereka dengan meringkasnya di sini. Sebab ceritanya panjang, rumit, dan tak akan sedih kalau aku yang menjelaskan. Jadi, akan kusimpan agar kalian bisa mencari dan membacanya sendiri di novel. Tak masalah kalau kalian tak penasaran, tapi aku berani jamin kalian tak akan menyesal jika membacanya.

Categories: , ,

0 komentar:

Posting Komentar