Minggu, 13 Oktober 2024

HOME SWEET LOAN

Beberapa hari ini hidup -entah kenapa- berasa penuh banget; fufufafa, kenaikan harga dari hal kecil (momogi makin kecil) sampai hal besar (premium dihapus), KKN dimana-mana, e-materai CPNS, dan banyak lagi. Tiap buka HP sampai bingung kira-kira masalah apalagi yang Indonesia harus hadapi? Selalu mengira-ngira penderitaan apalagi yang rakyat perlu alami? Seakan-akan belum cukup hidup pas-pas-an, malah muncul TAPERA.

 

Sebagai gen millennial, pembahasan soal pasangan hidup, gaji 2 digit yang masih sulit dicapai, kebutuhan keluarga yang perlu dibantu, tentu saja ‘rumah’ adalah salah satu topik paling panas dan membara. Hampir setiap orang (setidaknya yang aku kenal) mengeluhkan soal tempat tinggal yang terasa makin mustahil untuk dimiliki.

 

Proyeksi keuangan kalau nggak ada uangnya sama aja dengan…mimpi.

 

Orang biasa duitnya sedikit. Mimpinya aja tahu diri.

 

Aku secara pribadi paling suka 2 quotes di atas. Sebagai anak perempuan pertama dengan kemampuan yang biasa saja, latar belakang pendidikan yang juga biasa saja, kemudian kerja dengan karir yang biasa saja juga, banyak mimpi-mimpi yang harus berhenti bahkan meski dalam khayalan. Pesimis? Bisa jadi. Realistis? Jelas. Kehidupan banyak mengecewakanku, menghamtam dari segala sisi, sampai aku hati-hati berharap.

 

Setelah menikah, atau setelah umur lewat tiga puluh, setelah bekerja sekian tahun, ternyata belum punya apa-apa, dan masih berjuang untuk meraih segala yang realistis, adalah hal yang wajar.

 

Bekerja bagai kuda di Jakarta buat beli rumah sekotak. Iya, se’kotak’.

 

Di tengah ramainya penderitaan kami (pekerja biasa-biasa saja yang hidup untuk kebutuhan dan sedikit kesenangan), beberapa orang menyuarakannya dengan hal-hal luar biasa; thread twitter pada umumnya, tapi lebih eksklusif ada yang sampai menulis novel hingga difilmkan. Yap betul! Home Sweet Loan!

 

Berapa banyak sih orang yang bisa beli rumah lunas? Kecuali orang kaya banget, atau orang biasa-biasa aja tapi rumahnya di ujung berung, yang kalau berangkat kerja dari sana mungkin baru setengah perjalanan ingin pindah tempat kerja.

 

Aku rajin mengecek harga semua asset…yang tidak mampu kubeli.

 

“Kan kalau hemat setiap hari, lama-lama yang lain bisa kebeli.” Optimismeku belum padam meski sudah bertahun-tahun tidak kebeli apa-apa.

 

“Gue capek, kayak susah banget keluar dari lingkaran ini, hanya untuk punya tempat sendiri, untuk punya apa yang gue mau jalanin. Gue pikir pas gue kerja, punya uang sendiri, hidup akan jadi lebih baik. Nggak tahunya karier gue gitu-gitu aja. Semakin nabung ko semakin susah ya?” GOD THIS IS SO ME!

 

Novel ini bercerita tentang Kaluna 32 tahun, memiliki 2 kakak yang sudah menikah dan mereka masing-masing punya seorang anak. Kaluna, Bapak, Ibu, 2 kakaknya Kaluna, 2 kakak iparnya Kaluna, dan 2 keponakannya Kaluna tinggal dalam satu rumah. Masalah dimulai dari 2 kelurga kakaknya yang hidup seenaknya, jarang beberes, dan sering menggusur hak-hak Kaluna di rumah. Kemudian masalah membesar karena sang Ibu mulai memihak, dan terus-menerus memaksa Kaluna untuk mengalah atas banyak hal; tenaganya, kerja kerasnya, uangnya, bahkan kamar dan lemarinya.

 

Mereka yang sudah berkeluarga selalu menjadi prioritas karena dianggap memiliki masalah yang lebih rumit, lebih butuh dukungan. Urusan berkeluarga barangkali dianggap lebih ruwet dibandingan urusan devisa negara. Pokoknya jika ada anggota keluargamu -yang sudah menikah- mendapat masalah, mereka wajib dibantu. Sementara anggota keluarga yang lain otomatis ikut tergiring agar masalah mereka yang sudah menikah ini teratasi, terlepas dari kemungkinan bahwa sumber masalahnya adalah keputusan keliru si pasangan atau karena mereka gagal mengukur kemampuan diri sendiri.

 

Saat membaca kalimat itu, aku mulai mengingat-ingat kembali bagaimana keluargaku hidup selama ini. Aku anak pertama, jadi tentu aku tidak tahu bagaimana perasaan Kaluna yang harus hidup dengan keluarga kakak-kakaknya. Tapi kutelaah, memang ada beberapa keluargaku yang lain yang akan sangat memahami Kaluna. Aku juga kenal beberapa teman yang mampu duduk berjam-jam untuk adu nasib dengan Kaluna.

 

Sorry, maaf yang tak terhingga, tapi tidak ada kelakuan yang diubah. Jujur aku takut melihat kehidupan pernikahan yang nyata begini. Bertahun-tahun kami serumah, mereka tidak pernah berubah menjadi protagonis. Kesalahan yang selalu diulang. Kata maaf hanya menjadi kata hiasan wajib yang tak lagi memiliki arti.

 

Baca novel ini terasa ringan, tapi pahit di beberapa sisi. Pertama, fakta bahwa ‘rumah’ terasa semakin jauh dimiliki. Tidak mustahil, tapi ‘jauh’. Dan aku tidak tahu seberapa ‘jauh’ jarak yang aku perlukan itu. Kedua, banyak keluarga di luar sana yang chaos. Beberapa kali rasanya ingin ikut andil dalam hidup Kaluna sang pemeran utama di novel ini untuk memaki keluarganya. Karakter Ibu Kaluna yang super menyebalkan dari bahasanya, tingkah lakunya yang playing victim karena berusaha ‘menyayangi’ semua orang, serta semua pengorbanan yang seakan-akan dia lakukan demi kebahagiaan keluarganya. P dahal itu semua hanya keegoisan dirinya sendiri yang merasa ‘IBU’; maka semua harus patuh, sebab petuah terbaik adalah pola pikirnya yang bisa jadi sudah ketinggalan zaman dan tidak lagi relavan.

 

Ibu selalu begini. Bagi Ibu, sesalah apapun anaknya, anak tidak akan pernah salah. Sesedikit apapun tenaga Ibu, di kepala Ibu hanya ingin membantu sebanyak-banyaknya urusan anak. Kadang aku berpikir Ibu perlu ke psikolog, sebagaimana isu mental health yang hilir mudik dibicarakan di Twitter. Apakah Ibu memiliki kompleksitas ingin selalu dianggap penting oleh anaknya? Sehingga ketimbang mendidik anaknya untuk bertanggung jawab, Ibu lebih senang sebagai tempat bergantung. Dan membuat Ibu sadar itu adalah pekerjaan paling berat. Bayangkan, bagaimana caranya menyadarkan orang yang sudah berumur 61 tahun? Mustahil. Paling cuma banyak-banyak berdoa, semoga suatu saat Ibu mau sadar dan jujur pada diri sendiri.

 

Aku adalah salah satu anak, dari setiap anak yang ada di Indonesia, yang akan setuju dengan kalimat di atas. Bukan. Bukan karena ibuku setega ibu Kaluna, tapi lebih karena aku tahu ibuku juga perlu hidup untuk dirinya sendiri. Aku juga tahu banyak ibu di luar sana yang lebih banyak stresnya daripada bahagianya. Karena itulah aku pikir, mungkin memang setiap ibu perlu bimbingan konseling secara rutin.

 

Saat dewasa, kita sering merasa sendiri dan kesepian. Kita sulit menghubungi teman sekadar mengeluh tentang hari ini. Bahkan saat kita sudah punya pasangan, kadang kita lebih sering mengalah dan memendam agar tidak memberatkan pasangan sendiri. Kalau hanya dengan tumbuh dan berkembang bisa membuat dunia semakin sempit, aku bisa bayangkan bagaimana kecilnya dunia Ibu. Kemana ibu bisa cerita? Emosi-emosinya mungkin hanya sampai pada tumpukan cucian piring yang harus ia cuci. Sedihnya mungkin hanya bisa ikut mengalir sembari sikat WC. Mungkin masih beruntung ibu generasi sekarang yang punya second account untuk mengeluhkan hidupnya. Aku harap semua ibu bisa selalu didengar. Dan aku, juga berharap, semua ibu mau mendengarkan.

 

Aku menunggu hari ketika jawaban Ibu akan berbeda.

 

Hampir semua pembahasan di novel ini bisa dirasakan pembacanya. Selain rumah, dan keluarga, apalagi masalah hidup? Pertemanan, jodoh, dan mimpi-mimpi yang gagal terwujud? Novel ini juga bahas.

 

Jodoh itu perkara memilih, menerima apa adanya, menerima seada-adanya, atau sama-sama berusaha.

 

Kalau perempuan belum nemu jodoh, rata-rata mereka memperbaiki dan mempercantik diri. Kalau laki-laki belum nemu jodoh, solusinya cari calon istri yang sabar.

 

“Lo cari istri yang sabar. Emangnya lo udah niat jadi suami yang resek? Lo mau ngapain? Lo emang kenapa, mesti butuh istri yang sabar? Kalau di Barat tuh cari istri yang bisa komunikasi, tahu maunya apa, punya ambisi. Mana ada bule cari istri sabar? Laki-laki Indonesia doang yang nyari istri sabar. Mau ngapain sih lo?”

 

Aku sangat menikmati membaca novel ini. Selain sangat ramah di kehidupan sehari-hari, aku merasa ‘segar’ setelah tahu banyak yang menderita selain diriku sendiri HAHAHA. Kadang berbagi nasib memang satu-satunya jalan untuk menertawai kehidupan.

 

Aku bingung bagaimana harus menutup tulisan ini. Aku tidak dalam kondisi yang mampu menyemangati orang lain. Aku juga belum punya rumah. Karirku juga tidak meningkat. Aku juga tidak punya motivasi untuk menambah pengetahuan dan kemampuan diri. Tapi satu hal, aku baik-baik saja. Dengan semua hal yang belum mampu aku miliki diusiaku sekarang, aku baik-baik saja. Jadi aku harap, semua orang juga bisa baik-baik saja. Aku harap kita semua tidak perlu terlalu bersemangat, tapi juga jangan menyerah. Aku harap kita selalu bisa menjalani hari-hari biasa dengan perasaan luar biasa.


Categories: , ,

0 komentar:

Posting Komentar