Minggu, 13 Oktober 2024

HOME SWEET LOAN

Beberapa hari ini hidup -entah kenapa- berasa penuh banget; fufufafa, kenaikan harga dari hal kecil (momogi makin kecil) sampai hal besar (premium dihapus), KKN dimana-mana, e-materai CPNS, dan banyak lagi. Tiap buka HP sampai bingung kira-kira masalah apalagi yang Indonesia harus hadapi? Selalu mengira-ngira penderitaan apalagi yang rakyat perlu alami? Seakan-akan belum cukup hidup pas-pas-an, malah muncul TAPERA.

 

Sebagai gen millennial, pembahasan soal pasangan hidup, gaji 2 digit yang masih sulit dicapai, kebutuhan keluarga yang perlu dibantu, tentu saja ‘rumah’ adalah salah satu topik paling panas dan membara. Hampir setiap orang (setidaknya yang aku kenal) mengeluhkan soal tempat tinggal yang terasa makin mustahil untuk dimiliki.

 

Proyeksi keuangan kalau nggak ada uangnya sama aja dengan…mimpi.

 

Orang biasa duitnya sedikit. Mimpinya aja tahu diri.

 

Aku secara pribadi paling suka 2 quotes di atas. Sebagai anak perempuan pertama dengan kemampuan yang biasa saja, latar belakang pendidikan yang juga biasa saja, kemudian kerja dengan karir yang biasa saja juga, banyak mimpi-mimpi yang harus berhenti bahkan meski dalam khayalan. Pesimis? Bisa jadi. Realistis? Jelas. Kehidupan banyak mengecewakanku, menghamtam dari segala sisi, sampai aku hati-hati berharap.

 

Setelah menikah, atau setelah umur lewat tiga puluh, setelah bekerja sekian tahun, ternyata belum punya apa-apa, dan masih berjuang untuk meraih segala yang realistis, adalah hal yang wajar.

 

Bekerja bagai kuda di Jakarta buat beli rumah sekotak. Iya, se’kotak’.

 

Di tengah ramainya penderitaan kami (pekerja biasa-biasa saja yang hidup untuk kebutuhan dan sedikit kesenangan), beberapa orang menyuarakannya dengan hal-hal luar biasa; thread twitter pada umumnya, tapi lebih eksklusif ada yang sampai menulis novel hingga difilmkan. Yap betul! Home Sweet Loan!

 

Berapa banyak sih orang yang bisa beli rumah lunas? Kecuali orang kaya banget, atau orang biasa-biasa aja tapi rumahnya di ujung berung, yang kalau berangkat kerja dari sana mungkin baru setengah perjalanan ingin pindah tempat kerja.

 

Aku rajin mengecek harga semua asset…yang tidak mampu kubeli.

 

“Kan kalau hemat setiap hari, lama-lama yang lain bisa kebeli.” Optimismeku belum padam meski sudah bertahun-tahun tidak kebeli apa-apa.

 

“Gue capek, kayak susah banget keluar dari lingkaran ini, hanya untuk punya tempat sendiri, untuk punya apa yang gue mau jalanin. Gue pikir pas gue kerja, punya uang sendiri, hidup akan jadi lebih baik. Nggak tahunya karier gue gitu-gitu aja. Semakin nabung ko semakin susah ya?” GOD THIS IS SO ME!

 

Novel ini bercerita tentang Kaluna 32 tahun, memiliki 2 kakak yang sudah menikah dan mereka masing-masing punya seorang anak. Kaluna, Bapak, Ibu, 2 kakaknya Kaluna, 2 kakak iparnya Kaluna, dan 2 keponakannya Kaluna tinggal dalam satu rumah. Masalah dimulai dari 2 kelurga kakaknya yang hidup seenaknya, jarang beberes, dan sering menggusur hak-hak Kaluna di rumah. Kemudian masalah membesar karena sang Ibu mulai memihak, dan terus-menerus memaksa Kaluna untuk mengalah atas banyak hal; tenaganya, kerja kerasnya, uangnya, bahkan kamar dan lemarinya.

 

Mereka yang sudah berkeluarga selalu menjadi prioritas karena dianggap memiliki masalah yang lebih rumit, lebih butuh dukungan. Urusan berkeluarga barangkali dianggap lebih ruwet dibandingan urusan devisa negara. Pokoknya jika ada anggota keluargamu -yang sudah menikah- mendapat masalah, mereka wajib dibantu. Sementara anggota keluarga yang lain otomatis ikut tergiring agar masalah mereka yang sudah menikah ini teratasi, terlepas dari kemungkinan bahwa sumber masalahnya adalah keputusan keliru si pasangan atau karena mereka gagal mengukur kemampuan diri sendiri.

 

Saat membaca kalimat itu, aku mulai mengingat-ingat kembali bagaimana keluargaku hidup selama ini. Aku anak pertama, jadi tentu aku tidak tahu bagaimana perasaan Kaluna yang harus hidup dengan keluarga kakak-kakaknya. Tapi kutelaah, memang ada beberapa keluargaku yang lain yang akan sangat memahami Kaluna. Aku juga kenal beberapa teman yang mampu duduk berjam-jam untuk adu nasib dengan Kaluna.

 

Sorry, maaf yang tak terhingga, tapi tidak ada kelakuan yang diubah. Jujur aku takut melihat kehidupan pernikahan yang nyata begini. Bertahun-tahun kami serumah, mereka tidak pernah berubah menjadi protagonis. Kesalahan yang selalu diulang. Kata maaf hanya menjadi kata hiasan wajib yang tak lagi memiliki arti.

 

Baca novel ini terasa ringan, tapi pahit di beberapa sisi. Pertama, fakta bahwa ‘rumah’ terasa semakin jauh dimiliki. Tidak mustahil, tapi ‘jauh’. Dan aku tidak tahu seberapa ‘jauh’ jarak yang aku perlukan itu. Kedua, banyak keluarga di luar sana yang chaos. Beberapa kali rasanya ingin ikut andil dalam hidup Kaluna sang pemeran utama di novel ini untuk memaki keluarganya. Karakter Ibu Kaluna yang super menyebalkan dari bahasanya, tingkah lakunya yang playing victim karena berusaha ‘menyayangi’ semua orang, serta semua pengorbanan yang seakan-akan dia lakukan demi kebahagiaan keluarganya. P dahal itu semua hanya keegoisan dirinya sendiri yang merasa ‘IBU’; maka semua harus patuh, sebab petuah terbaik adalah pola pikirnya yang bisa jadi sudah ketinggalan zaman dan tidak lagi relavan.

 

Ibu selalu begini. Bagi Ibu, sesalah apapun anaknya, anak tidak akan pernah salah. Sesedikit apapun tenaga Ibu, di kepala Ibu hanya ingin membantu sebanyak-banyaknya urusan anak. Kadang aku berpikir Ibu perlu ke psikolog, sebagaimana isu mental health yang hilir mudik dibicarakan di Twitter. Apakah Ibu memiliki kompleksitas ingin selalu dianggap penting oleh anaknya? Sehingga ketimbang mendidik anaknya untuk bertanggung jawab, Ibu lebih senang sebagai tempat bergantung. Dan membuat Ibu sadar itu adalah pekerjaan paling berat. Bayangkan, bagaimana caranya menyadarkan orang yang sudah berumur 61 tahun? Mustahil. Paling cuma banyak-banyak berdoa, semoga suatu saat Ibu mau sadar dan jujur pada diri sendiri.

 

Aku adalah salah satu anak, dari setiap anak yang ada di Indonesia, yang akan setuju dengan kalimat di atas. Bukan. Bukan karena ibuku setega ibu Kaluna, tapi lebih karena aku tahu ibuku juga perlu hidup untuk dirinya sendiri. Aku juga tahu banyak ibu di luar sana yang lebih banyak stresnya daripada bahagianya. Karena itulah aku pikir, mungkin memang setiap ibu perlu bimbingan konseling secara rutin.

 

Saat dewasa, kita sering merasa sendiri dan kesepian. Kita sulit menghubungi teman sekadar mengeluh tentang hari ini. Bahkan saat kita sudah punya pasangan, kadang kita lebih sering mengalah dan memendam agar tidak memberatkan pasangan sendiri. Kalau hanya dengan tumbuh dan berkembang bisa membuat dunia semakin sempit, aku bisa bayangkan bagaimana kecilnya dunia Ibu. Kemana ibu bisa cerita? Emosi-emosinya mungkin hanya sampai pada tumpukan cucian piring yang harus ia cuci. Sedihnya mungkin hanya bisa ikut mengalir sembari sikat WC. Mungkin masih beruntung ibu generasi sekarang yang punya second account untuk mengeluhkan hidupnya. Aku harap semua ibu bisa selalu didengar. Dan aku, juga berharap, semua ibu mau mendengarkan.

 

Aku menunggu hari ketika jawaban Ibu akan berbeda.

 

Hampir semua pembahasan di novel ini bisa dirasakan pembacanya. Selain rumah, dan keluarga, apalagi masalah hidup? Pertemanan, jodoh, dan mimpi-mimpi yang gagal terwujud? Novel ini juga bahas.

 

Jodoh itu perkara memilih, menerima apa adanya, menerima seada-adanya, atau sama-sama berusaha.

 

Kalau perempuan belum nemu jodoh, rata-rata mereka memperbaiki dan mempercantik diri. Kalau laki-laki belum nemu jodoh, solusinya cari calon istri yang sabar.

 

“Lo cari istri yang sabar. Emangnya lo udah niat jadi suami yang resek? Lo mau ngapain? Lo emang kenapa, mesti butuh istri yang sabar? Kalau di Barat tuh cari istri yang bisa komunikasi, tahu maunya apa, punya ambisi. Mana ada bule cari istri sabar? Laki-laki Indonesia doang yang nyari istri sabar. Mau ngapain sih lo?”

 

Aku sangat menikmati membaca novel ini. Selain sangat ramah di kehidupan sehari-hari, aku merasa ‘segar’ setelah tahu banyak yang menderita selain diriku sendiri HAHAHA. Kadang berbagi nasib memang satu-satunya jalan untuk menertawai kehidupan.

 

Aku bingung bagaimana harus menutup tulisan ini. Aku tidak dalam kondisi yang mampu menyemangati orang lain. Aku juga belum punya rumah. Karirku juga tidak meningkat. Aku juga tidak punya motivasi untuk menambah pengetahuan dan kemampuan diri. Tapi satu hal, aku baik-baik saja. Dengan semua hal yang belum mampu aku miliki diusiaku sekarang, aku baik-baik saja. Jadi aku harap, semua orang juga bisa baik-baik saja. Aku harap kita semua tidak perlu terlalu bersemangat, tapi juga jangan menyerah. Aku harap kita selalu bisa menjalani hari-hari biasa dengan perasaan luar biasa.


Senin, 25 Oktober 2021

DISNEY SEA


Aku pasti sesumbar saat diunggahanku sebelumnya mengatakan aku akan kembali dengan petualangan Disney Sea. Sebelum menulis ini aku mengunjungi blog-ku sendiri dan kulihat tanggal unggahan terakhirku adalah 27 Mei. padahal aku ingat hari ini sudah bulan Oktober, tapi tetap tak tahu diri memastikan dengan berlagak melihat kalender. Sudah tanggal 22, maka 5 hari lagi tepat 5 bulan aku membatu tanpa menulis.


Bila dikilas balik apa-apa saja yang kulakukan selama 5 bulan ke belakang, tentu saja tak penting-penting amat. Kutengok bagaimanapun, kupikir, dan kuingat-ingat keras-keras, memang aku, tak melakukan hal-hal penting nan krusial yang mampu dijadikan alasan.


Kerjaku hanya kerja. Memulai hari senin dengan bekerja, lalu bekerja sepanjang senin-jumat. Mengakhiri sore dengan pulang kerja melewati Jababeka, EJIP, lalu masuk ke Kawasan MM2100 hingga sampai di rumahku setelah menghabiskan satu jam perjalanan. Jika motorku punya kekuatan untuk mengutarakan pendapatnya, ia pasti muak dengan jalan-jalan yang kulewati karena menoton sekali. Kategorinya hanya itu-itu saja; jalan bolong, jalan macet, jalan bolong di tengah macet. Jika penggambarannya dapat diringkas hanya dengan satu kata maka jawabannya adalah; Cikarang.


Apakah pekerjaanku sibuk? Iya, tapi senggangku sebenarnya cukup untuk menulis. Lalu kenapa tidak menulis? Karena aku sibuk maraton nonton film, drakor, dan variety shows. Kurasa Rakib dan Atid hanya perlu menggunakan fitur copy and paste untuk kegiatan harianku. Sungguh aku, jauh dari hamba yang bermanfaat; baik waktu, kegiatan, dan amalannya.


Sudah paragraf kelima dan aku belum menemukan kalimat pembuka untuk menceritakan pengalaman Disney Sea-ku. Bagaimana harus kumulai? Baiklah akan kucoba ingat baik-baik dan satu persatu secara urut.


30 November 2020, jam 07.31 waktu Tokyo, aku sudah berdiri di depan sebuah kereta dengan design Mickey Mouse. Sepanjang hidupku, baru kali itu aku melihat kereta yang digunakan hanya untuk satu tujuan; ke Disney. Jalurnya hanya untuk pergi ke Disney, maka designnya sangat amat Disney.

 

Sc: google

Sc: google

Tak perlu menggambarkan perasaan anak kecil, pun aku yang berumur 24 tahun girang bukan main saat pintu kereta terbuka. Kursinya, jendelanya, pernak-perniknya, semua Mickey Mouse dan semua-semua-semua-nya membuatku tak usai-usai terkagum-kagum. Mainanku, bonekaku, tontonanku, seluruh masa kecilku seperti dibayar lunas oleh Disney. Meski ingin sekali kuteriakkan pada Disney untuk sekalian melunasi mimpi-mimpiku.


Mana princess’ life-ku?

Mana sepatu kaca dan dress-ku yang berbinar-binar?

Kenapa yang kukenakan lebih sering sepatu kets dan sandal jepit?

Jawab! 


Lalu hening. Telingaku menolak semua suara dari luar. Hingga laju kereta berhenti, dan pintunya terbuka. Aku berjalan turun, tetap terkagum-kagum akan fakta bahwa aku bisa menginjakan kaki di Disney. Mataku sibuk melihat-lihat, meski buram tanpa bantuan kaca mata, ia tetap asik menyusuri tiap sudut; belum percaya akan pemandangan yang ada didepannya.


Wahana pertama yang kunaiki adalah Tower of Terror; konsepnya mirip seperti Histeria di Dufan. Bedanya? Histeria lebih menakutkan haha. Kalau Tower of Terror, kita diangkat semacam kursi seperti Histeria namun di dalam sebuah ‘lift’. Jadi selama naik ke atas, semuanya gelap gulita sementara Histeria kita bisa sambil melihat pemandangan yang terasa semakin mengecil dan menyeramkan.

 


Setelah gelap hingga sampai ke atas ‘tower’, maka cahaya baru akan nampak dan memperlihatkan pemadangan dari atas. Lalu dihempaskan hingga bokong tak menyentuh kursi dan jantung serasa jatuh dari rusuk. Namun sensasi Histeria jauh lebih mengerikan, jadi kalau kalian sudah pernah naik Histeria, ini hanya sebuah ‘kejutan’ kecil buat klitik jantung.


Wahana kedua; Journey to the Center of the Earth. Ini seru guys macam cari harta karun jadi kita naik kereta bawah tanah gitu. Wahana ketiga; Toy Story Mania. MY FAVORITEEEEEEEEEEEEE. Selain bisa naik wahana ‘inti’ dari Toy Story, di sini juga banyak ‘side wahana’nya semacam wahana-wahana tambahan nan receh namun menyenangkan. Hal paling epic yang aku temukan di sini adalah parkiran stoler.

Seperti ini parkirannya

Mohon maaf sebelumnya aku lupa judul wahana keempat, nyari-nyari di google juga gak nemu karena gak pinter ajasih nyarinya ehehe. Pokoknya ini salah satu wahana magic dimana aku sadar bahwa Jepang adalah negara maju. YAELA.


Jadi kita masuk ke dalam kapal laut gitu, nah di sana kita akan ketemu dan ngobrol, bayangin NGOBROL sama Crush (karakter kura-kura di film Nemo). Serius ini NGOBROL LIVE. Maksudnya kan dia tuh cuma ada di layar segede bioskop ya, nah itu kura-kura tuh NGOBROL jir sama kita. Entahlah gimana jelasinnya pokoknya beneran salah satu teknologi Jepang yang bikin nganga.


Nah pindah ke wahana kelima, aku ke Nemo-nya ehehe. Nama wahananya adalah Nemo and Friends Sea Rider. Ini agak bocah gitu wahananya cocok sama aku yang sudah berumur. Lanjut ke wahana keenam dan ini agak menantang; Indiana Jones Adventure. Seru nih kek wahana orang dewasa pada umumnya.


Lalu karena kedewasaan yang baru saja aku lewati, aku memutuskan naik Scuttle’s Scooters beuh gila gak ada serem-seremnya wkwkwkwk ini bahkan wahana buat bocil tapi orang dewasa tetap boleh naik. Semacam naik alap-alap pasar malem gitu cuma bedanya ini di Disney Sea.

Semacam lelah sama naik-naikan, aku memutuskan untuk ke The Magic Lamp Theater. Ini seru dan banyak trik-trik sulap gitu. Semacam musical cuma ya dongeng aja gitulah. Ini antrinya agak lama btw kaya satu jam gitu tapi worth to watch. Kemudian aku naik Electric Railway gitu. Ini kaya bukan wahana sih, ini tuh semacam kereta yang bisa kita naikin ke wahana lain yang jaraknya agak jauh. Kenapa? Karena Disney luas. Seluas kasih ibu.

Wahana selajutnya adalah Soaring Fantastic Night. Pas banget inituh kondisinya sudah malam. Dan antriannya panjaaaaaaang banget-bangetan sementara ini adalah antrian free pass. BAYANGIN. Antrian free pass tapi yang ngantri beneran panjang banget kaya ngelist dosa-dosa di dunia. Otomatis kalau gak punya antrian free pass, akan dua kali lipat nunggunya untuk naik wahana ini. Bukannya nyerah malah makin penasaran se-worth to try apa wahana ini.

Setelah lama mengantri, ternyata ini adalah wahana semacam simulasi naik helicopter gitu. Terinspirasi dari perempuan pertama yang mengendarai pesawat. Bentar ya google dulu namanya siapa.


Amelia Earhart namanya guys. Kalian yang nonton Night of  the Museum pasti kenal deh.


Jadi kita naik ke kursi gitu terus ‘terbang’ didepannya disetelin pemandangan dari atas gitu jadi kita kaya terbang beneran. Serius ini rasanya kaya terbang beneran karena ada angin-anginnya gitu dan bahkan ‘harum’ dari tiap wilayah yang kita lewatin tuh berubah. Lewat gunung ya wanginya wangi gunung. Lewat sawah wangi sawah. Serius guys ini gak dilebih-lebihin.


Wahana ke…sebelas. Gila gak sih? Aku ke Disney Sea dan dalam sehari bisa naik wahana untuk kesebelas kalinya!! Bahkan total wahana yang aku naiki itu 12! Wow! Padahal wajarnya ke Disney Sea tuh kalo ada yang berhasil 5 wahana aja udah keren banget karena antriannya yang gak ngotak. Lalu kenapa aku bisa berhasil hingga 12? Simple. Thanks to Corona.


Yes. Jadi aku ke Disney Sea disaat corona lagi ‘agak’ menakutkan untuk warga Jepang. Pengunjung yang datang ke Disney Sea tuh merosot abis karena warga Jepang ketakutan untuk keluar rumah. Apakah aku tidak takut? Apakah karena aku orang asing jadi corona Jepang tak akan masuk ke tubuhku? Tentu saja tidak. Jawabannya sesederhana aku sudah beli tiketnya dan sebentar lagi aku akan pulang ke Indonesia.


Tapi aman ko. Semua protokol kesehatan dijalankan dan social distanding saat antri juga berjalan. Ada bapak-bapak dan ibu-ibu yang selalu semprot-semprot alkohol di pegangan tangga dll. Pokoknya standar Jepang lah beda sama Wakanda.


Oke tadi sampai mana?


Oh wahana ke sebelas; Sindbad’s Storybook Voyage. Wahana ini sangat direkomendasikan sebagai wahana penutup pas udah mau pulang dan udah lelah seharian keliling Disney Sea. Aku sangat bersyukur bisa naik ini sebelum pulang karena awalnya gak ada niatan naik ini sampai ada mbak-mbak Jepang dengan pakaian kearab-araban manggil-manggilin orang-orang untuk ‘naik’ wahana ini karena sepi tanpa antrian.


Konsep wahana ini mirip sama Istana Boneka; naik perahu berjalan dimana penuh dengan boneka. Bedanya? Keseluruhan wahana ini menceritakan kisah Sindbad. Jadi semacam dibacakan buku cerita di atas perahu. Perahu ini jalannya lambat tapi gak lambat-lambat banget. HALAH. Sangat cocok untuk beristirahat tapi disuguhin tontonan menarik. 


Hingga tibalah aku di wahana keduabelas; lupa namanya ehehe. Simple ko ini cuma wahana kuda yang jalan di lingkaran itu loh. Kuda Putar gak sih namanya kalau di Indonesia tuh? Nah iya kaya gitu. Sehabis itu…pulang deh. Pulang dengan rasa puas dan bangga. Engga deng. Tapi...


Dengan rasa sombong membuncah karena bisa keliling Disney Sea seharian dan ngerasain 12 wahana sekaligus. Sebenarnya niatku menulis tentang Disney Sea tidak hanya ingin menggambarkan wahananya namun saat ini aku hanya sempat menulis demikian jadi nanti kalau sempat, aku akan menulis versi lain. Entah kapan.


Kamis, 27 Mei 2021

TOKYO TRIP (MEET N GREAT W/ BROWN, CAMII, N TTEOKBOKKI)

Setelah pulang ke Indonesia, aku banyak flashback. Lebih-lebih karena Jepang terasa benar-benar jauh; mulai dari jarak, hingga kesempatan untuk bisa ke sana lagi. Satu tahun di Jepang bagiku seperti mimpi panjang, dimana aku tidak ingin bangun lagi dan menjalani kehidupan seperti biasa. Jepang bagiku adalah kabur; lari terlama dengan jarak terjauh yang pernah kutempuh. Jepang adalah tempat dimana hal-hal mustahil yang tak pernah kubayangkan mampu hadir dan mewarnai hidupku.

Sepanjang hidupku, aku tidak pernah berani untuk pergi jalan-jalan sendiri. Namun, jika sudah di Jepang dan tidak jalan-jalan tentu akan menjadikan waktuku sia-sia selama di Jepang. Hampir seperti kekuatan magis, aku mampu mengumpulkan niat untuk jalan-jalan berkeliling kotanya disaat aku adalah manusia yang lebih suka rebahan dibanding apapun.

Hampir setiap akhir pekan, aku tidak pernah ada di rumah. Aku selalu punya tempat untuk dituju, meski harus melawan dingin, meski itu hanya sebuah taman yang penuh anak-anak bermain. Ternyata punya kegiatan di hari libur bukan hal yang buruk. Lalu aku mulai lupa dengan banyaknya list tontonan variety shows-ku, namun ternyata aku lebih bahagia. Ternyata aku perlu bernapas dengan udara yang lebih segar, sementara udara kamar sudah terlalu apek diisi penat selama 5 hari penuh dengan bekerja.

Diantara bulan-bulan penuh jalan-jalan yang kulewati, Oktober hingga Desember mungkin adalah puncaknya. Jalan-jalannya jauh, perlu banyak waktu dan pengorbanan. Pengorbanan utamanya adalah menyerah pada fashion karena dinginnya suhu. Tubuh mungilku padahal telah tenggelam dalam padding namun tetap menggigil didalamnya. Kutengok kanan dan kiri, manusia-manusia lain tetap terlihat cantik dengan rok mini. Heran kutatap mereka tanpa ingin mereka salah paham, karena aku tak lebih dari seonggok kepompong yang berjalan. Bagaimana bisa mereka melangkah dengan paha cantik tanpa ditutup kain? Sementara tak se-senti-pun kulitku nampak namun beku bahkan ditiap-tiap ujung kukunya.

Lagi-lagi, seperti mantra yang diucap sang penyihir, aku tetap memilih jalan-jalan. Meski danbou (AC dengan udara panas) terasa sulit ditinggalkan dengan cuaca yang sungguh tak mampu kumengerti mengapa dinginnya mampu menusuk tulang. Meski futon (kasur tanpa dipan) terasa semakin empuk dan nyaman untuk ditiduri di tengah cuaca yang sepertinya selalu memusuhiku dengan dinginnya angin bertiup. Namun lebih dari ingin membuatku nyaman, kurasa futon-ku lebih muak melihatku berbaring guling-gulingan diatasnya tanpa semangat hidup.

Salah satu jalan-jalanku yang paling berkesan adalah petualangan Tokyo. Selama setahun di Jepang, aku (lumayan) sering ke Tokyo meski hanya sekadar numpang lewat di stasiunnya. Namun di beberapa kesempatan, Tokyo banyak menjadi inti dari petualanganku. Tokyo menjadi tujuan utama untuk kujelajahi.

29 November 2020, kedua kalinya, aku sampai di Line Friends Flagship Harajuku Store. Tempat dimana aku paham mengapa Harajuku terkenal atas kata ‘fashionista’nya. Tempat dimana Shibuya kukenang dengan megah bangunannya, tinggi gedungnya, dan canggih teknologinya. Tempat dimana BTS punya surga belanjanya sendiri; goods dan semua tentang BTS. Di lantai satu, beruang coklat besar yang menjadi icon toko itu kini berubah penampilan. Karena natal sudah dekat, pun dia ikut-ikutan pakai syal warna merah dengan dekorasi hijau-hijau. Aku banyak belanja untuk keperluan oleh-oleh. Mundar-mandir ke sana-sini memilah-milih, sungguh kegiatan yang menyenangkan bisa berbelanja puas-puas meski tak satu barangpun kubeli untuk diri sendiri.

Lalu aku sadar, ini kali terakhirku berkunjung karena sebentar lagi akan pulang, aku berfoto sekaligus pamit dan minta didoakan pada beruang agar perjalanan pesawatku lancar dan chapter hidupku selanjutnya bisa terus menyenangkan. Aku juga berharap bisa bertemu sang beruang lagi dengan penampilan lainnya.

Hari itu, meski dingin, aku banyak berjalan-jalan. Dari yang awal niatnya berjalan-jalan sambil keliling, hingga kebanyakan jalan tak tahu arah karena nyasar. Faktor nyasar ini karena lapar dan bingung mau makan apa, lalu tiba-tiba ingin Ichiran Ramen. Ramen paling enak yang masuk kekategoriku. Mienya tipis-tipis dan lembut, kuahnya kental, di atasnya bertabur bubuk cabe yang pedasnya bisa kita request hingga level 10. Aku biasa makan level 7, dan rasanya pas sekali. Pedas yang tidak terlalu pedas, dan sangat bisa kunikmati. Aku bukan hardcore fan mie kuah, tapi Ichiran membuatku jatuh cinta. Ia adalah pengecualian yang mampu datang dan merusak tatanan seleraku.

Sama seperti toko Ichiran yang pernah kukunjungi, Ichiran kali ini juga dimulai dengan memesan menunya di jidouhangbaiki (vending machine). Fun fact; Ichiran hanya punya satu menu. Benar-benar hanya ramen! Selain itu yang membedakan adalah toppingnya. Gila sih, usaha satu menu ramen bisa selaku ini. Mungkin karena rasanya memang bisa diadu kapan saja. Lalu lanjut masuk ke dalam ruang makannya, dimana itu disekat-sekat untuk satu orang. Mirip seperti ruang belajar... aku sempat terkagum-kagum dengan kran airnya. Sungguh simple dan efisien.

Hal lain yang membuatku kagum adalah cara penyajiannya. Aku belum pernah makan di suatu restonan yang penyajiannya macam Ichiran. Nanti pelayannya akan muncul dari balik tirai, mengantarkan ramen, dan ojigi (membungkuk). Jepang sekali.

Sulit bagiku menjelaskan bagaimana sekat-sekat dan kran air yang kumaksud, jadi aku googling untuk mencari fotonya:


Setelah duduk di bangkunya, aku mengisi kuesioner singkat tentang bagaimana ramenku perlu disajikan. Aku biasa menghilangkan daun bawang, namun meminta lebih banyak bawang putih, selanjutnya yang paling penting adalah tingkat kepedasannya. Kupilih level 7; lucky seven.

Saat pesananku datang, aku hanya mampu menatapnya perlahan-lahan dan mencoba mencerna apa yang terjadi. Dengan amat sangat jelas mataku dapat melihat bahwa yang tersaji di depanku adalah ramen dengan irisan babi di atasnya. Reksa di sampingku juga sama bingungnya, menatapku tanpa suara tapi aku paham kalimatnya; bahwa dia juga kaget atas babi yang dia lihat.

“Makan aja apa ya? Pisahin babinya. Yang penting babinya gak kita makan," saran Reksa.

Aku ragu. Ini bukan perkara misahin daging, tapi sederhananya mulutku tak bisa menelan jika jelas-jelas ada babi dipiringku. Ini salah diagamaku, dan aku punya kesempatan untuk menjauhinya maka, "aku mau protes ke mas-nya. Aku bakal jelasin ke mas-nya kalau tadi di kuisioner aku pilih nashi (without/tanpa) babi," kataku kelewat percaya diri mengingat kemampuan bahasa Jepang-ku yang kurang mumpuni.

Akhirnya ku panggil mas-nya, kukatakan sumimasen, kujelaskan terbata-bata, lalu Reksa ambil alih. Memang kemampuan bahasa Jepangnya jauh di atasku. Dia jelaskan kalau kami minta tukar pesanan tanpa daging babi, lalu masnya double check kuisioner yang sebelumnya kami isi, mas-nya paham lalu meminta maaf dan mengganti pesanan kami dengan ekspresi, "aneh lu anjir dikasih daging gak mau".

Kira-kira pesananku yang datang seperti ini:


Pesanan yang kuharapkan dan akhirnya datang:

Kali ini aku memotretnya sendiri. Bahkan hanya melihat fotonya aku bisa membayangkan rasanya. Aku bisa merasakan kuahnya mengalir pelan-pelan ditenggorokanku, berjalan menyusuri usus, dan mengabarkan kegembiraan pada perutku.

Perut kami sudah kenyang dengan ramen, pun telah hangat karena kuahnya. Kami sudah punya banyak kekuatan untuk kembali berpetualang, dan tujuan selanjutnya adalah Tokyo Camii. Hampir setahun aku di Jepang, baru kali ini aku akan mengunjungi tempat ibadahku sebagai seorang muslim. Memang aku, sungguh jauh dari kata taat.

Sampai di Camii, aku banyak menemukan orang-orang Jepang yang ikut terkagum-kagum atas bangunan megah masjid itu. Bahasa Jepang-ku buruk, namun aku mengerti satu-dua kalimat yang mereka obrolkan. Aku senyum-senyum saat ada yang menjelaskan tentang Islam; agamaku diceritakan dengan indah lewat mulut mereka. Aku sempat foto bagian depannya:

Bangunan masjid-nya kental sekali dengan nuansa Turki. Aku tak banyak tahu soal arsitektur, namun saat aku cek di google, memang nama lengkapnya adalah Tokyo Camii & Turkish Culture Centre. Masuk ke dalam masjidnya, aku disambut museum mini. Didalamnya juga ada semacam mini market yang menjual berbagai makanan halal. Tersedia juga kelengkapan sholat seperti sajadah, mukena, tasbih, dsb. Ada juga perpustakaan didalamnya, namun aku tak sempat memeriksa buku-bukunya karena sebentar lagi adzan ashar dan aku ingin merasakan sholat berjamaah.

Aku sholat dengan mengenakan mukena yang disediakan masjid. Model mukenanya adalah mukena simple yang tinggal masuk (?) wkwk bagaimana harus kujelaskan? Lalu warna mukenanya seragam hitam semua. Saat aku sholat, ada seorang perempuan Jepang berjalan-jalan mengagumi bagian dalam masjid sambil terus mengambil gambar dengan kamera yang ia kalungkan. Hal yang lucu adalah ia hampir menginjak seseorang yang tengah sujud karena terlalu fokus melihat-lihat atap masjid wkwk. Entah apa yang ada dipikirannya saat melihat tulisan Arab yang tidak kalah heboh dengan kanji.




Sesudah sholat, aku lapar lagi. Aku mau menyalahkan udara dingin yang mudah membuatku lapar namun setelah diingat-ingat…memang porsi makanku setara tahanan yang tidak diberi makan seminggu. Dengan berbagai belanjaan di tangan, aku melesat ke kota lain dengan densha (kereta). Aku menuju sebuah kota yang tak pernah membuatku kecewa kapanpun aku datang; Shinookubo.

Shinookubo atau terkenal dengan panggilan “Korean Town” merupakan sebuah negara Korea ‘mini’ yang Jepang sediakan. Isinya tentu penuh dengan boyband dan girlband Korea, makanan Korea, dan yang paling membahagiakan tentu skin care dan make up Korea. Aku tak pandai urusan skin care maupun make up, namun setiap melihat 2 benda itu aku selalu tertarik. Sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan, aku hanya mampu mengagumi orang-orang yang mampu menggunakannya dengan baik.

Sampai Shinookubo, aku (lagi-lagi) membeli oleh-oleh. Kali ini, aku juga membeli liptint untuk diriku sendiri. Tak ketinggalan aku juga membeli tteokbokki dilanggananku (padahal baru beli 2x). Enak. Enak sekali. Sampai saat ini, tteokbokki langgananku adalah tteokbokki terenak yang pernah aku makan.

Selebihnya, aku hanya berjalan-jalan menikmati udara Shinookubo diiringi musik Kpop kemanapun kaki melangkah. Aku masuk dari toko satu ke toko yang lain sekadar melihat-lihat make up. Aku siap untuk petualanganku besok; Disney Sea. Aku usahakan menabung waktu dan meluangkannya untuk menulis. Aku akan kembali dengan nuansa Disney Sea. See ya!

Sabtu, 24 April 2021

RINDU

Sejak pulang ke tanah air, tak banyak yang aku lakukan selain rebahan dan melamar kerja. Yap, hidupku seperti ter-reset dan kembali ke canva; mengikuti zaman dan membuat CV jadi lebih menarik. Alasannya mungkin sederhana, karena kemampuanku tidak menarik:) WKWKWKW. Keterampilanku tidak ada, jadi menyerah dan malah lari ke nilai keindahan. Meski akhirnya, CV-ku hanya menggunakan design rata-rata karena jiwa kreatifku juga hanya rata-rata. Kemampuan canva-ku juga rata-rata. Memang hidupku, hanya manusia rata-rata.

Senin, 01 Februari 2021

KURSI-KURSI

Dulu sekali, saat kegiatanku masih sebatas kursi sekolah dan kursi warnet, aku jarang berkaca diri; tentang sikap, maupun penampilan. Lalu beranjak, saat kursi-kursi lain mulai aku duduki; ekstrakulikuler, les, sosial media, kekoreaan, dan entahlah apa namun ternyata tidak banyak membawa perubahan. Mungkin aku, memang tidak cocok pada bidang mempercantik diri. Meski aku iri, saat mereka sedang membicarakan warna lipstick. Meski hatiku bergetar saat perubahan-perubahan positif mereka tidak mampu aku imbangi.

Pendapatku yang lain, mungkin aku memang tidak cocok dibidang musik dan lagu-lagu. Meski aku penasaran, saat mendengar lagu yang cocok di telingaku namun terlalu malu menanyakan judulnya karena takut dibilang kurang gaul. Meski aku lebih sering merasa tertinggal, saat tiba-tiba musik menyala, lalu mereka dengan kompak menyanyi bersama. Aku juga ingin, namun lagi-lagi, bukannya melangkah maju, aku mundur ke belakang. Menarik diri, dan memilih menjalani hidupku. Hidup yang kurasa terlalu hening, tanpa perubahan berarti, tanpa hiburan yang berarti pula. 

Waktu tetap berlari, tak peduli padaku yang terlalu cepat lelah dan meninggalkanku jauh di belakang. Tiba-tiba, aku dipaksa mencoba kursi-kursi lain. Kursi-kursi yang belum tentu cocok untukku. Kursi-kursi yang takut kucoba namun terlanjur kududuki. Kursi-kursi yang kalau kubilang membawa perubahan, aku juga tidak terlalu yakin; penolakan, kecewa, perjuangan, lelah, penat, tanggung jawab umur 20 tahunan.

Jika waktu-waktuku hidup ditimbang dan diukur, mungkin sebagian besarnya adalah kesendirian. Dimana waktu-waktu sendiri itu lebih banyak membuatku membayangkan skenario-skenario besar namun patah karena usahaku yang minim. Atau merenung membanding-bandingkan diri dengan yang lain. Saat mereka sudah jelas akan selalu lebih dariku; lebih cantik, lebih baik, lebih pintar, lebih ini, dan lebih itu. Bodohnya aku, berkali-kali tak kunjung paham, bahwa hal-hal 'lebih' yang mereka miliki sebenarnya adalah lebih rajin, lebih berusaha, lebih mengeksplorasi diri, lebih belajar, lebih banyak bangkit dibanding menyerah, lebih fokus memperbaiki diri sendiri dibanding mencari pembelaan seperti yang kulakukan.

Kemudian kenyataan mulai menghamtam bertubi-tubi. Kenyataan yang dulu datang perlahan-lahan, kini tak lagi memberiku ampun. Kenyataan datang dan menindasku; teriak-teriak bahwa aku tertinggal dan tak ada banyak waktu tersisa. Meski aku berlari sekuat mungkin, namun jarak yang tercipta sudah kelewat jauh. Meski aku bangkit, namun kesempatan-kesempatan telah runtuh. Terlalu terlambat karena telah kusia-siakan. Lagi, aku mencari pembelaan-pembelaan.

Kini, mungkin aku masih tak banyak berubah. Mungkin aku masih aku yang dulu. Mungkin aku masih aku yang mencari-cari pembelaan. Tapi kursi-kursi lain tetap datang; entah aku siap maupun tidak. Kesempatan-kesempatan selalu ada; entah aku ambil maupun tidak. Entah seberapa takutnya aku, aku akan tetap memilih kursi, aku akan tetap menjalani hidup dari kesempatan-kesempatan yang kupilih. 

Pun hari ini, aku masih duduk di kursi. Ditemani sebotol Teh Pucuk, diiringi lagu-lagu Sheila On 7, jari jemariku lincah mengetik. Hari ini, aku pilih menulis. Membangkitkan hobi yang sudah lama tak kusisihkan waktu untuk mengisi luang. Kesempatan untuk berleha-leha selalu ada, tapi detik ini kupilih untuk menuliskannya satu-persatu; malas-malasanku harus terlihat lebih elegan.

Besok, aku akan memilih kursi lagi. Sama seperti hari ini dan hari-hari lalu, kursiku bisa saja membuatku kecewa. Sama seperti kemarin dan minggu lalu, kesempatan yang aku ambil bisa saja salah. Namun tak apa, masih ada lusa dan minggu depan, dimana kursi-kursi lain bisa aku duduki. Masih ada bulan baru dan tahun lain yang selalu membawa kesempatan untuk aku berubah. Membuatku berkaca dan memperbaiki diri; tentang sikap, maupun penampilan.

Minggu, 05 April 2020

LA LA LAND

Sc: Google

Apa yang akan terpikir setelah membaca judul posting blog ini? Pastinya soal film yang sempat rilis dan ramai dibicarakan orang-orang, termasuk kamu, bukan? Yap. Tentu. Hanya saja, aku tidak termasuk ke dalam ke'ramai'an itu. Dan sekarang, setelah sepi, aku baru mencari dan akan mencoba memahaminya. Alasan-alasan kenapa dunia sempat sibuk membahas film ini.

Ah, haruskah kujelaskan bagaimana akhirnya aku bisa tertarik untuk ikut berpendapat soal film ini? Oke jadi, pertama-tama, tentu saja aku tidak mungkin tiba-tiba penasaran. Sangat amat bukan Alya yang kukenal selama hidupku. Jadi tentu saja ada dorongan eksternal yang membuatku ingin tahu, bahkan memaksanya untuk tahu, dan akhirnya memilih menonton La La Land

Dorongan eksternal yang datang padaku adalah kalimat dari salah satu temanku; "Eh Al, aku baru beres nonton film yang sama ke sekian kalinya," yang datang pada chat WhatsApp. "Setidaknya setahun 2 bulan sekali. Dan itu di bioskop aku nonton entah berapa kali. Pas awal2 lebih gila," katanya melanjutkan. Haruskah kukira-kira? La La Land rilis 12 Januari 2017 (berdasarkan hasil googling). Anggaplah temanku mulai menontonnya via streaming sejak 2018, setahun ada 12 bulan, dan sekarang sudah April.

Baiklah, setidaknya selama 2018 dan 2019 ia menontonnya 12x dan di 2020 ini anggaplah dia sudah menontonnya 2x maka jumlahnya 14x. 14x dan itu belum termasuk yang ia tonton di bioskop dan di waktu gabutnya. Wow. Sungguh banyak hal sia-sia yang dilakukan manusia di dunia ini untuk hal-hal yang disukainya.

Oh, sebentar. Soal sia-sia; akan aku tarik kembali. Tidak ada hal sia-sia yang mampu membuat hati senang. Kita hanya punya preferensi yang berbeda untuk bahagia. Jadi soal sia-sia, aku tarik kembali namun tak akan kuhapus. Itu bentuk kejujuranku pada temanku sendiri, aku tidak ingin curang dan berbohong. Sebab pertama kali mendengar fakta seringnya ia menonton La La Land, memang itulah yang lewat dipikiranku.

Sebenarnya aku ragu menulis review film ini. Aku takut mengecewakan temanku, sang La La Land's Holic; tentang bagaimana sudut pandangku bisa saja berbeda dengan penilaiannya. Tapi biarlah. Biarlah kami berteman dengan perbedaan. Toh selama ini perkara telur matang dan setengah matang saja kami tidak pernah kompak. Maka akan kumulai;

Pertama, aku suka poster filmnya. Ini penting menurutku, sebab menarik minat orang-orang untuk memutuskan akan menonton filmnya atau tidak. Ingat kalimat, dari mata turun ke hati? Ilmu marketing juga bersumbu pada kalimat itu. Aku banyak googling bagaimana poster-poster La La Land lain yang dirilis, dan menurutku semuanya bagus.



Sc: Google

Kedua, aku suka jalan ceritanya. Sebenarnya film ini simple saja; tentang 2 orang yang berusaha keras mengejar mimpinya, bertemu, jatuh cinta, lalu terpisah dengan alasan yang sama. Pisah untuk mengejar mimpi masing-masing, sebab pengorbanan memang selalu begitu adanya. Kita tidak bisa mendapat semua yang kita inginkan. Mutlak hukumnya.

Namun yang membuatnya menarik adalah bagaimana ceritanya berjalan. Dari satu plot ke plot yang lain. Disusun dengan ringan, mudah dimengerti meski alurnya maju-mundur dan terselip twist diberbagai tempat. Tapi ceritanya rapih sekali. Ceritanya seperti mengajak kita untuk ikut melangkah satu demi satu, runtut, terkemas dengan sederhana dan dapat dipahami dengan baik.

Ketiga, "percakapan, lirik, gambar, acting, musik, jangan lupain itu semua", gitu kata temanku. Maka sejak aku nawaitu menontonnya, aku berusaha menempatkan diri sebagai penggemar La La Land nomor 1 meski belum tahu kearah mana aku akan dibawa pada film ini. Aku menaruh ekspektasi tinggi, dan fokus pada 5 hal yang temanku sebutkan. Lalu keputusanku setelah menontonnya; aku setuju. 

Percakapan dan lirik yang ada di film ini banyak yang berkesan, bahkan sejak dari opening. So I bang on every door. And even the answer is no or when my money is running low. The dusty mic and neon glow are all I need♪♪♪

I'm reaching for the heights. And chasing all the lights that shine. And when they let you down, you get up off the ground. 'Cause morning rolls around. And its another day of sun♪♪♪

Dan kurasa (dan semua orang) legend dari deretan lirik yang ada di film ini adalah; here's to the ones who dream. Foolish as they may seem. Here's to the hearts that ache. Here's to the mess we make♪♪♪

A bit of madness is key. To give us new colors to see♪♪♪

Semua rangkaian liriknya memang sesuai dengan tema "impian" yang ingin disuguhkan pada film ini. Itulah doktrin yang secara tidak langsung ingin disampaikan pada penonton untuk ikut berjuang pada mimpi masing-masing. Bahwa bekerja keras memang hampir selalu mengkhianati hasil, jadi usahlah banyak mengeluh. Memang begitu adanya. Memang semua manusia adalah manusia gagal. Kalau ada manusia yang berhasil, maka jumlah gagalnya sudah pasti lebih banyak dari jumlah gagalmu. Tetaplah berjalan dan gagal. Itu lebih baik daripada hanya berdiam diri.

"I don't think I'm gonna like her. Does she like jazz?"
"Probably not,"
"Then what are we gonna talking about?"
-mengapa aku suka sekali pembahasan ini? Maksudnya, well, aku setuju seribu persen bagaimana ketertarikan seseorang akan sesuatu mampu menentukan tingkat komunikasi yang terjalin.

"Why do you say "romantic" like it is a dirty word?"
"Unpaid bills are not romantic,"
-oke aku bahkan tidak perlu membahas ini.

"You're acting like life's got me on the ropes,"
"I wanna be on the ropes,"
"I'm letting life hit me 'til it gets tired,"
"Oh? Then I'm gonna hit back,"
-BOOM!! THE POWER OF THOSE WORDS.

Satu hal yang paling aku apresiasi dari film ini adalah dance!! Mulai dari openingnya saja aku sudah kagum. Tidak bisa aku bayangkan bagaimana kerasnya setiap dancer berlatih tiap harinya untuk mempersembahkan tarian pembuka pada film ini. Belum lagi kru-kru lain yang pastinya harus mengatur timing antara pengambilan gambar dan gerakan dance. Lalu para cameraman-nya yang pastinya perlu bekerja keras bagaimana baiknya sisi pengambilan gambar pada film ini. Belum sewa jalan, mobil, melawan terik matahari, dan lain-lain-lain-lainnya yang kalau kujelaskan satu persatu mungkin bisa jadi jurnal.

Lalu scene Mia dan Sebastian yang menari di bawah hamparan langit ungu. Setelah beberapa platform kulalui, aku mengetahui fakta bahwa shooting-nya dilakukan saat subuh untuk mendapat magic hour. Wow. Pantas saja bisa semegah itu. Apalagi katanya itu dilakukan dengan one-take. Tidak bisa kubayangkan kalau salah satu dari mereka ada yang membuat kesalahan, maka harus diulang secara keseluruhan. 

Oke, lanjut aja ya ke point keempat; udahan sih, aku hanya terpikir sampai tiga point WKWKWKW. Barusan temanku datang, aku bilang reviewnya sedang kukerjakan. "Tapi kayaknya Alya gaakan nonton untuk kedua kali deh," ucapku padanya. Memang kuakui bagusnya film ini, namun tidak masuk seleraku. Aku juga bukan tipe orang yang suka mengulang nonton film sebab sudah tahu bagaimana jalan hingga akhir ceritanya.

Satu hal yang kupahami setelah menonton La La Land; cinta dan mimpi memang tidak pernah menyenangkan. Banyak skenario lain yang bisa terjadi atas hal-hal lain yang tidak kita ambil, namun masa sekarang akan terus berjalan ke masa depan. Sementara di masa sekarang hal-hal yang sudah kita tinggalkan ada di masa lalu, tentunya tidak akan membersamai kita di masa depan. Skenario-skenario panjang dan indah yang mungkin saja terjadi itu hanya mampu tergambar dan berjalan pada pikiran. Ironi hidup memang sesadis itu.

*ps:
Tadi dia menyuruhku untuk memberi rating. Hmmm 7/10? Dia sempat bilang, "jangan di pause, jangan di skip" ketika aku menontonnya. Hampir ku pikir dia juga akan bilang, "jangan napas", yak biar mati sekalian. Namun kenyataannya aku perlu 2 hari untuk menontonnya. Berarti seleraku memang bukan pada genre film ini meski keseluruhan film ini tetap membuatku terkesan. -3 pada ratingku adalah representasi dari perbedaan seleraku.

*pss:
Apalagi yang harus kutonton setelah ini?