Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh
AKHIRNYA saya punya kesempatan
lagi baca novel, walaupun seperti biasa, sudah ketinggalan zaman. Ya begitulah,
manusia macam saya gini kalo harus mengikuti trend, maka sudah kalap duluan.
Terseok-seok beban pergaulan, mati tersedak bedanya lipstick 50k dan 500k, dan
dikubur mahalnya Starbbbb. Tak sanggup.
“Sungguh mengerikan hidup ini kadang-kadang” –Andrea Hirata
Jadi pastinya, tidak diragukan
dan tidak bisa ditawar lagi, saya norak banget baru baca lanjutan dari ‘Tetralogi Laskar Pelangi’; Padang
Bulan + Cinta dalam Gelas. Tapi pastinya ada
juga yang belum baca atau belum sempat baca macam saya, iya kan? Oleh karena itulah, sempatkan baca
wahai kawanku yang budiman. Sebab Andrea Hirata tidak akan mengecewakan kita.
Masih Andrea Hirata yang sama; yang selalu membawa garam pada suka dan
membawa gula pada luka. Aih.
Dalam tulisan saya kali ini, saya
akan membahas Padang Bulan duluan.
Kenapa? Karena biar urut. Logis, bukan? Logis (maksa). Dan kalo ditanya lebih
suka mana Padang Bulan atau Cinta dalam Gelas, maka saya akan jawab Padang
Bulan. Kenapa? Karena lebih ringan buat dibaca, lebih banyak ngelawaknya
walaupun lebih banyak nyeseknya juga. Lalu kalo Cinta dalam Gelas? Masih
rahasia antara saya, Andrea Hirata, Allah SWT, dan malaikat-malaikatnya. Sebab
akan saya bahas di tulisan selanjutnya hehehe.
Padang Bulan membawa saya mengenal Enong (Maryamah binti Zamzami)
yang penderitaan hidupnya kalo dibandingkan dengan ngeluhnya anak zaman
sekarang; maka mereka-mereka yang suka mengeluh itu kudu dicabein mulutnya tiap detik. Enong punya cita-cita yang besar
untuk jadi guru bahasa Inggris, meski akhirnya harus kandas.
“Enong tetap teguh dengan pendiriannya untuk menguasai bahasa Inggris
meski semua orang mengatakan sudah sangat terlambat untuk belajar dan tak ada
gunanya pintar berbahasa Inggris. Ingin bicara dengan siapa? Orang-orang itu
telah melupakan bahwa belajar tidaklah
memlulu untuk mengejar dan membuktikan sesuatu, namun belajar itu sendiri
adalah perayaan dan penghargaan pada diri sendiri.”
“Dapatkah kaubayangkan, anakku mau menjadi guru sebuah bahasa dari
barat?” –Zamzami, ayah Enong, pendulang timah kelas berat dengan rasa
syukur yang amat berat, namun selalu bekerja lebih berat dari yang paling
berat. Perlu dijelaskan bahwa, “pekerjaan
mendulang timah amat kasar. Berlipat-lipat lebih kasar dari memarut kelapa,
menyiangi kepiting, kerja di pabrik es, tukang cuci, atau sekedar menjaga toko.
Pendulang timah dipanggil kuli mentah, artinya kuli yang paling kuli. Jabatan
di bawah mereka hanya kuda beban dan sapi pembajak.”
Kepolosan dari untaian kasih
sayang dan perjuangan seorang ayah macam Zamzami-lah yang dikisahkan Andrea
Hirata di Padang Bulan. Kisah yang (seharusnya) bisa membuat kita lebih banyak
berkaca diri. “Mulai sekarang, jangan kau
cemas lagi, Nong, Ayah akan belikan kamus untukmu, Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata. Iya, Nong, tak kurang dari
satu miliar kata! Satu miliar itu banyak sekali, Nong. Ayah pun tak tahu berapa
jumlah nolnya. Tujuh belas barangkali.” – Zamzami.
Satu dari banyaknya pelajaran yang bisa kita ambil
dari Enong adalah jangan pernah menyerah, bahkan mengeluh sekalipun, jangan! “Berikan padaku
sesuatu yang besar untuk kutaklukkan! Beri aku mimpi-mimpi yang tak mungkin
karena aku belum menyerah! Takkan pernah menyerah. Takkan pernah!” –Andrea Hirata. “Kejarlah
cita-citamu, Boi. Kau bisa menjadi apa saja. Pedagang, guru, seniman, tak soal.
Namun, pesanku, jangan sekali-kali kau mau menjadi politisi, Boi. Nanti semua
benda milikmu disangka orang dari duit rakyat.” –tambahan dari Pamannya Ikal.
Meskipun rindu dengan perjuangan
cinta Arai, namun Padang Bulan
justru menceritakan perjuangan cinta yang kurang layak rasanya untuk tidak
dibaca. Perjuangan cinta sehidup semati Syalimah (ibunya Enong) pada Zamzami, “Sejak mengenal Zamzami, Syalimah tahu ia
akan bahagia hidup bersama lelaki itu.” Nah kan, masih kurang sweet? Nih
ditambahin, "Pak Cik, aku hanya
pernah kenal cinta sekali. Sekali saja. Hanya pada Zamzami. Itulah cinta
pertamaku, yang akan kubawa sampai mati.” –Syalimah.
Lalu ada perjuangan cinta Ikal
pada A Ling, dan membawakan quote-qoute yang sayang kalau tidak saya abadikan
di tulisan saya kali ini. Bahwa cinta itu adalah pembodohan;
- “Semua taktik yang merugikan diri sendiri itu, jika boleh disebut dengan satu kata, itulah cinta.”
- “Tak dapat dipungkiri, hal paling sinting yang mungkin dilakukan umat manusia di muka bumi ini sebagian besar berasal-muasal dari cinta.”
- “Aku tahu kau merana. Aku tahu kau tersiksa. Cinta, memang kejam tak terperi.”
- “Cinta, akan membawa pelakunya pada kegilaan dan kesengsaraan yang tak terbayangkan. Cinta, adalah sebuah tempat di mana orang dapat menyakiti dirinya sendiri. Cinta, dapat pada seseorang, atau pada cinta itu sendiri, dan keduanya mengandung bahaya yang tidak kecil.”
- “Bukannya sedih karena tak dipedulikan, ia malah senang sebab lain waktu ia tahu apa yang harus dilakukan.”
- “Harapan kosong, itulah yang selama ini kugantang.”
- “Dunia ini rupanya penuh dengan orang yang kita inginkan, tapi tak menginginkan kita, dan sebaliknya. Kurasa itulah postulat pertama hukum keseimbangan alam.”
Bahwa cinta adalah penyerahan
diri dan “macam bakung berbunga di musim
kemarau” (kemustahilan);
- “Mengapa di dunia ini tak ada cara untuk menggurahkan cinta? Lalu menggelontorkannya ke sungai.”
- “Ia bak sendi pada buku-buku jemariku. Ia bak arus dalam sungaiku.”
- “Meski cinta itu telah karam dan tekadku untuk berangkat sudah bulat seperti pelampung pukat, tak dapat kubujuk diri sendiri agar berhenti memikirkan perempuan Tionghoa itu. Memisahkan diri darinya, bak menceraikan melati dari harumnya.”
- “Apa yang kulakukan sekarang, seumpama burung Ronggong ingin melawan angin.”
Namun pada akhirnya, tetap cinta
itulah muara dari segala pengorbanan yang indah;
- “Aku harus berjumpa dengannya. Paling tidak ia dapat menunjukkan sedikit simpati atas nama tahun-tahun yang telah kami lalui. Atas nama pantun, janji-janji berjumpa, dan puisi-puisi masa kecil. Atas nama lirikan curi-curi di keramaian. Atas nama kenangan naik komidi putar. Atas nama cinta pertama. Paling tidak ia bisa menunjukkan sedikit respek atas pecahnya kongsi antara aku dan ayahku demi membelanya.” Entah kenapa ini manis banget kaya ada yang naburin gula di atasnya:3
- “Tuhan telah menciptakan manusia dengan hati dan pikiran yang boleh punya jalan masing-masing, penghormatan seharusnya tidak memerlukan pengertian.''
Begitulah Padang Bulan berkisah tentang hidup, pengorbanan, cinta, dan rasa
sakit. Intinya harus baca ya habis ini. Semoga Padang Bulan bisa menginspirasi dan mengisi semangat dalam diri ;)
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
BONUS:
- “Harus ada alasan jika seseorang meninggalkan pelajaran, dan alasan itu harus kuat.” -Enong
- “Aku telah dibesarkan dengan cara bahwa memusuhi orang tua adalah sesuatu yang tak mungkin terjadi.”
- “Dalam sebuah kalimat bebas matematika, aku dan Detektif M.Nur disandingkan = kesintingan simetrik.” Sastra bisa menggambarkan dengan secanggih ini, kawan.
- “Aku benci setiap kali dirasuki ide yang gila karena ia akan menguasaiku dan merusak rencana yang telah kususun dengan baik.” HAHAHA
- “Lidah membuat dosa, semudah parang manampas pisang.”
- “Baju itu, jilbab itu, selalu menghembuskan kelu ke dalam hatiku, betapa aku ini masih seorang Islam yang berantakan.”
- “Meski tak pernah sehuruf pun kubantah pendapat Ibu, di dalam diam itu sebenarnya selama ini aku telah menentangnya. Sekarang aku menyesal. Lihatlah aku kini. Tak lebih dari seorang pemimpi yang tak punya pekerjaan. Benar pepatah lama orang Melayu: nasihat Ibu bak suara Tuhan. Nasihat Ibu, sering meragukan awalnya, apa adanya, tak ilmiah, tak keren, tak penting, namun di ujung sana nanti, pendapat yang hakikat itu pastilah nasihat Ibu.”
- “Badan panjang, pikiran panjang! Sekarang aku paham mengapa orang-orang pendek suka nekat.” HAHAHAHA
- “Dulu, guru mengajiku pernah mengajarkan bahwa pertemuan dengan seseorang mengandung rahasia Tuhan. Maka, pertemuan sesungguhnya adalah nasib. Orang tak hanya bertemu begitu saja, pasti ada sesuatu di balik itu.”
- “Pasrah, hanya itu yang bisa kita lakukan. Pasrah sumerah. Terima saja kekurangan kita. Anggaplah itu sebagai berkah dari yang mahatinggi, dan bersyukurlah atas apa yang ada pada kita.”
0 komentar:
Posting Komentar