“Lu hafal wanginya?”
“Iya,” tanpa sengaja.
Wajar, kan? Mengapa bisa menghafal wangi sesuatu –em,
seseorang- jadi hal yang aneh? Bukannya bagus seperti itu? Sekedar
mengapresiasi parfum yang dipakai seseorang, atau bisa juga mengapresiasi harga
dari jenis parfum itu. Ehehe entahlah, kenapa saya jadi sok pintar soal jenis
parfum yang bahkan saya sendiri tidak menguasainya dan malah membahas harganya
yang tidak sanggup juga saya hamburkan hanya untuk parfum. Ya, coba deh
dipikir, bukannya aroma Martabak Alim lebih memuaskan dari harga parfum jutaan?
Engga, yah? Oke deh, kita beda pendapat.
“Gimana wanginya?”
“Ehmm wanginya...kaya wangi laut,”
“Eh? Laut ada wanginya?”
Mungkin, sebenarnya, memang tidak ada. Sejak kapan laut punya aroma? Iya,
kan?
Hanya saja, seseorang ini wangi parfumnya punya
kesan wangi laut. Kalimat barusan tidak perlu dipercaya, saya hanya mengada-ada
yang menurut saya ada. Jadi bagaimana harus menjelaskan wanginya yang wangi ‘laut’
itu? Menyegarkan? Bisa menghilangkan penat? Menjernihkan pikiran? Saya juga
tidak yakin kapan tepatnya wangi parfum seseorang bisa seperti fungsi
obat-obatan.
Tapi memang begitu kesan yang saya rasakan.
Wanginya wangi laut. Pada tiga kata itulah saya berlabuh. Meski saat ini hilang
arah, sulit menjelaskan apa yang sebenarnya tak perlu penjabaran. Sebab tak ada
tuntutan juga untuk mempertanggungjawabkan wangi laut itu. Anehnya ini terasa
seperti hutang, entah pada siapa, namun harus dilunasi. Jadi disinilah saya,
masih dengan ketidakjelasan, tapi pantang mundur dari keyboard dan terus mengetik.
“Ada filosofinya, Al?”
“Gue Alya. Hidup gue sesak filosofi,”
‘Laut’ itu seperti
perwujudan yang saya bawa untuknya. Bahwa setenang apapun air laut, entah
kapan, ombaknya selalu bisa menenggelamkan. Meski alunan ombaknya lirih,
perlahan namun pasti, saya akan terseret juga kedalamnya. Semakin berontak dan
melawan, justru malah semakin hanyut. Terlebih
saya engga bisa berenang...krik krik krik.
Maka begitulah dia. Sikapnya
yang tenang seperti topeng serba guna yang bisa dilepas kapan saja, dimana
saja, asalkan dia mau. Semuanya se-merdeka-nya dia. Tenangnya banyak arti;
kebijaksanaannya enggan berselisih, kemalasannya ikut campur, kejahatannya atas
apa yang ia lakukan, ketertarikannya pada apa yang sempat ia cemooh,
ketidaksanggupannya mengakui kesalahan, dan keimutannya yang tidak sanggup ia
perlihatkan. Pokoknya, apapun itu, tenangnya sangat menjengkelkan. Terlalu
dipikirkan sama saja bunuh diri, seperti sengaja masuk ke dalam ombak dan
terjebak di sana.
Lalu...dia itu...masih seperti laut. Warnanya
biru. Warna yang manis, tapi lambang kesedihan. Dia –entahlah- selalu membiru. Bibirnya
senyum, tapi kadang matanya tidak. Tawanya keras, tapi sedetik kemudian
kenyataan seperti menghampirinya dan ia menghela napas. Tingkahnya konyol, oh,
kalo ini, dia emang konyol.
Kemudian saya sampai pada satu kesimpulan;
ternyata setiap manusia begitu. Bukan hanya dia. Setiap manusia punya waktu
membirunya masing-masing. Waktu dimana belum tentu ada manusia lain yang
menyadarinya, atau mungkin berharap bahwa tidak akan ada manusia lain yang
menyadarinya. Waktu dimana titik terendah kehidupan manusia muncul, namun
merasa tidak perlu menarik manusia lain untuk berada di titik tersebut. Benar-benar
hanya dirinya seorang. Menikmati waktu membirunya sambil menangis. Manusia
punya sakitnya masing-masing di setiap bahagianya.
“Emang harus banget laut, Al?”
Iya. Ha-rus.
Kalau ada yang bilang tidak bisa menebak dalamnya
laut, maka begitu pula dia (dan manusia lain, sebab dia juga manusia). Sedekat apapun,
saya rasa tidak akan ada yang bisa benar-benar menebak perasaan orang lain. Seperti
jumlah batu yang mengendap di dasar lautan, kita tidak pernah tahu seberapa
banyak rahasia, sakit, bahagia, dan perasaan lain yang orang lain rasakan. Manusia
itu jagonya bohong, terutama membohongi perasaan wkwk.
“Merk parfumnya emang apaan?”
Nah. Ini nih. INI!
Saya juga belum sempat tanya. Saya juga tidak pernah bilang saya suka
parfumnya. Apalagi bilang kalau parfumnya wangi laut. Tidak. Dan sebalnya dia
juga tidak menjelaskan. Walaupun aneh juga kalau tiba-tiba dia menjelaskan. Seakan-akan
dia bisa membaca pikiran saya.
Masih bisu.
Seperti yang sudah saya jelaskan bahwa dia adalah
jenis manusia yang tenang, punya waktu membiru, dan sulit ditebak. Namun saya
selalu penasaran. Saya selalu merasa perlu tahu. Meski dia tidak butuh, meski
dia mungkin terganggu. Walau mungkin sebenarnya segalanya akan lebih mudah jika
saya bertanya dengan lebih jelas, agar dia juga bisa menjelaskannya dengan
lebih baik. Kenyataannya memang menyebalkan karena saya juga manusia
sepertinya, bukan malaikat yang mungkin bisa paham tanpa perlu bertanya dan
menunggu penjelasan darinya.
Saya hanya berharap, agar tidak langsung
menghempas ombak dan membuat saya bingung harus apa. Saya hanya berharap, agar
setiap batu yang berada di dasarnya bisa saya tengok satu persatu. Agar saya
bisa lebih yakin dalam bersikap. Saya juga berharap bisa menyelam didalamnya
tanpa takut tenggalam. Bukan karena saya terus mencoba berenang, namun karena
laut itu sendiri yang mengalah dan menunjukkan dirinya.
Jadi berhentilah sok keren dengan diam tanpa
penjelasan. Berhenti juga sok bijaksana dengan memendam sesuatu sendirian,
sebab saya senang mendengarkan. Pertanyaan saya engga akan selamanya datang,
jadi datanglah sendiri dengan pernyataan.
Klasik. Dia memang manusia sejuta harga diri.
Dan, saya juga.
Baiklah. Terima kasih
sudah membuat tulisan ini sampai pada akhir paragrafnya. Terima kasih telah
menjadi laut yang menginspirasi saya –dengan terselesaikannya tulisan ini-. Terima
kasih wangi parfumnya, yang mampu membuat saya diam sejenak dan mencari
keberadaan sang pemilik parfum. Terima kasih juga untuk siapapun yang mungkin menyesal
telah membaca tulisan aneh bin ajaib ini. Terima kasih.
0 komentar:
Posting Komentar