Seperti yang pernah aku bilang
pada salah satu posting blog-ku, aku (lumayan) banyak membaca novel Tere Liye.
Soal kenapa aku baru membuat reviewnya sekarang, anggap saja aku baru menemukan
waktu yang tepat. Khusus untuk novel Tere Liye yang satu ini; Kau, Aku, dan
Sepucuk Angpau Merah, aku sampai membacanya dua kali. Tebalnya lebih dari 400
halaman, tapi aku sama sekali tak merasa letih membacanya.
Cinta sejati tidak pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sekedar
muara. Air di laut akan menguap, menjadi hutan, turun di gunung-gunung tinggi,
kembali menjadi ribuan anak sungai, menjadi ribuan sungai perasaan, lantas
menyatu menjadi Kapuas. Itu siklus tak pernah berhenti, begitu pula cinta.
Siklus Sungai Kapuas jauh lebih abadi dibanding cinta gombal manusia.
Beribu tahun tetap di sini, meski airnya semakin keruh. Sedangkan cinta gombal
kita? Jangan bilang kematian, bahkan jarak dan waktu sudah bisa memutusnya.
Novel ini
bercerita tentang kisah cinta sejati antara bujang dengan hati paling
lurus sepanjang tepian Kapuas dengan gadis berbaju kurung kuning yang
selanjutnya dijuluki dengan sendu menawan. Kisah mereka dimulai dari antrian sepit nomor tiga belas.
Cinta itu macam musik yang indah. Bedanya, cinta sejati akan membuatmu
tetap menari meskipun musiknya telah lama berhenti.
Saat membacanya, aku sampai
mengecek covernya dua-tiga kali, ‘Tere Liye, kan? Bukan Andrea Hirata?’ sebab
entah kenapa suasana, jalan cerita yang menunjukkan keindahan sebuah Kota
Pontianak dengan sejarah seramnya, ditambah sederhana namun dalamnya filosofi
yang dapat diambil dari Sungai Kapuas; mengingatkanku pada Andrea Hirata.
Sepertinya aku rindu membaca kisah Ikal dengan Aling.
Ah, perihal bujang dengan hati
paling lurus sepajang tepian Kapuas yang sudah aku sebutkan, ia diberi nama
Borno. Diambil dari kata Borneo, dengan arti ‘bekas sungai’. Bagaimana seorang
manusia bisa dinamakan bekas sungai? Aku tak paham. Bahkan yang punya namapun
tak paham mengapa ia dinamakan demikian. Namun dengan ketidakpahamanannya akan
sesuatu, kepolosannya itu, mampu membuatku senyum-senyum dengan ketulusan tutur
kata dan santun perilakunya.
Baiklah, teks review ini selesai
hingga paragraf di atas. Tertunda sejak 16/06/2018. Dan sekarang, hari ini
01/11/18. Kutinggalkan dokumen ini 5 bulan tanpa kabar. Ingin kuhapus saja,
namun cerita sang bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas dan
sang sendu menawan ini masih mampu membuatku senyum-senyum sendiri. Terlalu
bagus untuk ku ketahui sendiri(?). Ingin kubuka kembali novelnya dan membacanya
untuk ketiga kali, namun kurasa aku tidak sedang dalam keadaan bisa meluangkan
waktu untuk membaca hal lain selain jurnal-jurnal bertumpuk.
Kalau membaca saja tak sempat,
mengapa harus memaksa menulis?
Sebab ini beda kasus hehe. Kalau
menulispun tak ku sempatkan, maka habislah aku dimakan sepi. Menulis untukku
bukannya mengisi luang, namun meluangkan waktu dari hal-hal yang menyesakkan
dalam hidup. Anggap saja, caraku relaksasi dari kehidupan.
Baiklah, aku coba lanjutkan.
Bagiku, novel ini spesial karena
settingnya di Kapuas. Kisah cinta disekelilingku adalah boncengan motor ke
pasar malam, tapi mereka jalan-jalan mengitari Kapuas dengan sepit. Duniaku
dipenuhi dengan kebisingan dan asap kendaraan, tapi mereka dengan tenang mengikuti
arus Kapuas tanpa perlu mendengarkan klakson kanan kiri. Membayangkannya saja
sudah indah, bukan?
Borno pernah bilang, “aku tidak
akan merendahkan kehormatan wanita dengan memegang-megang tangannya”. Entah
kenapa, sebagai wanita, aku menjadi merasa lebih terhormat dengan mendengar
kata-kata itu. Eh. Membaca kata-kata itu. “Aku malu sudah memegang tangannya.
Itu dosa,” ucapnya saat tak sengaja bersentuhan tangan dengan sang sendu
menawan.
Sebenarnya, Borno dan Mei ini
mirip sekali dengan Ikal dan Aling. Borno dan Ikal sama-sama laki-laki
sederhana pekerja keras yang menjalani hidupnya dengan keikhlasan untuk tak
pernah menyerah. Pada titik ini, aku mengerti mengapa ikhlas berbeda dengan
pasrah. Terkadang dalam banyak
keterbatasan, kita harus bersabar menunggu rencana terbaik datang, sambil terus
melakukan apa saja yang bisa dilakukan.
Lalu Mei dan Aling, sama-sama
gadis keturunan Tionghoa yang mampu meluluhlantahkan hati dua pejuang hidup
yang barusan kuceritakan. Bedanya, Ikal lebih percaya diri mendekati Aling, menurutku. Sementara Borno sering rendah
diri dan merasa tak pantas untuk Mei. “Bukankah
kau berjanji untuk melupakan? Kau berjanji untuk tahu diri siapa kau?”
tanyanya galau pada diri sendiri untuk segara balik kanan bubar jalan dari sisi
Mei. Dalam banyak urusan, kita terkadang
sudah merasa selesai sebelum benar-benar berhenti. Yap. Borno sempat merasa
telah selesai dengan perasaannya meski perasaannya pada Mei tidak benar-benar
berhenti menyukainya.
Perasaan adalah perasaan, meski secuil walau setitik hitam di tengah
lapangan putih luas, dia bisa membuat seluruh tubuh jadi sakit, kehilangan
selera makan, kehilangan semangat. Hebat sekali benda bernama perasaan itu. Dia
bisa membuat harimu berubah cerah dalam sekejap padahal dunia sedang mendung,
dan di kejap berikutnya mengubah harimu jadi buram padahal dunia sedang terang
benderang.
“Berasumsi dengan perasaan, sama saja dengan membiarkan hati kau
diracuni harapan baik, padahal boleh jadi kenyataannya tidak seperti itu,” nasihat
Pak Tua saat Borno menceritakan kegalauannya. “Jangan sekali-kali kaubiarkan prasangka jelek, negatif, buruk, apalah
namanya itu muncul di hati kau. Karena dengan berprasangka baik saja hati kau
masih sering ketar-ketir memendam duga, menyusun harap, apalagi dengan
prasangka negatif, tambah kusut lagi perasaan kau,” tambahnya. Pak Tua ini,
hidupnya macam buku sejarah; banyak pengalaman dan pelajaran hidup yang bisa
didapat. Kata-katanya bagai puisi; dengan indah mampu menginspirasi tanpa
merasa digurui. Sembilan dari sepuluh
kecemasan muasalnya hanyalah imajinasi kita. Dibuat-buat sendiri,
dibesar-besarkan sendiri. Maka tumbuh lagi semangat juang Borno, lalu
mengumpulkan kembali keberaniannya untuk mengatakan bahwa ia mampu
membahagiakan Mei. Jangan pernah menilai
sesuatu sebelum kau selesai dengannya, mengenal dengan baik.
Dan begitulah perjuangan Borno
dimulai, setelah antrian sepit nomor tiga belas, ia tak merasa kecil lagi
dihadapan Mei. Karena memang sebenarnya, sekalipun Mei tak pernah memandanganya
demikian. Kepindahan Mei yang tiba-tiba setelah keputusan Borno untuk berjuang
sempat membuatnya tak enak makan kembali. Hingga
hari ini aku hanya dapat berkutat dengan harapan-harapan—karena itulah yang
tersisa. Namun takdir selalu baik pada orang-orang yang mampu bersabar,
mampu percaya semua akan indah pada waktunya. Cinta sejati selalu menemukan jalan. Ada saja kebetulan, nasib, takdir
atau apalah sebutannya. Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang
dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, khawatir,
cemas, serta berbagai peragai norak lainnya.
Aku jadi ingat salah satu dari
sekian banyak nasihat Pak Tua, “cinta
selalu saja misterius. Jangan diburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya
sendiri”. Maka seperti itulah kisah cinta Borno dan Mei. Banyak menunggu,
sedikit bertemu. Banyak tersipu, meski hanya diri sendiri yang tahu. Banyak
berharap, tanpa memaksa. Lagi-lagi, mereka bertarung dengan ilmu ikhlas.
Tebalnya novel ini bukan hanya
membahas kisah cinta Borno dan Mei. Baguslah. Kalau sampai seperti itu, mungkin
antrian sepit nomor tiga belas tidak akan spesial lagi untukku. Namun diwarnai
dengan kisah bang Togar, perigainya kubayangkan macam preman-preman di depan
pasar Cikarang. Namun hatinya lembut sekali, selalu mengutamakan keluarganya.
Bahkan saat kubaca perjuangannya untuk mendapatkan istrinya, aku tak bisa
apa-apa selain mengaguminya. “Astaga,
bebal sekali dia, cinta pada orang yang salah. Tapi terserah dialah, sejak mula
pernikahan ini sudah terserah dia sajalah,”keluh mertuanya saat anak
perempuannya memilih menikah dan membela bang Togar. Iyap, perjuangan bang
Togar terbayar lunas. Ia mendapatkan perempuan yang dicintainya dan
menikahinya.
Kalau kisahnya Borno dan Mei
membuatku tersipu-sipu, kisah cinta bang Togar membuatku kagum akan
perjuangannya yang mati-matian itu, maka ada satu kisah cinta lagi yang justru
membuatku menangis di novel ini. Sepasang sahabat kecil tunanetra yang akhirnya
menikah dengan berbagai rintangannya. Entah bagaimana membuka bungkus permen
saja jadi romantis saat mereka yang melakukannya. Sejujurnya, aku tak akan
mampu menceritakan mereka dengan meringkasnya di sini. Sebab ceritanya panjang,
rumit, dan tak akan sedih kalau aku yang menjelaskan. Jadi, akan kusimpan agar
kalian bisa mencari dan membacanya sendiri di novel. Tak masalah kalau kalian
tak penasaran, tapi aku berani jamin kalian tak akan menyesal jika membacanya.
0 komentar:
Posting Komentar