Rabu, 03 Mei 2017

CINTA DALAM GELAS

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

LANGSUNG saja, tanpa tedeng aling-aling, kita masuk ke pokok pembahasan; Cinta dalam Gelas. Sebuah novel lanjutan dari Padang Bulan, karya lain dari Andrea Hirata. Lantas ada apa di dalam novel ini? Kurang lebih masih berfokus pada Enong; sang pejuang mimpi yang dijadikan selayaknya peran utama dalam panggung kehidupan yang serba sesak ini. Tapi entah kenapa, di novel ini Enong diceritakan sebagai Maryamah, ya meskipun Maryamah adalah nama asli dari Enong, tapi sudah terbiasa dengan nama Enong di Padang Bulan ketimbang Maryamah.

Namun tenang saja, Enong ataupun Maryamah, sama saja, “filosofi belajarnya, “menantang semua ketidakmungkinan”, termanifestasi menjadi ideologi yang sangat jelas baginya dalam menguasai sesuatu. Ia tak pernah gamang, tak pernah tanggung-tanggung. Keadaan ini membuatku berpikir bahwa ideologi adalah sesuatu yang diperlukan dalam belajar, lebih dari sebuah otoritas. Sementara itu, aku, yang selalu merasa lelah setelah belajar satu jam, patut merasa malu.

“Maryamah adalah pribadi istimewa yang tak punya tabiat mengasihani diri. Ia tak pernah mengiba-iba. Kupandangi guru kesedihan itu. Hari ini aku belajar satu hal penting darinya bahwa jika tidak bersedih atas sebuah kehilangan menimbulkan perasaan bersalah, hal itu merupakan kesalahan baru, sebab kesedihan harusnya menjadi bagian dari kebenaran.”

“Melalui Maryamah, aku belajar menaruh hormat pada orang yang menegakkan martabatnya dengan cara membuktikan dirinya sendiri, bukan dengan membangun pikiran negatif tentang orang lain.”

Cinta dalam Gelas, menurut saya, dibandingkan dengan Padang Bulan, agak sedikit lebih berat. Berdasarkan penilaian manusia udik dari Cikarang yang tahu sastra cuma ujungnya doang, pembahasan filosofi kopi dan catur pada Cinta dalam Gelas justru jadi bumerang sendiri. Bagi sebagian orang yang suka kopi, filosofi kopi Andrea Hirata di novel ini pastilah keren abis. Lalu bagi sebagian orang yang tidak bisa hidup tanpa main catur, filosofi catur Andrea Hirata pastilah bikin mereka tidak ingin menutup novel ini. Tapi buat yang kurang suka kopi? Atau yang tidak bisa main catur? Nah, justru bisa jadi hal yang (maaf) agak membosankan.

Iya engga sih? Semoga engga ya.

Semoga justru orang yang kurang suka kopi, jadi suka kopi. Jadi tidak bisa melewatkan hari tanpa kopi. Semoga justru yang tidak suka catur, jadi terbukakan hati dan pikirannya untuk mulai belajar catur. Mari kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing...

Sementara buat saya sendiri, sebagai penikmat kopi –walau bukan kopi pahit, sebab hidup saya sudah pahit. Alah.- dan lumayan paham catur –setidaknya bisa main catur, meskipun belum pernah menang lawan ayah saya- membaca Cinta dalam Gelas, masih tetap saya nikmati dan membuat saya belajar lebih dalam perihal kopi dan catur. Dua hal yang ternyata kalau disatukan, lebih romantis daripada Syalimah dan Zamzami, lebih manis daripada Ikal dan A Ling, dan lebih sulit dipisahkan daripada Dekektif M. Nur dan Jose Rizal.

Okedeh, kita langsung masuk ke quote, atau gimana nih? Hmm yang jelas, quote pertama yang saya highlight di novel Cinta dalam Gelas ini adalah; “namun, Kawan, seandainya kita bisa tahu dengan siapa kita akan berjumpa lalu jatuh cinta seperti tak ada lagi hari esok, maka beruk bisa melamar pekerjaan menjadi ajudan bupati.”. Langsung menohok dimana tempat hati berada.

Lalu ada juga quote yang sebenarnya engga penting-penting amat, “orang Melayu, orang bersarung, orang Tionghoa, dan orang Sawang, tak pernah berhemat kata dan suara. Keduanya diberi Tuhan, maka berkicaulah, berkoarlah sesuka hatimu, tak perlu membayar.” Dan menurut pendapat saya, kayaknya dari deretan orang itu, perlu ditambah orang Cikarang deh.

Sebelum bahas filosofi yang agak ngejelimet, kalo kata orang Cikarang, saya mau masuk ke kisah cintanya Syalimah dan Zamzami yang masih bikin susah move on. “Ia adalah lelaki yang baik dengan cinta yang baik. Jika kami duduk di beranda, ayahmu mengambil antip dan memotong kuku-kukuku. Cinta seperti itu akan dibawa perempuan sampai mati.” –Syalimah yang menceritakan Zamzami, please, ini sederhana tapi ko nusuk banget ya:(

Lalu ada sedikit kisah cinta Enong dengan Ilham yang kandas seperti cita-citanya, “Enong selalu senang berada di dekatnya, senang dengan cara yang tak mampu ia jelaskan.”. Masih rahasia Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang bagaimana bisa ada seseorang semacam itu; asal bisa dekat saja senang. “Sungguh kejam. Lelaki itu memang memelihara Fir’aun di dalam dadanya.” Dan ya, masih rahasia illahirabbi juga bagaimana seseorang macam itu juga bisa tercipta. Bahkan kedua jenis manusia seperti itu bisa jadi adalah orang yang sama. Mengerikan.

Baiklah, sudah saatnya kita membahas kopi, sebelum ia tak lagi hangat dan kurang nikmat untuk diminum. Saya akan buka dengan tiga buah qoutes favorite saya dari novel ini;
  • “Kopi itu adalah cinta di dalam gelas.”
  • “Segelas kopi adalah dua belas teguk kisah hidup.”
  • “Kopi mengatasi rasa haus dalam bentuk yang lain. Haus ingin bicara, haus ingin mendengar, dan ingin didengar.”

Andrea Hirata benar-benar membahas filosofi kopi dengan dalam dan rinci, mulai dari bagaimana takaran kopi bisa mempengaruhi perasaan dan kepribadian seseorang;

“Mereka yang menghirup kopi pahit umumnya bernasib sepahit kopinya. Makin pahit kopinya, makin berliku-liku petualangannya. Hidup mereka penuh intaian mara bahaya. Cinta? Berantakan. Istri? Pada minggat. Bisnis? Kena tipu. Namun, mereka tetap mencoba dan mencipta. Mereka naik panggung dan dipermalukan. Mereka menang dengan gilang-gemilang lalu kalah tersuruk-suruk. Mereka jatuh, bangun, jatuh, dan bangun lagi. Dalam dunia pergaulan zaman modern ini mereka disebut para player.”

Nah selain itu juga ada; safety player, semi-player, kaum plin-plan, ex-player, burung Sirindit, dan penderita sakit gila nomor 29. Jadi bacalah novel ini kalau mau tahu pembahasan tentang para kelompok penikmat kopi itu ;) dan akan saya tutup paragraf ini dengan, “adapun mereka yang sama sekali tidak minum kopi adalah penyia-nyia hidup ini.”

Lalu Andrea Hirata juga membahas bagaimana cara memegang gelas kopi; “Cara memegang gelas kopi tak sesederhana tampaknya, tetapi sesungguhnya mengandung makna filosofi yang dalam. Mungkin, dari meneliti cara memegang gelas kopi saja, seseorang yang menekunkan dirinya di bidang ilmu jiwa dapat membuat sebuah skripsi. Bagiku, warung kopi adalah laboratorium perilaku, dan kopi bak ensiklopedia yang tebal tentang watak orang.”

Ada juga wejangan paman yang sangat disayangkan kalau tidak disebarkan; “Dewasa ini kopi sudah banyak diselewengkan! Kopi mereka buat dengan mesin, dicampuri zat-zat aneh, berbusa-busa. Mereka beri nama seperti nama bintang pelem, lalu mereka jual lebih mahal dari sekilo beras! Itu kurang ajar! Itu melanggar hak asasi peminum kopi!”

“Mereka bilang, kopinya mereka datangkan dari luar negeri. Bahkan ada yang menjual kopi dari kotoran musang. Itu melanggar hak hewan! Kopi yang benar adalah seperti kopi kita. Kopi yang dibeli dengan harga yang adil dari para petani. Dijerang dalam wajan, dikisar dengan tangan.”

“Kopi adalah minuman rakyat. Dijual dengan harga rakyat. Kopi rakyat enak karena keringat petani dan tangan tukang kisar yang melepuh. Selain daripada itu, penipuan!”

Tiga paragraf, serasa ditampar dan di smackdown sekali K.O, terkutuklah saya sebagai penikmat Good Day Vanilla Latte! Inilah alasan Indonesia sulit maju, bahkan anak dari Fakultas Pertanian-nya pun belum pernah minum kopi hasil keringat petani dan tukang kisar! Bukan main, Boi. Bukan main!
DAN AKHIRNYA, kita sampai pada filosofi catur; “tak ada permainan lain seperti catur, di mana kemenangan dan kekalahan dapat di tawar. Tak ada permainan lain yang dengan secangkir kopi tampak seperti bertunangan. Spirit catur melanda kaum ningrat hingga jelata, hitam dan putih sama saja.”

Cinta dalam Gelas bercerita perihal Maryamah yang menjadi pecatur perempuan pertama dikampungnya. “Dia menggerakkan buah catur sesukanya karena untuk pertama kalinya ia bisa menjadi pengendali. Ia bisa menentukan nasib para perwira, dan senang bisa menjadi penentu kapan rajanya akan hidup atau mati. Ia merayakan kebebasan. Mungkin lantaran sekian lama hidupnya tertekan. Gerakan teliti bentengnya adalah mekanisme naluriahnya untuk bertahan. Papan catur adalah refleksi hidupnya.

Bagi Maryamah, catur adalah media berperang untuk dirinya, tempat bertempurnya, “Setiap langkah buah caturnya adalah sederajat martabat yang ia kumpul-kumpulkan kembali.”. Pada akhirnya, catur adalah tempat dimana Maryamah bisa menjadi dirinya sendiri.

Semoga para pecinta kopi dan catur bisa memenuhi rasa ‘nah ininih yang selama ini gue rasain’ dengan membaca Cinta dalam Gelas karya Andrea Hirata. Semoga calon-calon para pecinta kopi dan catur menemukan alasan yang tepat untuk menggilai dua hal tersebut. Sekian, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

BONUS:
  • “Kunasihati dia dengan nasihat standar untuk orang kalah, bahwa kalah adalah biasa dalam pertandingan; bahwa, ah aku selalu benci nasihat ini, kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. Padahal sebenarnya, kekalahan adalah kebodohan yang dipelihara.
  • “Sering kali kuratapi apa yang telah terjadi dan berlarut-larut menyesalinya. Kadang aku menyiksa diri sendiri dengan memikirkan berbagai kemungkinan yang seharusnya telah atau tidak kulakukan sehingga berakibat pada satu keadaan yang buruk. Padahal, semua kemungkinan itu telah hangus dibakar waktu. Tak mungkin terulang lagi.”
  • “Hebat luar biasa, menjadi seorang pemimpi sungguh tak terperikan hebatnya.”
  • “Fakta memang sering lebih aneh ketimbang fiksi.”
  • ”Bibi kalian ini, akan beres semua urusannya, jika bepergian bersamaku! Sebab aku adalah lelaki yang becus!” -Paman
  • “Kami punya warung kopi dengan menu kopi miskin, yaitu kopi bagi mereka yang melarat sehingga tak punya uang cukup untuk membeli kopi biasa. Namun, ganjarannya, ia mendapat kopi tanpa gula sebab harga gula mahal. Maka, kopi miskin adalah kopi pahit, sepahit-pahitnya, seperti nasib pembelinya.”


Categories: , ,

0 komentar:

Posting Komentar