Rabu, 11 Juli 2018

DAUN DAN REMBULAN


Beberapa hari lalu, aku membaca salah satu novel Tere Liye yang berjudul Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Judulnya panjang, jujur saja itu sempat jadi alasan kenapa aku tak kunjung membacanya sejak tahu bahwa novel itu terbit. Entah kenapa aku tak suka judul panjang. Sudahlah menilai dari luarnya saja, aku bahkan tak punya alasannya. Alasan kenapa aku tak menyukainya.

Namun akhirnya, aku menyerah. Aku membacanya. Tentu saja dengan ekspektasi yang baik, bukan menjelekkan karena aku tak suka judulnya. Ingat kalimat sakti itu? ‘kita harus adil sejak dalam pikiran. Lagipula pengarangnya Tere Liye. Apa hakku mengatakan isinya akan jelek? Belum sampai selesai satu bab membacanya, aku langsung teringat akan novel Tere Liye lain yang pernah kubaca saat masih dibangku SMA; Rembulan Tenggelam di Wajahmu.

Tokoh utamanya miskin; semiskin-miskinnya, menderita; semenderita-menderitanya, namun tangguh; setangguh-tangguhnya, dan tegar; setegar-tegarnya. Bahkan aku harus akui, saat membaca Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, kupikir tokoh utamanya adalah laki-laki, seperti Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Ternyata tidak. Tokoh utamanya perempuan bernama Tania. Nama belakangnya tak ada. Lalu semakin semangatlah aku membacanya, mungkin karena merasa satu gender, jadi lebih mengerti bagaimana perasaannya di novel itu.

“Orang yang memendam perasaan sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar harinya senang menimbun mimpi, sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.”

Bercerita tentang dua anak kecil yang ditinggal mati sang ayah lalu hidup terlunta-lunta hingga menetap pada kardus di kolong jembatan. Dua anak kecil itu adalah Tania sang tokoh utama dan Dede (adiknya). Sungguh mengganggu nama Dede itu untukku. Sebab setidaknya dalam hidupku, aku kenal dengan tiga orang dengan nama Dede;
  •  Pertama, teman dekatku yang tak masalah jika aku hinakan bahkan di tulisan ini, yaitu Adinda Novita. Namanya bahkan bukan Dede, tapi ia memaksa ingin dipanggil Dede sebab ibunya memanggilnya demikian. Bukan hanya aku yang protes soal ide nama panggilannya, namun teman lain juga. Ia bahkan lebih tua satu bulan dariku, kenapa ngotot sekali ingin jadi Dede dipertemanan kami-_-
  • Kedua, kaka tingkatku di fakultas. Dia berkebalikan dengan Adinda. Namanya sungguh Dede namun tak ingin dipanggil Dede. Bahkan username di WAnya sempat kulihat dengan nama ‘Deko’. Lama aku berpikir apa filosofi alay dari Deko ternyata itu hanya singkatan dari nama lengkapnya Dede Khoirul. Namun aku dan teman-teman lain sepertinya kurang peduli dengan ketidaksukaannya dipanggil Dede. Sebab kami lebih suka memanggilnya kaka Dede wkwk. Entah kenapa manusia ribet sekali, suka terbalik-balik memperlakukan manusia lainnya.
  • Ketiga, teman yang aku kenal ketika KKN. Aku bahkan tidak tahu apakah Dede adalah nama aslinya atau hanya nama panggilannya. Yang lain panggil Dede, maka aku mengikuti. Kami cukup akrab untuk langsung menyapa jika bertemu muka. Namun sungguh, kalau ia punya nama lain, aku tak ingin memanggilnya Dede dengan ‘abang’ didepannya. Iya, aku memanggilnya bang Dede. Sebab dari wajahnya saja aku tahu, dia lebih tua dariku. Tak perlulah aku tambah bebannya dengan bertanya tahun berapa dia lahir.
Sungguh mengganggu. Setiap nama Dede muncul di novel itu, aku lantas teringat ketiga Dede dihidupku. Benar-benar mengganggu. Terutama saat Tania dan Dede sedang chatting. Username Dede yang terus berganti selalu membuatku tertawa, benar-benar menginterpretasikan kealayan ketiga Dede yang kukenal. Mulai dari BebekPeking, lalu d3d3 (yaampun), MiamiHeat, dedetakmengerti (aku tertawa tak karuan), jallaludinrumi, dedebisadipercaya (aku tertawa sejadi-jadinya). Jadi setiap sesi chatting di novel itu muncul, fokus pertamaku adalah username Dede, bukan isi chatnya.

Namun selain nama Dede, aku tak ada masalah dengan nama lain. Semua nama terlihat normal. Kemudian datanglah sang malaikat penyelamat kepada Tania, Dede, dan Ibunya, yang akhinya ku ketahui namanya setelah penasaran sejak awal membaca sinopsis. Namanya adalah Danar. Nama panjangnya Danar. Lucu, kan? Jadi kalau sedang mengisi informasi untuk namanya dia akan menulis Danar Danar.

Kisah cinta adik-kaka-an on another level sih kalau menurutku. Bukan kisah yang cengeng termehek-mehek, tapi dewasa dan bertanggungjawab. Maksudku, bila rindu, tak langsung kalang kabut macam dunia mau runtuh. Bila cemburu, tak lantas koar-koar macam orang sinting baru kabur dari rumah sakit. Lebih banyak memendam, ikhlas menunggu, terus mengembangkan diri dengan belajar dan bekerja. Meski dipisah lautan, meski berbeda negara, meski jarak jauh terhampar, cinta yang dewasa dan bertanggungjawab itu selalu ada; ikhlas dalam diamnya.

Alur novel ini khas sekali tulisan Tere Liye; maju mundur. Maksudku, aku lumayan banyak membaca novel karyanya, dan semua yang kubaca, alurnya maju mundur. Lalu menggunakan orang pertama; aku. Kental dengan nilai kehidupan. Begitulah~ begitulah penilaian sok tahu-ku, memang sudah menjadi kebiasaan burukku sikap sok tahu ini.

Seru sekali novelnya, sampai tak sanggup ku pause untuk meletakkannya dan melakukan hal lain, bahkan untuk tidurpun aku sempat mengalah dan lebih memilih membacanya. Selalu membuat penasaran dari bab ke bab. Terutama tentang perasaan yang selama ini disimpan Danar. Sungguh menyakitkan memang rasanya didiamkan oleh orang yang tak ingin cerita, oleh orang tak ingin menjelaskan, ‘diamnya jauh lebih menyakitkan dibandingkan marahnya’.

Memang sungguh menyebalkan. Seseorang yang tak ingin menjelaskan dan berharap semua orang akan paham. Aku selalu mengutuknya. Manusia-manusia semacam itu, selain punya tempat spesial di neraka, nanti hisabnya akan memakan waktu lebih lama atas semua diamnya di dunia.

Terutama saat aku sampai pada bagian Ratna (istri Danar) yang kalang kabut dan terus menerus menangis sendiri karena didiamkan tanpa tahu apa yang sedang dipikirkan Danar. Tega sekali. Sabar sekali Ratna menunggu, menunggu, dan menunggu penjelasan dari suaminya yang tak kunjung datang. Punya masalah apa suaminya? Apa salahnya? Harus apa dia sekarang? Tak pernah ada suara yang keluar dari mulut suaminya, hanya senyum. Dan bukan senyum yang menenangkan namun justru penuh tanda tanya. Marahkah Ratna? Iya. Namun ia tetap setia kembali menunggu, menangis dalam diam, sambil terus berusaha mempertahankan pernikahannya.

Pernah dengar kata Ali ibn Abi Thalib bahwa laki-laki yang menyakiti hati perempuan akan dikutuk setiap langkahnya oleh malaikat? Nah setiap langkah Danar, dengan setiap keikhlasan hati Ratna, kurasa malaikat bahkan lelah mengutuknya. Ingin rasanya langsung mencabut nyawanya lalu melemparkannya ke neraka. Wuuuus.

Aku sangat menikmati membaca novel itu; kata per katanya, kalimat, hingga jadi paragraf. Melalui bab demi bab, hingga sampai di bab terakhir yang hanya satu lembar itu. ‘lah? Selesai?’ dan iya, selesai. Mungkin benar kata orang, cerita yang bagus akan sulit untuk ditutup. Aku kira endingnya akan seperti apa, namun sederhana saja. Sesuai dugaanku, jadi aku lega membaca akhirnya. Bukan berarti cerita ini jadi tidak seru karena mudah ditebak, namun lebih ke arah ‘terima kasih’ karena telah membuat akhir seperti itu; seperti yang tak terpikirkan. Akhir yang rasional. Bukan drama mengada-ada.

“Cinta tak harus memiliki. Tak ada yang sempurna dalam kehidupan ini. Dia memang amat sempurna. Tabiatnya, kebaikannya, semuanya. Tetapi ia tidak sempurna. Hanya cinta yang sempurna.”





Categories: , ,

0 komentar:

Posting Komentar