Senin, 25 Oktober 2021

DISNEY SEA


Aku pasti sesumbar saat diunggahanku sebelumnya mengatakan aku akan kembali dengan petualangan Disney Sea. Sebelum menulis ini aku mengunjungi blog-ku sendiri dan kulihat tanggal unggahan terakhirku adalah 27 Mei. padahal aku ingat hari ini sudah bulan Oktober, tapi tetap tak tahu diri memastikan dengan berlagak melihat kalender. Sudah tanggal 22, maka 5 hari lagi tepat 5 bulan aku membatu tanpa menulis.


Bila dikilas balik apa-apa saja yang kulakukan selama 5 bulan ke belakang, tentu saja tak penting-penting amat. Kutengok bagaimanapun, kupikir, dan kuingat-ingat keras-keras, memang aku, tak melakukan hal-hal penting nan krusial yang mampu dijadikan alasan.


Kerjaku hanya kerja. Memulai hari senin dengan bekerja, lalu bekerja sepanjang senin-jumat. Mengakhiri sore dengan pulang kerja melewati Jababeka, EJIP, lalu masuk ke Kawasan MM2100 hingga sampai di rumahku setelah menghabiskan satu jam perjalanan. Jika motorku punya kekuatan untuk mengutarakan pendapatnya, ia pasti muak dengan jalan-jalan yang kulewati karena menoton sekali. Kategorinya hanya itu-itu saja; jalan bolong, jalan macet, jalan bolong di tengah macet. Jika penggambarannya dapat diringkas hanya dengan satu kata maka jawabannya adalah; Cikarang.


Apakah pekerjaanku sibuk? Iya, tapi senggangku sebenarnya cukup untuk menulis. Lalu kenapa tidak menulis? Karena aku sibuk maraton nonton film, drakor, dan variety shows. Kurasa Rakib dan Atid hanya perlu menggunakan fitur copy and paste untuk kegiatan harianku. Sungguh aku, jauh dari hamba yang bermanfaat; baik waktu, kegiatan, dan amalannya.


Sudah paragraf kelima dan aku belum menemukan kalimat pembuka untuk menceritakan pengalaman Disney Sea-ku. Bagaimana harus kumulai? Baiklah akan kucoba ingat baik-baik dan satu persatu secara urut.


30 November 2020, jam 07.31 waktu Tokyo, aku sudah berdiri di depan sebuah kereta dengan design Mickey Mouse. Sepanjang hidupku, baru kali itu aku melihat kereta yang digunakan hanya untuk satu tujuan; ke Disney. Jalurnya hanya untuk pergi ke Disney, maka designnya sangat amat Disney.

 

Sc: google

Sc: google

Tak perlu menggambarkan perasaan anak kecil, pun aku yang berumur 24 tahun girang bukan main saat pintu kereta terbuka. Kursinya, jendelanya, pernak-perniknya, semua Mickey Mouse dan semua-semua-semua-nya membuatku tak usai-usai terkagum-kagum. Mainanku, bonekaku, tontonanku, seluruh masa kecilku seperti dibayar lunas oleh Disney. Meski ingin sekali kuteriakkan pada Disney untuk sekalian melunasi mimpi-mimpiku.


Mana princess’ life-ku?

Mana sepatu kaca dan dress-ku yang berbinar-binar?

Kenapa yang kukenakan lebih sering sepatu kets dan sandal jepit?

Jawab! 


Lalu hening. Telingaku menolak semua suara dari luar. Hingga laju kereta berhenti, dan pintunya terbuka. Aku berjalan turun, tetap terkagum-kagum akan fakta bahwa aku bisa menginjakan kaki di Disney. Mataku sibuk melihat-lihat, meski buram tanpa bantuan kaca mata, ia tetap asik menyusuri tiap sudut; belum percaya akan pemandangan yang ada didepannya.


Wahana pertama yang kunaiki adalah Tower of Terror; konsepnya mirip seperti Histeria di Dufan. Bedanya? Histeria lebih menakutkan haha. Kalau Tower of Terror, kita diangkat semacam kursi seperti Histeria namun di dalam sebuah ‘lift’. Jadi selama naik ke atas, semuanya gelap gulita sementara Histeria kita bisa sambil melihat pemandangan yang terasa semakin mengecil dan menyeramkan.

 


Setelah gelap hingga sampai ke atas ‘tower’, maka cahaya baru akan nampak dan memperlihatkan pemadangan dari atas. Lalu dihempaskan hingga bokong tak menyentuh kursi dan jantung serasa jatuh dari rusuk. Namun sensasi Histeria jauh lebih mengerikan, jadi kalau kalian sudah pernah naik Histeria, ini hanya sebuah ‘kejutan’ kecil buat klitik jantung.


Wahana kedua; Journey to the Center of the Earth. Ini seru guys macam cari harta karun jadi kita naik kereta bawah tanah gitu. Wahana ketiga; Toy Story Mania. MY FAVORITEEEEEEEEEEEEE. Selain bisa naik wahana ‘inti’ dari Toy Story, di sini juga banyak ‘side wahana’nya semacam wahana-wahana tambahan nan receh namun menyenangkan. Hal paling epic yang aku temukan di sini adalah parkiran stoler.

Seperti ini parkirannya

Mohon maaf sebelumnya aku lupa judul wahana keempat, nyari-nyari di google juga gak nemu karena gak pinter ajasih nyarinya ehehe. Pokoknya ini salah satu wahana magic dimana aku sadar bahwa Jepang adalah negara maju. YAELA.


Jadi kita masuk ke dalam kapal laut gitu, nah di sana kita akan ketemu dan ngobrol, bayangin NGOBROL sama Crush (karakter kura-kura di film Nemo). Serius ini NGOBROL LIVE. Maksudnya kan dia tuh cuma ada di layar segede bioskop ya, nah itu kura-kura tuh NGOBROL jir sama kita. Entahlah gimana jelasinnya pokoknya beneran salah satu teknologi Jepang yang bikin nganga.


Nah pindah ke wahana kelima, aku ke Nemo-nya ehehe. Nama wahananya adalah Nemo and Friends Sea Rider. Ini agak bocah gitu wahananya cocok sama aku yang sudah berumur. Lanjut ke wahana keenam dan ini agak menantang; Indiana Jones Adventure. Seru nih kek wahana orang dewasa pada umumnya.


Lalu karena kedewasaan yang baru saja aku lewati, aku memutuskan naik Scuttle’s Scooters beuh gila gak ada serem-seremnya wkwkwkwk ini bahkan wahana buat bocil tapi orang dewasa tetap boleh naik. Semacam naik alap-alap pasar malem gitu cuma bedanya ini di Disney Sea.

Semacam lelah sama naik-naikan, aku memutuskan untuk ke The Magic Lamp Theater. Ini seru dan banyak trik-trik sulap gitu. Semacam musical cuma ya dongeng aja gitulah. Ini antrinya agak lama btw kaya satu jam gitu tapi worth to watch. Kemudian aku naik Electric Railway gitu. Ini kaya bukan wahana sih, ini tuh semacam kereta yang bisa kita naikin ke wahana lain yang jaraknya agak jauh. Kenapa? Karena Disney luas. Seluas kasih ibu.

Wahana selajutnya adalah Soaring Fantastic Night. Pas banget inituh kondisinya sudah malam. Dan antriannya panjaaaaaaang banget-bangetan sementara ini adalah antrian free pass. BAYANGIN. Antrian free pass tapi yang ngantri beneran panjang banget kaya ngelist dosa-dosa di dunia. Otomatis kalau gak punya antrian free pass, akan dua kali lipat nunggunya untuk naik wahana ini. Bukannya nyerah malah makin penasaran se-worth to try apa wahana ini.

Setelah lama mengantri, ternyata ini adalah wahana semacam simulasi naik helicopter gitu. Terinspirasi dari perempuan pertama yang mengendarai pesawat. Bentar ya google dulu namanya siapa.


Amelia Earhart namanya guys. Kalian yang nonton Night of  the Museum pasti kenal deh.


Jadi kita naik ke kursi gitu terus ‘terbang’ didepannya disetelin pemandangan dari atas gitu jadi kita kaya terbang beneran. Serius ini rasanya kaya terbang beneran karena ada angin-anginnya gitu dan bahkan ‘harum’ dari tiap wilayah yang kita lewatin tuh berubah. Lewat gunung ya wanginya wangi gunung. Lewat sawah wangi sawah. Serius guys ini gak dilebih-lebihin.


Wahana ke…sebelas. Gila gak sih? Aku ke Disney Sea dan dalam sehari bisa naik wahana untuk kesebelas kalinya!! Bahkan total wahana yang aku naiki itu 12! Wow! Padahal wajarnya ke Disney Sea tuh kalo ada yang berhasil 5 wahana aja udah keren banget karena antriannya yang gak ngotak. Lalu kenapa aku bisa berhasil hingga 12? Simple. Thanks to Corona.


Yes. Jadi aku ke Disney Sea disaat corona lagi ‘agak’ menakutkan untuk warga Jepang. Pengunjung yang datang ke Disney Sea tuh merosot abis karena warga Jepang ketakutan untuk keluar rumah. Apakah aku tidak takut? Apakah karena aku orang asing jadi corona Jepang tak akan masuk ke tubuhku? Tentu saja tidak. Jawabannya sesederhana aku sudah beli tiketnya dan sebentar lagi aku akan pulang ke Indonesia.


Tapi aman ko. Semua protokol kesehatan dijalankan dan social distanding saat antri juga berjalan. Ada bapak-bapak dan ibu-ibu yang selalu semprot-semprot alkohol di pegangan tangga dll. Pokoknya standar Jepang lah beda sama Wakanda.


Oke tadi sampai mana?


Oh wahana ke sebelas; Sindbad’s Storybook Voyage. Wahana ini sangat direkomendasikan sebagai wahana penutup pas udah mau pulang dan udah lelah seharian keliling Disney Sea. Aku sangat bersyukur bisa naik ini sebelum pulang karena awalnya gak ada niatan naik ini sampai ada mbak-mbak Jepang dengan pakaian kearab-araban manggil-manggilin orang-orang untuk ‘naik’ wahana ini karena sepi tanpa antrian.


Konsep wahana ini mirip sama Istana Boneka; naik perahu berjalan dimana penuh dengan boneka. Bedanya? Keseluruhan wahana ini menceritakan kisah Sindbad. Jadi semacam dibacakan buku cerita di atas perahu. Perahu ini jalannya lambat tapi gak lambat-lambat banget. HALAH. Sangat cocok untuk beristirahat tapi disuguhin tontonan menarik. 


Hingga tibalah aku di wahana keduabelas; lupa namanya ehehe. Simple ko ini cuma wahana kuda yang jalan di lingkaran itu loh. Kuda Putar gak sih namanya kalau di Indonesia tuh? Nah iya kaya gitu. Sehabis itu…pulang deh. Pulang dengan rasa puas dan bangga. Engga deng. Tapi...


Dengan rasa sombong membuncah karena bisa keliling Disney Sea seharian dan ngerasain 12 wahana sekaligus. Sebenarnya niatku menulis tentang Disney Sea tidak hanya ingin menggambarkan wahananya namun saat ini aku hanya sempat menulis demikian jadi nanti kalau sempat, aku akan menulis versi lain. Entah kapan.


Kamis, 27 Mei 2021

TOKYO TRIP (MEET N GREAT W/ BROWN, CAMII, N TTEOKBOKKI)

Setelah pulang ke Indonesia, aku banyak flashback. Lebih-lebih karena Jepang terasa benar-benar jauh; mulai dari jarak, hingga kesempatan untuk bisa ke sana lagi. Satu tahun di Jepang bagiku seperti mimpi panjang, dimana aku tidak ingin bangun lagi dan menjalani kehidupan seperti biasa. Jepang bagiku adalah kabur; lari terlama dengan jarak terjauh yang pernah kutempuh. Jepang adalah tempat dimana hal-hal mustahil yang tak pernah kubayangkan mampu hadir dan mewarnai hidupku.

Sepanjang hidupku, aku tidak pernah berani untuk pergi jalan-jalan sendiri. Namun, jika sudah di Jepang dan tidak jalan-jalan tentu akan menjadikan waktuku sia-sia selama di Jepang. Hampir seperti kekuatan magis, aku mampu mengumpulkan niat untuk jalan-jalan berkeliling kotanya disaat aku adalah manusia yang lebih suka rebahan dibanding apapun.

Hampir setiap akhir pekan, aku tidak pernah ada di rumah. Aku selalu punya tempat untuk dituju, meski harus melawan dingin, meski itu hanya sebuah taman yang penuh anak-anak bermain. Ternyata punya kegiatan di hari libur bukan hal yang buruk. Lalu aku mulai lupa dengan banyaknya list tontonan variety shows-ku, namun ternyata aku lebih bahagia. Ternyata aku perlu bernapas dengan udara yang lebih segar, sementara udara kamar sudah terlalu apek diisi penat selama 5 hari penuh dengan bekerja.

Diantara bulan-bulan penuh jalan-jalan yang kulewati, Oktober hingga Desember mungkin adalah puncaknya. Jalan-jalannya jauh, perlu banyak waktu dan pengorbanan. Pengorbanan utamanya adalah menyerah pada fashion karena dinginnya suhu. Tubuh mungilku padahal telah tenggelam dalam padding namun tetap menggigil didalamnya. Kutengok kanan dan kiri, manusia-manusia lain tetap terlihat cantik dengan rok mini. Heran kutatap mereka tanpa ingin mereka salah paham, karena aku tak lebih dari seonggok kepompong yang berjalan. Bagaimana bisa mereka melangkah dengan paha cantik tanpa ditutup kain? Sementara tak se-senti-pun kulitku nampak namun beku bahkan ditiap-tiap ujung kukunya.

Lagi-lagi, seperti mantra yang diucap sang penyihir, aku tetap memilih jalan-jalan. Meski danbou (AC dengan udara panas) terasa sulit ditinggalkan dengan cuaca yang sungguh tak mampu kumengerti mengapa dinginnya mampu menusuk tulang. Meski futon (kasur tanpa dipan) terasa semakin empuk dan nyaman untuk ditiduri di tengah cuaca yang sepertinya selalu memusuhiku dengan dinginnya angin bertiup. Namun lebih dari ingin membuatku nyaman, kurasa futon-ku lebih muak melihatku berbaring guling-gulingan diatasnya tanpa semangat hidup.

Salah satu jalan-jalanku yang paling berkesan adalah petualangan Tokyo. Selama setahun di Jepang, aku (lumayan) sering ke Tokyo meski hanya sekadar numpang lewat di stasiunnya. Namun di beberapa kesempatan, Tokyo banyak menjadi inti dari petualanganku. Tokyo menjadi tujuan utama untuk kujelajahi.

29 November 2020, kedua kalinya, aku sampai di Line Friends Flagship Harajuku Store. Tempat dimana aku paham mengapa Harajuku terkenal atas kata ‘fashionista’nya. Tempat dimana Shibuya kukenang dengan megah bangunannya, tinggi gedungnya, dan canggih teknologinya. Tempat dimana BTS punya surga belanjanya sendiri; goods dan semua tentang BTS. Di lantai satu, beruang coklat besar yang menjadi icon toko itu kini berubah penampilan. Karena natal sudah dekat, pun dia ikut-ikutan pakai syal warna merah dengan dekorasi hijau-hijau. Aku banyak belanja untuk keperluan oleh-oleh. Mundar-mandir ke sana-sini memilah-milih, sungguh kegiatan yang menyenangkan bisa berbelanja puas-puas meski tak satu barangpun kubeli untuk diri sendiri.

Lalu aku sadar, ini kali terakhirku berkunjung karena sebentar lagi akan pulang, aku berfoto sekaligus pamit dan minta didoakan pada beruang agar perjalanan pesawatku lancar dan chapter hidupku selanjutnya bisa terus menyenangkan. Aku juga berharap bisa bertemu sang beruang lagi dengan penampilan lainnya.

Hari itu, meski dingin, aku banyak berjalan-jalan. Dari yang awal niatnya berjalan-jalan sambil keliling, hingga kebanyakan jalan tak tahu arah karena nyasar. Faktor nyasar ini karena lapar dan bingung mau makan apa, lalu tiba-tiba ingin Ichiran Ramen. Ramen paling enak yang masuk kekategoriku. Mienya tipis-tipis dan lembut, kuahnya kental, di atasnya bertabur bubuk cabe yang pedasnya bisa kita request hingga level 10. Aku biasa makan level 7, dan rasanya pas sekali. Pedas yang tidak terlalu pedas, dan sangat bisa kunikmati. Aku bukan hardcore fan mie kuah, tapi Ichiran membuatku jatuh cinta. Ia adalah pengecualian yang mampu datang dan merusak tatanan seleraku.

Sama seperti toko Ichiran yang pernah kukunjungi, Ichiran kali ini juga dimulai dengan memesan menunya di jidouhangbaiki (vending machine). Fun fact; Ichiran hanya punya satu menu. Benar-benar hanya ramen! Selain itu yang membedakan adalah toppingnya. Gila sih, usaha satu menu ramen bisa selaku ini. Mungkin karena rasanya memang bisa diadu kapan saja. Lalu lanjut masuk ke dalam ruang makannya, dimana itu disekat-sekat untuk satu orang. Mirip seperti ruang belajar... aku sempat terkagum-kagum dengan kran airnya. Sungguh simple dan efisien.

Hal lain yang membuatku kagum adalah cara penyajiannya. Aku belum pernah makan di suatu restonan yang penyajiannya macam Ichiran. Nanti pelayannya akan muncul dari balik tirai, mengantarkan ramen, dan ojigi (membungkuk). Jepang sekali.

Sulit bagiku menjelaskan bagaimana sekat-sekat dan kran air yang kumaksud, jadi aku googling untuk mencari fotonya:


Setelah duduk di bangkunya, aku mengisi kuesioner singkat tentang bagaimana ramenku perlu disajikan. Aku biasa menghilangkan daun bawang, namun meminta lebih banyak bawang putih, selanjutnya yang paling penting adalah tingkat kepedasannya. Kupilih level 7; lucky seven.

Saat pesananku datang, aku hanya mampu menatapnya perlahan-lahan dan mencoba mencerna apa yang terjadi. Dengan amat sangat jelas mataku dapat melihat bahwa yang tersaji di depanku adalah ramen dengan irisan babi di atasnya. Reksa di sampingku juga sama bingungnya, menatapku tanpa suara tapi aku paham kalimatnya; bahwa dia juga kaget atas babi yang dia lihat.

“Makan aja apa ya? Pisahin babinya. Yang penting babinya gak kita makan," saran Reksa.

Aku ragu. Ini bukan perkara misahin daging, tapi sederhananya mulutku tak bisa menelan jika jelas-jelas ada babi dipiringku. Ini salah diagamaku, dan aku punya kesempatan untuk menjauhinya maka, "aku mau protes ke mas-nya. Aku bakal jelasin ke mas-nya kalau tadi di kuisioner aku pilih nashi (without/tanpa) babi," kataku kelewat percaya diri mengingat kemampuan bahasa Jepang-ku yang kurang mumpuni.

Akhirnya ku panggil mas-nya, kukatakan sumimasen, kujelaskan terbata-bata, lalu Reksa ambil alih. Memang kemampuan bahasa Jepangnya jauh di atasku. Dia jelaskan kalau kami minta tukar pesanan tanpa daging babi, lalu masnya double check kuisioner yang sebelumnya kami isi, mas-nya paham lalu meminta maaf dan mengganti pesanan kami dengan ekspresi, "aneh lu anjir dikasih daging gak mau".

Kira-kira pesananku yang datang seperti ini:


Pesanan yang kuharapkan dan akhirnya datang:

Kali ini aku memotretnya sendiri. Bahkan hanya melihat fotonya aku bisa membayangkan rasanya. Aku bisa merasakan kuahnya mengalir pelan-pelan ditenggorokanku, berjalan menyusuri usus, dan mengabarkan kegembiraan pada perutku.

Perut kami sudah kenyang dengan ramen, pun telah hangat karena kuahnya. Kami sudah punya banyak kekuatan untuk kembali berpetualang, dan tujuan selanjutnya adalah Tokyo Camii. Hampir setahun aku di Jepang, baru kali ini aku akan mengunjungi tempat ibadahku sebagai seorang muslim. Memang aku, sungguh jauh dari kata taat.

Sampai di Camii, aku banyak menemukan orang-orang Jepang yang ikut terkagum-kagum atas bangunan megah masjid itu. Bahasa Jepang-ku buruk, namun aku mengerti satu-dua kalimat yang mereka obrolkan. Aku senyum-senyum saat ada yang menjelaskan tentang Islam; agamaku diceritakan dengan indah lewat mulut mereka. Aku sempat foto bagian depannya:

Bangunan masjid-nya kental sekali dengan nuansa Turki. Aku tak banyak tahu soal arsitektur, namun saat aku cek di google, memang nama lengkapnya adalah Tokyo Camii & Turkish Culture Centre. Masuk ke dalam masjidnya, aku disambut museum mini. Didalamnya juga ada semacam mini market yang menjual berbagai makanan halal. Tersedia juga kelengkapan sholat seperti sajadah, mukena, tasbih, dsb. Ada juga perpustakaan didalamnya, namun aku tak sempat memeriksa buku-bukunya karena sebentar lagi adzan ashar dan aku ingin merasakan sholat berjamaah.

Aku sholat dengan mengenakan mukena yang disediakan masjid. Model mukenanya adalah mukena simple yang tinggal masuk (?) wkwk bagaimana harus kujelaskan? Lalu warna mukenanya seragam hitam semua. Saat aku sholat, ada seorang perempuan Jepang berjalan-jalan mengagumi bagian dalam masjid sambil terus mengambil gambar dengan kamera yang ia kalungkan. Hal yang lucu adalah ia hampir menginjak seseorang yang tengah sujud karena terlalu fokus melihat-lihat atap masjid wkwk. Entah apa yang ada dipikirannya saat melihat tulisan Arab yang tidak kalah heboh dengan kanji.




Sesudah sholat, aku lapar lagi. Aku mau menyalahkan udara dingin yang mudah membuatku lapar namun setelah diingat-ingat…memang porsi makanku setara tahanan yang tidak diberi makan seminggu. Dengan berbagai belanjaan di tangan, aku melesat ke kota lain dengan densha (kereta). Aku menuju sebuah kota yang tak pernah membuatku kecewa kapanpun aku datang; Shinookubo.

Shinookubo atau terkenal dengan panggilan “Korean Town” merupakan sebuah negara Korea ‘mini’ yang Jepang sediakan. Isinya tentu penuh dengan boyband dan girlband Korea, makanan Korea, dan yang paling membahagiakan tentu skin care dan make up Korea. Aku tak pandai urusan skin care maupun make up, namun setiap melihat 2 benda itu aku selalu tertarik. Sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan, aku hanya mampu mengagumi orang-orang yang mampu menggunakannya dengan baik.

Sampai Shinookubo, aku (lagi-lagi) membeli oleh-oleh. Kali ini, aku juga membeli liptint untuk diriku sendiri. Tak ketinggalan aku juga membeli tteokbokki dilanggananku (padahal baru beli 2x). Enak. Enak sekali. Sampai saat ini, tteokbokki langgananku adalah tteokbokki terenak yang pernah aku makan.

Selebihnya, aku hanya berjalan-jalan menikmati udara Shinookubo diiringi musik Kpop kemanapun kaki melangkah. Aku masuk dari toko satu ke toko yang lain sekadar melihat-lihat make up. Aku siap untuk petualanganku besok; Disney Sea. Aku usahakan menabung waktu dan meluangkannya untuk menulis. Aku akan kembali dengan nuansa Disney Sea. See ya!

Sabtu, 24 April 2021

RINDU

Sejak pulang ke tanah air, tak banyak yang aku lakukan selain rebahan dan melamar kerja. Yap, hidupku seperti ter-reset dan kembali ke canva; mengikuti zaman dan membuat CV jadi lebih menarik. Alasannya mungkin sederhana, karena kemampuanku tidak menarik:) WKWKWKW. Keterampilanku tidak ada, jadi menyerah dan malah lari ke nilai keindahan. Meski akhirnya, CV-ku hanya menggunakan design rata-rata karena jiwa kreatifku juga hanya rata-rata. Kemampuan canva-ku juga rata-rata. Memang hidupku, hanya manusia rata-rata.

Senin, 01 Februari 2021

KURSI-KURSI

Dulu sekali, saat kegiatanku masih sebatas kursi sekolah dan kursi warnet, aku jarang berkaca diri; tentang sikap, maupun penampilan. Lalu beranjak, saat kursi-kursi lain mulai aku duduki; ekstrakulikuler, les, sosial media, kekoreaan, dan entahlah apa namun ternyata tidak banyak membawa perubahan. Mungkin aku, memang tidak cocok pada bidang mempercantik diri. Meski aku iri, saat mereka sedang membicarakan warna lipstick. Meski hatiku bergetar saat perubahan-perubahan positif mereka tidak mampu aku imbangi.

Pendapatku yang lain, mungkin aku memang tidak cocok dibidang musik dan lagu-lagu. Meski aku penasaran, saat mendengar lagu yang cocok di telingaku namun terlalu malu menanyakan judulnya karena takut dibilang kurang gaul. Meski aku lebih sering merasa tertinggal, saat tiba-tiba musik menyala, lalu mereka dengan kompak menyanyi bersama. Aku juga ingin, namun lagi-lagi, bukannya melangkah maju, aku mundur ke belakang. Menarik diri, dan memilih menjalani hidupku. Hidup yang kurasa terlalu hening, tanpa perubahan berarti, tanpa hiburan yang berarti pula. 

Waktu tetap berlari, tak peduli padaku yang terlalu cepat lelah dan meninggalkanku jauh di belakang. Tiba-tiba, aku dipaksa mencoba kursi-kursi lain. Kursi-kursi yang belum tentu cocok untukku. Kursi-kursi yang takut kucoba namun terlanjur kududuki. Kursi-kursi yang kalau kubilang membawa perubahan, aku juga tidak terlalu yakin; penolakan, kecewa, perjuangan, lelah, penat, tanggung jawab umur 20 tahunan.

Jika waktu-waktuku hidup ditimbang dan diukur, mungkin sebagian besarnya adalah kesendirian. Dimana waktu-waktu sendiri itu lebih banyak membuatku membayangkan skenario-skenario besar namun patah karena usahaku yang minim. Atau merenung membanding-bandingkan diri dengan yang lain. Saat mereka sudah jelas akan selalu lebih dariku; lebih cantik, lebih baik, lebih pintar, lebih ini, dan lebih itu. Bodohnya aku, berkali-kali tak kunjung paham, bahwa hal-hal 'lebih' yang mereka miliki sebenarnya adalah lebih rajin, lebih berusaha, lebih mengeksplorasi diri, lebih belajar, lebih banyak bangkit dibanding menyerah, lebih fokus memperbaiki diri sendiri dibanding mencari pembelaan seperti yang kulakukan.

Kemudian kenyataan mulai menghamtam bertubi-tubi. Kenyataan yang dulu datang perlahan-lahan, kini tak lagi memberiku ampun. Kenyataan datang dan menindasku; teriak-teriak bahwa aku tertinggal dan tak ada banyak waktu tersisa. Meski aku berlari sekuat mungkin, namun jarak yang tercipta sudah kelewat jauh. Meski aku bangkit, namun kesempatan-kesempatan telah runtuh. Terlalu terlambat karena telah kusia-siakan. Lagi, aku mencari pembelaan-pembelaan.

Kini, mungkin aku masih tak banyak berubah. Mungkin aku masih aku yang dulu. Mungkin aku masih aku yang mencari-cari pembelaan. Tapi kursi-kursi lain tetap datang; entah aku siap maupun tidak. Kesempatan-kesempatan selalu ada; entah aku ambil maupun tidak. Entah seberapa takutnya aku, aku akan tetap memilih kursi, aku akan tetap menjalani hidup dari kesempatan-kesempatan yang kupilih. 

Pun hari ini, aku masih duduk di kursi. Ditemani sebotol Teh Pucuk, diiringi lagu-lagu Sheila On 7, jari jemariku lincah mengetik. Hari ini, aku pilih menulis. Membangkitkan hobi yang sudah lama tak kusisihkan waktu untuk mengisi luang. Kesempatan untuk berleha-leha selalu ada, tapi detik ini kupilih untuk menuliskannya satu-persatu; malas-malasanku harus terlihat lebih elegan.

Besok, aku akan memilih kursi lagi. Sama seperti hari ini dan hari-hari lalu, kursiku bisa saja membuatku kecewa. Sama seperti kemarin dan minggu lalu, kesempatan yang aku ambil bisa saja salah. Namun tak apa, masih ada lusa dan minggu depan, dimana kursi-kursi lain bisa aku duduki. Masih ada bulan baru dan tahun lain yang selalu membawa kesempatan untuk aku berubah. Membuatku berkaca dan memperbaiki diri; tentang sikap, maupun penampilan.