Beberapa hari lalu, aku membaca
salah satu novel Tere Liye yang berjudul Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin.
Judulnya panjang, jujur saja itu sempat jadi alasan kenapa aku tak kunjung
membacanya sejak tahu bahwa novel itu terbit. Entah kenapa aku tak suka judul
panjang. Sudahlah menilai dari luarnya saja, aku bahkan tak punya alasannya.
Alasan kenapa aku tak menyukainya.
Namun akhirnya, aku menyerah. Aku
membacanya. Tentu saja dengan ekspektasi yang baik, bukan menjelekkan karena aku
tak suka judulnya. Ingat kalimat sakti itu? ‘kita harus adil sejak dalam pikiran’. Lagipula pengarangnya Tere Liye. Apa
hakku mengatakan isinya akan jelek? Belum sampai selesai satu bab membacanya,
aku langsung teringat akan novel Tere Liye lain yang pernah kubaca saat masih
dibangku SMA; Rembulan
Tenggelam di Wajahmu.
Tokoh utamanya miskin;
semiskin-miskinnya, menderita; semenderita-menderitanya, namun tangguh;
setangguh-tangguhnya, dan tegar; setegar-tegarnya. Bahkan aku harus akui, saat
membaca Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, kupikir tokoh utamanya
adalah laki-laki, seperti Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Ternyata tidak. Tokoh
utamanya perempuan bernama Tania. Nama belakangnya tak ada. Lalu semakin
semangatlah aku membacanya, mungkin karena merasa satu gender, jadi lebih
mengerti bagaimana perasaannya di novel itu.
“Orang
yang memendam perasaan sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk
merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap.
Sibuk menghubungkan banyak hal agar harinya senang menimbun mimpi, sehingga
suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang
dusta.”
Bercerita tentang dua anak kecil
yang ditinggal mati sang ayah lalu hidup terlunta-lunta hingga menetap pada
kardus di kolong jembatan. Dua anak kecil itu adalah Tania sang tokoh utama dan
Dede (adiknya). Sungguh mengganggu nama Dede itu untukku. Sebab setidaknya
dalam hidupku, aku kenal dengan tiga orang dengan nama Dede;
- Pertama, teman dekatku yang tak masalah jika aku hinakan bahkan di tulisan ini, yaitu Adinda Novita. Namanya bahkan bukan Dede, tapi ia memaksa ingin dipanggil Dede sebab ibunya memanggilnya demikian. Bukan hanya aku yang protes soal ide nama panggilannya, namun teman lain juga. Ia bahkan lebih tua satu bulan dariku, kenapa ngotot sekali ingin jadi Dede dipertemanan kami-_-
- Kedua, kaka tingkatku di fakultas. Dia berkebalikan dengan Adinda. Namanya sungguh Dede namun tak ingin dipanggil Dede. Bahkan username di WAnya sempat kulihat dengan nama ‘Deko’. Lama aku berpikir apa filosofi alay dari Deko ternyata itu hanya singkatan dari nama lengkapnya Dede Khoirul. Namun aku dan teman-teman lain sepertinya kurang peduli dengan ketidaksukaannya dipanggil Dede. Sebab kami lebih suka memanggilnya kaka Dede wkwk. Entah kenapa manusia ribet sekali, suka terbalik-balik memperlakukan manusia lainnya.
- Ketiga, teman yang aku kenal ketika KKN. Aku bahkan tidak tahu apakah Dede adalah nama aslinya atau hanya nama panggilannya. Yang lain panggil Dede, maka aku mengikuti. Kami cukup akrab untuk langsung menyapa jika bertemu muka. Namun sungguh, kalau ia punya nama lain, aku tak ingin memanggilnya Dede dengan ‘abang’ didepannya. Iya, aku memanggilnya bang Dede. Sebab dari wajahnya saja aku tahu, dia lebih tua dariku. Tak perlulah aku tambah bebannya dengan bertanya tahun berapa dia lahir.
Sungguh mengganggu. Setiap nama
Dede muncul di novel itu, aku lantas teringat ketiga Dede dihidupku.
Benar-benar mengganggu. Terutama saat Tania dan Dede sedang chatting. Username Dede yang terus
berganti selalu membuatku tertawa, benar-benar menginterpretasikan kealayan
ketiga Dede yang kukenal. Mulai dari BebekPeking,
lalu d3d3 (yaampun), MiamiHeat, dedetakmengerti (aku tertawa tak karuan), jallaludinrumi, dedebisadipercaya
(aku tertawa sejadi-jadinya). Jadi setiap sesi chatting di novel itu muncul, fokus pertamaku adalah username Dede,
bukan isi chatnya.
Namun selain nama Dede, aku tak
ada masalah dengan nama lain. Semua nama terlihat normal. Kemudian datanglah
sang malaikat penyelamat kepada Tania, Dede, dan Ibunya, yang akhinya ku
ketahui namanya setelah penasaran sejak awal membaca sinopsis. Namanya adalah
Danar. Nama panjangnya Danar. Lucu, kan? Jadi kalau sedang mengisi informasi
untuk namanya dia akan menulis Danar Danar.
Kisah cinta adik-kaka-an on
another level sih kalau menurutku. Bukan kisah yang cengeng termehek-mehek,
tapi dewasa dan bertanggungjawab. Maksudku, bila rindu, tak langsung kalang
kabut macam dunia mau runtuh. Bila cemburu, tak lantas koar-koar macam orang sinting
baru kabur dari rumah sakit. Lebih banyak memendam, ikhlas menunggu, terus
mengembangkan diri dengan belajar dan bekerja. Meski dipisah lautan, meski
berbeda negara, meski jarak jauh terhampar, cinta yang dewasa dan
bertanggungjawab itu selalu ada; ikhlas dalam diamnya.
Alur novel ini khas sekali
tulisan Tere Liye; maju mundur. Maksudku, aku lumayan banyak membaca novel
karyanya, dan semua yang kubaca, alurnya maju mundur. Lalu menggunakan orang
pertama; aku. Kental dengan nilai kehidupan. Begitulah~ begitulah penilaian sok
tahu-ku, memang sudah menjadi kebiasaan burukku sikap sok tahu ini.
Seru sekali novelnya, sampai
tak sanggup ku pause untuk
meletakkannya dan melakukan hal lain, bahkan untuk tidurpun aku sempat mengalah
dan lebih memilih membacanya. Selalu membuat penasaran dari bab ke bab. Terutama
tentang perasaan yang selama ini disimpan Danar. Sungguh menyakitkan memang
rasanya didiamkan oleh orang yang tak ingin cerita, oleh orang tak ingin
menjelaskan, ‘diamnya jauh lebih
menyakitkan dibandingkan marahnya’.
Memang sungguh menyebalkan.
Seseorang yang tak ingin menjelaskan dan berharap semua orang akan paham. Aku
selalu mengutuknya. Manusia-manusia semacam itu, selain punya tempat spesial di
neraka, nanti hisabnya akan memakan waktu lebih lama atas semua diamnya di
dunia.
Terutama saat aku sampai pada
bagian Ratna (istri Danar) yang kalang kabut dan terus menerus menangis sendiri
karena didiamkan tanpa tahu apa yang sedang dipikirkan Danar. Tega sekali.
Sabar sekali Ratna menunggu, menunggu, dan menunggu penjelasan dari suaminya
yang tak kunjung datang. Punya masalah apa suaminya? Apa salahnya? Harus apa
dia sekarang? Tak pernah ada suara yang keluar dari mulut suaminya, hanya
senyum. Dan bukan senyum yang menenangkan namun justru penuh tanda tanya.
Marahkah Ratna? Iya. Namun ia tetap setia kembali menunggu, menangis dalam
diam, sambil terus berusaha mempertahankan pernikahannya.
Pernah dengar kata Ali ibn Abi
Thalib bahwa laki-laki yang menyakiti hati perempuan akan dikutuk setiap
langkahnya oleh malaikat? Nah setiap langkah Danar, dengan setiap keikhlasan
hati Ratna, kurasa malaikat bahkan lelah mengutuknya. Ingin rasanya langsung
mencabut nyawanya lalu melemparkannya ke neraka. Wuuuus.
Aku sangat menikmati membaca
novel itu; kata per katanya, kalimat, hingga jadi paragraf. Melalui bab demi
bab, hingga sampai di bab terakhir yang hanya satu lembar itu. ‘lah? Selesai?’
dan iya, selesai. Mungkin benar kata orang, cerita yang bagus akan sulit untuk
ditutup. Aku kira endingnya akan seperti apa, namun sederhana saja. Sesuai
dugaanku, jadi aku lega membaca akhirnya. Bukan berarti cerita ini jadi tidak
seru karena mudah ditebak, namun lebih ke arah ‘terima kasih’ karena telah
membuat akhir seperti itu; seperti yang tak terpikirkan. Akhir yang rasional.
Bukan drama mengada-ada.
“Cinta
tak harus memiliki. Tak ada yang sempurna dalam kehidupan ini. Dia memang amat
sempurna. Tabiatnya, kebaikannya, semuanya. Tetapi ia tidak sempurna. Hanya
cinta yang sempurna.”
0 komentar:
Posting Komentar