Beberapa hari ini hidup -entah kenapa- berasa penuh banget; fufufafa,
kenaikan harga dari hal kecil (momogi makin kecil) sampai hal besar (premium
dihapus), KKN dimana-mana, e-materai CPNS, dan banyak lagi. Tiap buka HP sampai
bingung kira-kira masalah apalagi yang Indonesia harus hadapi? Selalu
mengira-ngira penderitaan apalagi yang rakyat perlu alami? Seakan-akan belum
cukup hidup pas-pas-an, malah muncul TAPERA.
Sebagai gen millennial, pembahasan soal pasangan hidup, gaji 2 digit
yang masih sulit dicapai, kebutuhan keluarga yang perlu dibantu, tentu saja
‘rumah’ adalah salah satu topik paling panas dan membara. Hampir setiap orang
(setidaknya yang aku kenal) mengeluhkan soal tempat tinggal yang terasa makin
mustahil untuk dimiliki.
Proyeksi keuangan kalau nggak ada uangnya sama aja dengan…mimpi.
Orang biasa duitnya sedikit. Mimpinya aja tahu diri.
Aku secara pribadi paling suka 2 quotes di atas. Sebagai anak perempuan
pertama dengan kemampuan yang biasa saja, latar belakang pendidikan yang juga
biasa saja, kemudian kerja dengan karir yang biasa saja juga, banyak
mimpi-mimpi yang harus berhenti bahkan meski dalam khayalan. Pesimis? Bisa
jadi. Realistis? Jelas. Kehidupan banyak mengecewakanku, menghamtam dari segala
sisi, sampai aku hati-hati berharap.
Setelah menikah, atau setelah umur lewat tiga puluh, setelah bekerja
sekian tahun, ternyata belum punya apa-apa, dan masih berjuang untuk meraih
segala yang realistis, adalah hal yang wajar.
Bekerja bagai kuda di Jakarta buat beli rumah sekotak. Iya, se’kotak’.
Di tengah ramainya penderitaan kami (pekerja biasa-biasa saja yang hidup
untuk kebutuhan dan sedikit kesenangan), beberapa orang menyuarakannya dengan
hal-hal luar biasa; thread twitter pada umumnya, tapi lebih eksklusif ada yang
sampai menulis novel hingga difilmkan. Yap betul! Home Sweet Loan!
Berapa banyak sih orang yang bisa beli rumah lunas? Kecuali orang kaya
banget, atau orang biasa-biasa aja tapi rumahnya di ujung berung, yang kalau
berangkat kerja dari sana mungkin baru setengah perjalanan ingin pindah tempat
kerja.
Aku rajin mengecek harga semua asset…yang tidak mampu kubeli.
“Kan kalau hemat setiap hari, lama-lama yang lain bisa kebeli.”
Optimismeku belum padam meski sudah bertahun-tahun tidak kebeli apa-apa.
“Gue capek, kayak susah banget keluar dari lingkaran ini, hanya untuk
punya tempat sendiri, untuk punya apa yang gue mau jalanin. Gue pikir pas gue
kerja, punya uang sendiri, hidup akan jadi lebih baik. Nggak tahunya karier gue
gitu-gitu aja. Semakin nabung ko semakin susah ya?” GOD THIS IS SO ME!
Novel ini bercerita tentang Kaluna 32 tahun, memiliki 2 kakak yang sudah
menikah dan mereka masing-masing punya seorang anak. Kaluna, Bapak, Ibu, 2
kakaknya Kaluna, 2 kakak iparnya Kaluna, dan 2 keponakannya Kaluna tinggal
dalam satu rumah. Masalah dimulai dari 2 kelurga kakaknya yang hidup seenaknya,
jarang beberes, dan sering menggusur hak-hak Kaluna di rumah. Kemudian masalah
membesar karena sang Ibu mulai memihak, dan terus-menerus memaksa Kaluna untuk
mengalah atas banyak hal; tenaganya, kerja kerasnya, uangnya, bahkan kamar dan
lemarinya.
Mereka yang sudah berkeluarga selalu menjadi prioritas karena dianggap
memiliki masalah yang lebih rumit, lebih butuh dukungan. Urusan berkeluarga
barangkali dianggap lebih ruwet dibandingan urusan devisa negara. Pokoknya jika
ada anggota keluargamu -yang sudah menikah- mendapat masalah, mereka wajib
dibantu. Sementara anggota keluarga yang lain otomatis ikut tergiring agar
masalah mereka yang sudah menikah ini teratasi, terlepas dari kemungkinan bahwa
sumber masalahnya adalah keputusan keliru si pasangan atau karena mereka gagal
mengukur kemampuan diri sendiri.
Saat membaca kalimat itu, aku mulai mengingat-ingat kembali bagaimana keluargaku
hidup selama ini. Aku anak pertama, jadi tentu aku tidak tahu bagaimana
perasaan Kaluna yang harus hidup dengan keluarga kakak-kakaknya. Tapi kutelaah,
memang ada beberapa keluargaku yang lain yang akan sangat memahami Kaluna. Aku juga
kenal beberapa teman yang mampu duduk berjam-jam untuk adu nasib dengan Kaluna.
Sorry, maaf yang tak terhingga, tapi tidak ada kelakuan yang diubah.
Jujur aku takut melihat kehidupan pernikahan yang nyata begini. Bertahun-tahun
kami serumah, mereka tidak pernah berubah menjadi protagonis. Kesalahan yang
selalu diulang. Kata maaf hanya menjadi kata hiasan wajib yang tak lagi
memiliki arti.
Baca novel ini terasa ringan, tapi pahit di beberapa sisi. Pertama,
fakta bahwa ‘rumah’ terasa semakin jauh dimiliki. Tidak mustahil, tapi ‘jauh’.
Dan aku tidak tahu seberapa ‘jauh’ jarak yang aku perlukan itu. Kedua, banyak
keluarga di luar sana yang chaos. Beberapa kali rasanya ingin ikut andil
dalam hidup Kaluna sang pemeran utama di novel ini untuk memaki keluarganya.
Karakter Ibu Kaluna yang super menyebalkan dari bahasanya, tingkah lakunya yang
playing victim karena berusaha ‘menyayangi’ semua orang, serta semua
pengorbanan yang seakan-akan dia lakukan demi kebahagiaan keluarganya. P dahal
itu semua hanya keegoisan dirinya sendiri yang merasa ‘IBU’; maka semua harus
patuh, sebab petuah terbaik adalah pola pikirnya yang bisa jadi sudah
ketinggalan zaman dan tidak lagi relavan.
Ibu selalu begini. Bagi Ibu, sesalah apapun anaknya, anak tidak akan
pernah salah. Sesedikit apapun tenaga Ibu, di kepala Ibu hanya ingin membantu
sebanyak-banyaknya urusan anak. Kadang aku berpikir Ibu perlu ke psikolog,
sebagaimana isu mental health yang hilir mudik dibicarakan di Twitter. Apakah
Ibu memiliki kompleksitas ingin selalu dianggap penting oleh anaknya? Sehingga
ketimbang mendidik anaknya untuk bertanggung jawab, Ibu lebih senang sebagai
tempat bergantung. Dan membuat Ibu sadar itu adalah pekerjaan paling berat.
Bayangkan, bagaimana caranya menyadarkan orang yang sudah berumur 61 tahun?
Mustahil. Paling cuma banyak-banyak berdoa, semoga suatu saat Ibu mau sadar dan
jujur pada diri sendiri.
Aku adalah salah satu anak, dari setiap anak yang ada di Indonesia, yang
akan setuju dengan kalimat di atas. Bukan. Bukan karena ibuku setega ibu Kaluna,
tapi lebih karena aku tahu ibuku juga perlu hidup untuk dirinya sendiri. Aku juga
tahu banyak ibu di luar sana yang lebih banyak stresnya daripada bahagianya. Karena
itulah aku pikir, mungkin memang setiap ibu perlu bimbingan konseling secara
rutin.
Saat dewasa, kita sering merasa sendiri dan kesepian. Kita sulit
menghubungi teman sekadar mengeluh tentang hari ini. Bahkan saat kita sudah
punya pasangan, kadang kita lebih sering mengalah dan memendam agar tidak
memberatkan pasangan sendiri. Kalau hanya dengan tumbuh dan berkembang bisa
membuat dunia semakin sempit, aku bisa bayangkan bagaimana kecilnya dunia Ibu. Kemana
ibu bisa cerita? Emosi-emosinya mungkin hanya sampai pada tumpukan cucian
piring yang harus ia cuci. Sedihnya mungkin hanya bisa ikut mengalir sembari
sikat WC. Mungkin masih beruntung ibu generasi sekarang yang punya second
account untuk mengeluhkan hidupnya. Aku harap semua ibu bisa selalu didengar. Dan
aku, juga berharap, semua ibu mau mendengarkan.
Aku menunggu hari ketika jawaban Ibu akan berbeda.
Hampir semua pembahasan di novel ini bisa dirasakan pembacanya. Selain
rumah, dan keluarga, apalagi masalah hidup? Pertemanan, jodoh, dan mimpi-mimpi
yang gagal terwujud? Novel ini juga bahas.
Jodoh itu perkara memilih, menerima apa adanya, menerima seada-adanya,
atau sama-sama berusaha.
Kalau perempuan belum nemu jodoh, rata-rata mereka memperbaiki dan
mempercantik diri. Kalau laki-laki belum nemu jodoh, solusinya cari calon istri
yang sabar.
“Lo cari istri yang sabar. Emangnya lo udah niat jadi suami yang resek?
Lo mau ngapain? Lo emang kenapa, mesti butuh istri yang sabar? Kalau di Barat
tuh cari istri yang bisa komunikasi, tahu maunya apa, punya ambisi. Mana ada
bule cari istri sabar? Laki-laki Indonesia doang yang nyari istri sabar. Mau
ngapain sih lo?”
Aku sangat menikmati membaca novel ini. Selain sangat ramah di kehidupan
sehari-hari, aku merasa ‘segar’ setelah tahu banyak yang menderita selain
diriku sendiri HAHAHA. Kadang berbagi nasib memang satu-satunya jalan untuk
menertawai kehidupan.
Aku bingung bagaimana harus menutup tulisan ini. Aku tidak dalam kondisi
yang mampu menyemangati orang lain. Aku juga belum punya rumah. Karirku juga
tidak meningkat. Aku juga tidak punya motivasi untuk menambah pengetahuan dan
kemampuan diri. Tapi satu hal, aku baik-baik saja. Dengan semua hal yang belum mampu
aku miliki diusiaku sekarang, aku baik-baik saja. Jadi aku harap, semua orang juga
bisa baik-baik saja. Aku harap kita semua tidak perlu terlalu bersemangat, tapi
juga jangan menyerah. Aku harap kita selalu bisa menjalani hari-hari biasa
dengan perasaan luar biasa.
0 komentar:
Posting Komentar