Senin, 21 Mei 2018 0:45
Aku baru saja selesai nonton Dilan. Memang seperti inilah aku. Aku
tidak suka keramaian, termasuk tren yang sedang digandrungi. Kalau orang-orang
berduyun-duyun unjuk gigi agar terlihat kekinian, aku lebih memilih hening.
Diam menunggu sepi, dan orang-orang mulai jemu menunjuk diri. Begitupun urusan
Dilan.
Aku pertama kali kenal Dilan lewat novel; Dia
adalah Dilan-ku 1990. Dia persis seperti apa yang
orang-orang katakan (keren, puitis, waw).
Namun pada saat itu, ia tak seterkenal sekarang. Dilan yang dulu aku kenal
lebih hening, karena dia memang tak suka koar-koar menghebatkan diri. Dilan
yang sekarang juga masih sama. Masih hening. Orang-orang yang koar-koar
menghebatkan Dilan. Iya, aku tahu. Aku sepakat Dilan hebat.
Cover Buku Sc: Google |
Cover Film Sc : Google |
Saat menonton Dilan, aku punya ekspektasi tinggi tentang; bagaimana
sikap Dilan akan ditunjukkan, bagaimana rupa cantik Milea yang mampu luluhkan
siapapun itu bisa diperlihatkan, bagaimana Dilan yang pintar berpuisi itu
berkata, bagaimana ini, bagaimana itu. Dan ekspektasiku, tidak (terlalu)
bertepuk sebelah tangan.
Iqbaal ganteng. Dua kata yang langsung terkesan saat melihatnya jadi
Dilan. Dilan yang wajahnya tergambar berbeda-beda pada ingatan pembacanya,
namun serempak menjadi 'Dilan = Iqbaal'. Mungkin kalau Iqbaal dinaikin 10kg
lagi, ekspektasiku akan sempurna pada visual Dilan. Iqbaal sudah berusaha
keras, aku terenyuh saat ia menatap Vanessa. Benar-benar terasa seperti Dilan
yang sedang melihat Milea. Iqbaal sudah berusaha keras, aku kagum saat
melihatnya pontang-panting melawan Anhar. Sungguh terasa seperti Dilan yang
mampu menghilangkan manusia jika menyakiti Milea. Iya, hanya saja Iqbaal kurang
gemuk hehe. Pendapatku saja sih. Kalau kamu tidak setuju, aku tidak peduli.
Lalu, menurutku, Milea yang cantik itu jadi kurang menonjol karena
Rani dan Wati yang super cantik juga. Ada yang sependapat? Dan sebenarnya, aku lebih suka kalau make up mereka lebih tipis lagi. Mungkin
lebih baik lagi hampir bare face
cukup pakai bedak. Sebab tahun 1990 kayaknya belum ada yang ke sekolah pake foundation. Makanya aku salut sama
Iqbal, yang terpampang jerawatnya, beruntusan, dengan kulit kecoklatan; itu
baru anak SMA, ketua geng motor, dan tahun 1990. Lalu
kang Adi, aku tak terpikir ia akan setua itu hehe. Dan Beni, aku lupa wajahnya.
Tapi dia kurang jahat. Mungkin karena ingatanku tentang Beni sudah buruk, dan
menurutku, rasa sakit yang Beni berikan pada Milea di novel lebih tergambar
dibanding di film. Entahlah. Akupun sulit menjelaskannya. Dan anggota geng motornya,
aku merasa banyak yang sudah tidak bermuka SMA lagi:( kalian pasti paham
maksudku...
Oh iya soal jaket yang Dilan dan Milea pakai, aku bosan. Ingin
kupinjamkan dua untuk mereka ganti jaket. Tapi positifnya, jadi lebih mudah
mengingat mereka. Dua jaket itu jadi icon tersendiri untuk dikenang. Dan jadi
ladang bisnis untuk olshop. Dan mungkin memang niat awalnya untuk menghemat
biaya produksi. Aku husnudzon saja.
Lalu selain jaket, aku disadarkan satu hal setelah ngobrol dengan
Laras (salah satu temanku), yaitu seragam. Laras bilang, "itutuh kaya
seragam baru beli terus dipakein ke artisnya". NAH. Mungkin ini PR untuk
perfilman Indonesia (halah). Bahwa detail-detail kecil seperti itu, justru hal
yang paling mudah untuk dilihat. Hal yang dianggap sepele, namun justru bisa mengubah
kesan film. Harusnya dibuat lusuh dikitlah. Dibuat kusut sedikit. Dilan, kan,
ketua geng motor, mungkin lebih seru kalau betnya koyak, warna seragamnya
menguning terpapar matahari, kantung celana belakangnya robek seperti anak laki-laki
SMA kebanyakan (iya gasih? Atau teman-teman laki-laki di SMAku saja yang
seperti itu?). Ya pokoknya, detail. Sedetail jahitan tas Gucci. Hm.
Satu hal yang membuatku kecewa adalah; puisi Dilan untuk adiknya
tidak dibacakan, bahkan tidak diperlihatkan. Sebab sewaktu aku membacanya di
novel, aku sampai merinding. Singkat tapi serasa menyulut jantung.
Menggetarkan.
Lalu kalimat, "Milea kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu.
Engga tahu kalau sore. Tunggu aja" kurasa tak akan habis termakan zaman.
Kurasa juga, tak akan mampu terkalahkan. Tak pernah terpikir ada yang mampu
berpikir untuk mengatakannya. Manis. Seperti gula yang ditabur di atas permen.
Super manis. Sederhana namun membekas tak sanggup hilang. Aku bahkan langsung
hafal sejak pertama membacanya.
Tapi selain itu, kurasa semua bagian krusial dalam novel telah
divisualisasikan dengan baik. Saat Dilan mengangkat gagang telepon umum dan
mulai berbicara di sana, saat Dilan menjawab 'tidak tahu' ketika cerdas cermat,
saat Dilan memelankan laju motornya dengan kaki dan menjajarkannya dengan
langkah Milea, saat Milea memutuskan untuk duduk lalu mendengarkan Dilan karena
terlalu nyaman untuk berbicara apa saja.
Pokoknya hampir kusuka semua, sebab tidak banyak yang dibuang(?) dari
novel. Intinya, hampir seluruh novel 'diringkas' untuk film, bukan 'dipangkas'.
Oh iya tambahan untuk adik-adikku (sebab kini aku sudah 22 tahun,
kurasa ada kewajiban untuk meluruskan suatu hal), kalian ingat dimana Dilan
meninju gurunya sendiri? Iya, itu tindakan gagah perkasa dari seseorang yang
menolak untuk ditindas dan diperlakukan dengan semena-mena bahkan oleh guru.
Jadi, contohlah Dilan. Namun dengan catatan: MENOLAK UNTUK DITINDAS DAN
DIPERLAKUKAN SEMENA-MENA. Bukan asal main tuduh guru dan malah menindas mereka
atau bahkan memperlakukan mereka semena-mena.
Satu lagi, saat kalian berontak, berontaklah sendiri. Dilan aja
engga ngadu ke Bundanya. Bundanya dipanggil sekolah, dan Dilan tidak merengek
untuk malah menghukum gurunya. Padahal gurunya yang salah. Jadi ambillah tanggungjawabmu
sendiri. Orang tuamu punya banyak urusan lebih penting daripada termakan
rengekan kalian dan balik menyerang guru yang belum tentu salah.
Sekian.
Dan katanya, sampai bertemu di tahun 1991.
Sudah baca novelnya? Bacalah sebelum menonton filmnya.
Agar kamu paham kenapa sebagian orang kecewa atas hasil film. Jangan menonton filmnya lalu membaca novelnya,
sebab kebanyakan akan jadi pembelaan dan tameng atas sebagian orang yang kecewa
atas hasil film.
0 komentar:
Posting Komentar