Senin, 30 Maret 2020

AYAH

Sc: Google

Segala hal dalam hidup ini terjadi tiga kali, Boi. Pertama lahir, kedua hidup, ketiga mati. Pertama lapar, kedua kenyang, ketiga mati. Pertama jahat, kedua baik, ketiga mati. Pertama benci, kedua cinta, ketiga mati. Jangan lupa mati, Boi.”

29 Maret 2020, 01:07 waktu Hongjo, Saitama. Saat ini, mempertimbangkan waktu yang sedang berjalan, tentu saja bisa ditebak aku sedang rebahan di atas kasur. Ditemani lagu dari Joox yang mengiringiku mengetik. Merdu suara penyanyi kadang terhenti untuk mendengar Tokopedia jual barang, kadang entahlah apa pokoknya harus menunjukkan bahwa aku bukan pengguna premium jadi terimalah nasib yang ada. 

"Cinta adalah kata yang asing. Cinta adalah racun manis penuh tipu muslihat. Cinta adalah burung merpati pada topi pesulap. Cinta adalah tempat yang jauh, sangat jauh, dan urusan konyol orang dewasa".

Aku baru saja selesai membaca novel Ayah karya Andrea Hirata. Alasan mengapa aku bisa melabuhkan senggang pada novel ini karena salah seorang temanku yang tak suka membaca mengatakan bahwa ia berhasil menyelesaikan novel Ayah yang tebalnya tak kurang dari 300 halaman. Saking tak sukanya membaca, ia hanya akan membaca posting blog-ku kalau ada namanya. Maka aku tak mau kalah, jadi meski aku membahasnya, tak akan kutulis namanya pada postingan ini meski hanya panggilannya. Biarlah ia tak perlu tahu ada tulisan ini, tak perlulah ia membacanya.

Aku ingat-ingat bagaimana novel ini sejak dulu punya tempat khusus dihatiku. Sejak dari judul, aku memang punya ekspektasi tinggi terhadap novel ini. Sebab sejak dalam tetralogi Laskar Pelangi hingga Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas, rangkaian kata Andrea Hirata saat mengisahkan seorang "ayah" sungguh fantastis. Tak habis-habis aku dibuatnya kagum. Berderai-derai pengorbanan "ayah" yang Andrea ceritakan, berderai-derai pula terharuku.

Masih kuingat perjuangan Zamzami, ayah Enong pada Padang Bulan. Seorang ayah sederhana yang hidupnya hanya ia dedikasikan pada keluarga. Sempat mengenalnya merupakan salah satu pengalaman yang indah sekaligus mengharukan. Sebab Zamzami diceritakan meninggal, tertimbun timah, terhujam ke dalam tanah galian, ia sudah tak ada. Ia pergi dengan sejuta inspirasi untukku. Kini, aku mengenal sosok ayah baru yang juga menginspirasiku; Sabari.

Sabari, namanya. Dinamai demikian agar ia memiliki sifat sabar seperti namanya. Sabari bin Insyafi, lengkapnya. Sungguh nama memang sebuah doa, kongsi terang-terangan antara Tuhan dan orang tua. Maka tumbuh, besar, dan hiduplah Sabari sesuai dengan namanya.

Ditimpa musibah, ia senyum. Ditolak mentah-mentah, ia mengais-ngais syukur. Dicemooh, ia acuh. Dipandang rendah, ia sadar diri. Memang tak ada bagus-bagusnya ia sebagai manusia kecuali sifat sabarnya. Sifat sabarnya itu yang selalu menyelamatkannya berkali-kali. Membuatnya berusaha dua-tiga-bahkan empat puluh kali lipat dibanding orang lain. Membuat juangnya tak pandang lelah, terus mencoba. Gagal, bangun. Jatuh, berdiri. Tersungkur, merangkak. Tumbang, terseok-terseok bangkit. Begitulah Sabari diceritakan.

Berbeda dengan ayah lain, Sabari menjadi ayah tanpa perlu jadi ayah. Kalau kalian tak paham, pun aku tak paham bagaimana cara menceritakannya. Jadi kusarankan untuk membacanya sendiri. Bacalah, dan terkagum-kagumlah pada tokoh Sabari yang menjadi peran utama pada novel ini.

"Tuhan selalu menghitung, dan suatu ketika, Tuhan akan berhenti menghitung".

Diceritakan Sabari hanya mencintai sekali, pada hanya seorang perempuan, hingga mati menjemputnya. Marlena binti Markoni, perempuan manis berlesung pipit, pemberontak, pecontek kelas kakap, berpendirian batu sekeras karang. Sungguh tidak ada bagus-bagusnya jika kudeskripsikan demikian, namun begitulah adanya. Namun sejelek-jeleknya Lena diceritakan, ia adalah perempuan yang membuatku takjub atas jalan hidupnya. 

"Lena bukanlah tipe lampu hijau, lampu kuning, lampu merah. Dia hanya akan memperingatkan sekali, setelah itu tiada maaf, khatam, tamat, the end, finito, game over". Lena adalah perempuan merdeka yang mampu bertanggungjawab atas pilihan-pilihan yang ia ambil dalam menjalani kehidupan. "Dapat mengambil keputusan sendiri adalah kemerdekaan yang indah" begitulah kuatnya karakter Lena. "Aku tak menyangkal bahwa banyak peristiwa masa lalu yang kusesali sekarang. Karena waktu itu aku muda, bodoh, dan marah. Namun, bukankah kita tidak benar-benar hidup jika kita tidak hidup tanpa penyesalan?".

Prinsip-prinsip 'batu' yang dianut oleh Lena sebenarnya menyuarakan pendapat perempuan-perempuan yang selama ini sulit berkata apa yang benar-benar ingin dijalaninya. Apa-apa yang sungguh ingin dilakukan perempuan tanpa takut dipandang aneh. Oh iya ada satu pesan Lena yang kurasa perlu kusampaikan; "pesannya untuk kawan-kawannya terutama dirinya sendiri, jika menghadapi pasangan yang selingkuh: get out, don't look back. Hidup ini terlalu singkat untuk dilewatkan dengan orang yang tak setia. Penyelewengan adalah penyakit kambuhan yang harus dibasmi dengan sekali bidik. Selingkuh ibarat ular yang menggigit ekornya sendiri, tak akan berkesudahan".

"Dalam peri kehidupan manusia, sebelum nasib sial menghantam bertubi-tubi, menganggur, tak lolos audisi, kena PHK, kena tipu, utang membelit, prahara rumah tangga, ekonomi sulit, berupa-rupa penyakit tiada jeda menghantam sampai napas tersangkut di tenggorokan, lalu mati, nasib memanjakan manusia dengan satu masa yang hebat: SMA". 

Dimulai sejak ujian masuk SMA, lalu bersekolah di SMA yang sama. Entah berapa puisi Sabari tulis yang pastinya dihiraukan oleh Lena. Entah berapa request lagu di radio yang pastinya tidak digubris oleh Lena. "Khalayak ramai tak habis pikir melihat seorang lelaki hanya terpaku pada satu perempuan, tak dapat dibelok-belokkan ke perempuan lain, seolah dunia ini hanya selebar saputangan Lena".

Jika kisah cinta biasa, laki-laki hanya akan memberi bunga dan coklat. Tapi yang Sabari berikan adalah buku tulis hasil kerja kerasnya memenangkan lomba. Berjam-jam latihan baris berbaris karena Lena suka laki-laki demikian. Menjabat sebagai penggulung kabel di band, juru hapus papan tulis, penunggu pohon akasia, dan segala hal-hal tak masuk akal lain demi merebut perhatian Lena. Namun bagai menjaring angin, jangankan diberi balasan baik oleh Lena, dilirikpun tidak. Perjuangan Sabari, selalu ditolaknya mentah-mentah. Lebih mentah dari getah karet yang mengurai keluar dari pohonnya.

"Filosofi hidupnya adalah mencintai seseorang merupakan hal yang fantastis, meskipun orang yang dicintai itu merasa muak"

Namun, dari seribu jalan yang ditempuh Sabari, dari tumpukan kisah heroiknya memperjuangkan Lena, Sabari pernah hampir menyerah. Ia demam berhari-hari karena gundah gulana, hampir gila kehilangan akal sehat, bahkan sedikit lagi memilih kelar sekolah. "Bagaimana dia bisa ke sekolah kalau sekolah telah menjadi neraka? Dia bertekad meninggalkan sekolah. Bahkan, ayahnya tak bisa membujuknya. Mungkin bagi banyak orang hal itu absurd. Hanya karena cinta? Namun, mengingat banyak orang di dunia ini menjerat leher mereka sendiri karena cinta, bolehlah tindakan Sabari disebut konyol, tetapi tidak luar biasa". 

Entahlah. Aku tak paham. Sebab konsep patah hatiku justru sebaliknya. Konsep patah hatiku mengharuskan aku untuk tetap bangun pagi, menjalani hari dengan letih hati, lalu dipandang aneh sebab lesu punggungku macam dunia hampir longsor seutuhnya. Biarlah. Biarlah dipandang malas hidup dengan tetap lunglai berjalan melewati hari demi hari. Mereka tak paham karena aku merasa tak perlu menjelaskan. Sebab sulit menggambarkan langit runtuh dihadapanku padahal matahari jelas-jelas masih tergantung terang-terang.

Aku tidak kabur. Aku tidak lari. Atau justru sebenarnya kabur dan lariku adalah dengan melanjutkan kehidupan seperti biasa? Toh sebelum patah hati pun hidupku baik-baik saja, jadi aku ingin semua baik-baik saja kembali. Jadi, entah aku atau Sabari, salah satu dari kami menjalani konsep patah hati yang salah.

"Mengapa tak ada hukum yang menjerat orang-orang yang suka main-main dengan cinta? Baginya cinta adalah perbuatan buruk yang dilindungi hukum".

Namun boleh aku jumawa sedikit? Bahkan tanpa perlu menanyakannya, kurasa konsep patah hatiku lebih masuk akal hingga Sabari pada akhirnya menyerah. Ia kalah, dan memilih mencoba konsepku. Meski pada akhirnya, tak ada konsep yang lebih baik antara milikku dan miliknya. Kami tetap sama, kami tetap kalah.

"Dia mau kerja berat membanting tulang. Dia mau tubuhnya hancur setiap pulang kerja, lalu jatuh tertidur lupa diri. Bangun tidur dan bekerja keras lagi. Semua itu karena dia mulai bertekad untuk melupakan Lena. Ini kemajuan. Barangkali semakin dewasa dia semakin bijak".

Salah satu hal yang paling kusukai dari Sabari adalah hobinya yang senang menulis puisi. "Puisi adalah salah satu temuan manusia yang paling indah". Benar. Aku setuju. "Jika dia berkata, matanya bersinar memancarkan kecerdasan berbahasa". Benar. Aku sungguh kagum. "Jangan sungkan berpantun, berpepatah. Pantun adalah madu bahasa, pepatah adalah harta bahasa. Kata-kata itu mencerminkan kualitas watak orang yang menyampaikannya". Benar. Pun aku berpendapat demikian.

Ada satu puisi Sabari yang sangat kusukai; 
Tanpa tempat mengadu, Sabari hanya mengadu pada puisi. Jika dia rindu kepada Lena, berlembar-lembar puisi ditulisnya.
Rindu yang kutitipkan melalui kawan
Rindu yang kutinggalkan di bangku taman
Rindu yang kulayangkan ke awan-awan
Rindu yang kutambatkan di pelabuhan
Rindu yang kuletakkan di atas nampan
Rindu yang kuratapi dengan tangisan
Rindu yang kulirikkan dalam nyanyian 
Rindu yang kusembunyikan dalam lukisan
Rindu yang kusiratkan dalam tulisan
Sudahkah kau temukan?

Sabari tumbuh dan besar dengan puisi bukan dengan sendirinya. Namun ayahnya yang berjasa membawanya pada dunia dimana kata-kata mampu disusun sedemikian indah. "Telah kucoba menulis puisi, namun rupanya hanyalah mereka yang disayangi Tuhan yang mampu menulis puisi. Puisi-puisimu akan menjadi utang asmaraku untukmu". Aih. Bukan main.

Membaca novel ini seperti mengisi baterai pada waktu senggangku. Meski kuperlukan 2 malam full untuk menghabiskannya. Lalu 2 malam full lagi untuk meriewnya. Tak apa. Aku senang melakukannya. Kalau senang, maka aku berada dijalur yang benar. 

Awal-awal membacanya, ceritanya memang pontang panting kesana sini. Membawaku pada dunia satu ke dunia lain. Macam ujung-ujung benang yang kemudian menyatu padu dan rangkaplah semua ceritanya. Ini menjadi semakin dramatis karena pada BAB berjudul Biru, semuanya berlabuh. Indah sekali. Seindah warna biru itu sendiri. 

Maka akan kututup saja review panjang lebar ini dengan; "cinta sejati akan melemparkanmu pada sebuah tempat yang dari situ kau dapat melihat segala sesuatu dalam hidupmu dengan jernih". Aku harap kalian bisa cepat-cepat membacanya. Lalu tenggelam dalam kisah Sabari sang "ayah".



Minggu, 22 Maret 2020

MENUJU SAITAMA DAN MELAMPAUINYA

2 Maret 2020, 8:40, 6° setelah mengendarai sepeda melewati hujan dan sekarang sedang duduk di depan loker kerja. Beberapa menit menuju zengtaichourei (apel pagi) perusahaan. Agak deg-degan sedikit, sebab harus memperkenalkan diri di depan karyawan-karyawan di sini. Doakan. Nanti aku akan kembali dan menulis lagi.

23:34, masih di hari yang sama. Aku masih mengenakan kacamata, sebab baru selesai mengerjakan nikki (buku harian) dan memutuskan untuk datang ke sini. Sekarang lampu sudah padam, Jeje (teman magangku) sudah terpejam dalam selimutnya. Ah, perihal zengtaichourei, semua berjalan dengan lancar. Kami maju ke depan dan memperkenalkan diri sebagai pemagang Indonesia. Deg-degan? Tentu saja. Meski hanya kuucap, ohayou gozaimasu, Alya-desu. Yoroshiku onegaishimasu.

Baiklah mari kita mundur ke beberapa hari ke belakang. 13 Februari 2020, aku pindahan dari Toride, Ibaraki ke Hongjo, Saitama. Jaraknya ibarat Cikarang-Bandung, pun macam naik bus patas antar kota. Memang beneran naik bus, btw. Bedanya di sini kudu-wajib-harus pakai seatbelt, jadi lebih aman. Selama perjalanan tidak boleh berdiri. Dengan kata lain; jangan bar-bar.

Aku ingat betul bahwa sebelum masuk bis menuju Saitama, kami dibekali dengan meronpan, roti stroberi, dan sebotol air mineral. Hingga detik ini, sebotol air mineral itu adalah air mineral kemasan pertama dan terakhir yang pernah kuminum selama di Jepang. Kenapa? Karena aku selalu minum air kran wkwk air yang sama untuk air mencuci piring. Jadi derajatku kurang-lebih setingkat dengan piring kotor bekas makan yang ditumpuk di westafel. ENGGA IH GAK GITU:( Kan memang air kran di Jepang bisa diminum. Buktinya aku masih hidup, baik-baik saja, sehat, ceria, serta penuh suka cita.

Masih perkara air, walaupun sama-sama air kran, rasa air kran Toride dan Hongjo tuh beda. Air kran Toride lebih enak, dan dari segi warnapun lebih jernih. Air kran Hongjo butek dulu, lalu jadi jernih setelah beberapa saat wkwk ini gimana jelasinnya coba:( ya gitulah pokoknya. Padahal Hongjo nih desa banget jadi sempat bingung kenapa justru air krannya aneh. Tapi, anehnya, dari semua orang, ada satu yang berpendapat kalau Honjo punya air lebih bagus. Reksa, namanya. Sudah pasti lidahnya yang salah. Dari semua orang, hanya dia yang berpendapat demikian. Maka yang aneh sudah pasti dia. Yang salah juga dia. Lalu setelah diingat-ingat mengapa air kran Toride lebih enak, pengolahan sampah Toride jauh lebih kibishii (kejam) daripada Hongjo.

Setiap mengingat pengolahan sampah Toride, statement-ku masih sama; kalau Indonesia menerapkan pengolahan sampah macam Toride maka kurasa sebagian besar masalah negriku akan selesai. Bukan hanya dipisah antara organik dan non-organik, botol, kaleng, dsb tapi setiap kemasan yang mengandung makanan maupun minuman, sisanya harus dicuci dulu sebelum masuk bak sampah. Jadi misal aku makan ciki-ciki-an nih atau minum susu kartonan nah kemasannya itu harus dibongkar dulu, dibilas air, baru dibuang.

Sebagian besar teman-temanku sekarang lebih memilih untuk memasak airnya dulu sebelum diminum. Hanya aku dan kak Febi (teman magangku) yang tetap istiqamah minum langsung dari kran. Alhamdulillah semenjak kenal kak Febi, aku jadi tahu bahwa di dunia ini ada manusia yang lebih jarang mandi daripada aku. Rasanya seperti bertemu dengan guru yang lebih jelas visi misinya dalam kejorokan.

Kalau dihitung hari, maka ini hari ke-37-ku di Hongjo. Terhitung sejak 13 Februari hingga sekarang 21 Maret dimana note ini baru kubuka kembali. Banyak hal berubah, terutama rumah. Rumah baruku lebih baik. Sangat amat jauh lebih baik. Mulai dari segi design, luas, hingga fasilitas. Bahkan sebelum memasukinya aku sudah jatuh cinta. Selain rumah, aku punya 3 hal lain yang kusukai setelah pindahan; sepeda, WiFi pocket, dan setrikaan.

Sepedanya berwarna putih, bernomor 13, memiliki keranjang di depannya, dan boncengan di belakangnya. Tapi hukum di Jepang melarang naik sepeda berboncengan. Jadi selain untuk barang, boncengan itu hanya pajangan saja. Tidak bisa romantis-romantisan sepedaan berdua. Aku juga baru tahu kalo Jepang se-pro ini sama jomblo.

Kunci sepedanya kuberi gantungan kerang berwarna putih dengan mutiara sebagai pemanis. Cantik sekali, setidaknya, menurutku. Karena sekarang aku sedang di Jepang, aku rasa perlu mencari bahasa Korea-nya kerang (?) Dan ternyata bahasa Korea-nya kerang adalah keobtegi. Lucu:3 setidaknya, menurutku. Jadi kunamakanlah sepedaku demikian; keobtaegi.

Perihal WiFi pocket, ini sudah seperti nyawaku. Karenanya aku bisa mengakses internet. Mengakses internet berarti aku bisa menghubungi keluargaku, bertukar kabar dengan teman-temanku, sambat di twitter, hingga update tulisan di blog macam ini. Soal setrikaan, waktu di Toride we can't afford that thing so its nice to meet setrikaan here xixi.

Soal kehidupanku di tempat baru ini, hal pertama dan paling terlihat berbeda adalah; pemandangan. Bahkan saat masih diperjalanannyapun kami sudah ribut, "ko makin pedalaman ya?" WKWKW. Berbeda dengan Toride yang kanan-kirinya gedung-gedung, Hongjo mah dusun haha. Tapi anehnya justru kehidupanku di Hongjo lebih modern. Ya tapi sedusun-dusunnya Jepang juga inimah setara Jakarta-nya Indonesia. Dan karena seumur hidupku di Cikarang pemandangan yang bisa kulihat hanya angkot dan jalanan rusak, bisa tinggal di Hongjo adalah sebuah nikmat tiada tara.

Kalau perlu kudeskripsikan, maka pemandangan Honjo tuh kira-kira seperti ini; gunung berjejer gagah, sawah terhampar luas, semenanjung sungai dengan barisan pohon sakura...mantap dah pokoknya. Jadi pagi-pagi sejak berangkat kerja hingga parkiran sepeda viewnya wallpaper-able sekali. Belum lagi langitnya yang super bersih. Malaikat rasa-rasanya rajin sekali sapu menyapu di Jepang. Aku sempat berpikir, saat Allah menciptakan  Jepang, kurasa Ia sedikit pilih kasih. Namun Allah Maha Adil, maka sama seperti Indonesia, Jepang juga pasti banyak jeleknya. Bedanya kejelekan Indonesia sudah mengakar jadi susah dicabutnya.

Langit malamnya juga cantik bertabur bintang. Andai Adinda (temanku) ada di sini, dia pasti betah berlama-lama menatapnya. Kesukaanku adalah langit sorenya yang penuh warna dari biru ke pekat lalu kuning ke orange; megah sekali. Saat melihatnya kurasa Allah ingin berkomunikasi denganku; bahwa aku sudah berusaha dan melakukan yang terbaik, ayo berusaha lagi dan terus membaik.

Aku harap, langit manapun yang kamu tatap selalu mampu mendatangkan senyum pada lelahnya berjuangmu. Aku harap, meski lebih banyak langit mendung yang kamu lihat, kamu tetap percaya hari-hari lain yang akan datang. Hari-hari dimana bukan langit cerah yang menghiburmu, namun justru kamulah yang menghibur langit. Membuatnya bangga bisa menaungi semangatmu. Langit tahu, dia merekam semua lelahmu. Langit tahu, dia hanya perlu sedikit waktu untuk hadiah dari kerja kerasmu. Langit tahu, jadi ayo berusaha lagi dan terus membaik bersama.

Minggu, 01 Maret 2020

LAYAR TERKEMBANG

"Anak-anak muda sekarang suka benar menyebut perkataan berbahagia. Pada hal yang dinamakan berbahagia itu tiada diketahuinya"

Hongjou, Saitama. 23 Februari 2020.

Alhamdulillah akhirnya aku punya waktu untuk bermalas-malasan seharian. Beneran seharian yang bikin aku cuma rebahan, twitteran, gorogoro (rebahan), nonton, hingga sadar sudah sore. Semangat Alya sebentar lagi kamu sukses menyia-nyiakan waktu satu hari penuh.

Tapi ternyata sebelum beneran sukses seharian, sedikit sadar diri ada hal yang perlu disampaikan. Ada janji yang perlu dituntaskan. Lebih-lebih teringat sempat ada chat WA yang mengingatkan dengan pertanyaan, "udah bikin review Layar Terkembang?". Nah. Kuputuskan untuk menulisnya sekarang.

Sejujurnya membuat review yang 'tertunda', alias tidak langsung dikerjakan saat selesai membaca novelnya itu seperti jam pasir yang semakin lama semakin habis berjatuhan ke bawah. Sebab ceritanya memudar di otak, jadi harus membaca ulang untuk memastikan. Sementara kasusku, novelnya sudah tidak ditanganku. Sudah kembali pada empunya. Jadi untuk memastikannya sekali lagi, aku sudah tidak bisa.

Baiklah sudah selesai curhat, pembelaan, dan beribu alasannya. Mari kita mulai reviewnya. Sudah sering mendengar perihal novel Layar Terkembang inikah? Salah satu karangan Alisyahbana. Aku lupa terbitnya tahun berapa, jadi tunggu sebentar, aku cari dulu. Sempat kufoto covernya sebelum kukembalikan.

Cetakan pertamanya terbit tahun 1937, dan yang kupegang adalah cetakan ke-15-nya: terbit tahun 1984. Novel ini hasil pinjaman dari Alu (teman suka membacaku di Jepang). Alu, makasih ya pinjamannya yang menyegarkan otak, membuat pikiran terbuka, membuat pandangan-pandangan baru untuk hidupku.

Khusus untuk novel ini, rasanya aku tidak perlu banyak berkomentar. Membacanya seperti menggantikanku berbicara. Semua yang tertulis pada novel ini, bisa dibilang merangkum suara-suara dan pendapatku soal perempuan. Layar Terkembang, yang telah berumur 83 tahun, mampu menyuarakan hak-hak perempuan yang hingga sekarang masih terinjak-injak. Membuatku berpikir dan bertanya-tanya, apakah kita sebegitu tak berkembangnya? Sebegitu malaskah kita untuk berubah menjadi lebih baik?

"Ia yakin benar-benar, bahwa keadaan perempuan bangsanya amat buruk. Dalam segala hal makhluk yang tiada mempunyai kehendak dan keyakinan, manusia yang terikat oleh beratus-ratus ikatan, manusia yang hanya harus menurut kehendak kaum laki-laki," -Tuti.

Karakter utama novel ini adalah Tuti. Sosok perempuan pejuang yang memerjuangkan perempuan-perempuan lain. Menjadi wakil kaumnya untuk teriak-teriak meminta kesetaraan akan hak-haknya. 

"Sampai sekarang masih dapat dihitung berapa jumlahnya perempuan yang sesungguhnya bebas berdiri sendiri memakai pikiran dan timbangannya sendiri, yang berani bertanggungjawab akan segala perbuatannya".

"Untuk menjaga supaya perempuan insyaf akan kedudukannya, akan nasibnya yang nista itu, maka diikat oranglah ia dengan bermacam-macam ikatan: bermacam-macam adat, kebiasaan, dan nasehat". DEG!! LOUDER MISS LOUDERRR. Sungguh terharu bisa membaca kalimat-kalimat yang tidak mampu ku susun dengan baik namun tersampaikan dengan cantik di novel ini.

"Perempuan dikurung orang dalam rumah sampai bersuami, tidak boleh berjalan kemana sekehendaknya. Segalanya itu namanya melindungi perempuan dari kejahatan dan aib, tetapi pada hakikatnya segalanya itu melemahkan perempuan. Ia terpencil dari dunia, pengalamannya kurang dan seluk beluk dunia tiada diketahuinya". Well, sekarang kita sudah lebih bebas sih. Sepertinya. Setidaknya perempuan-perempuan dilingkunganku. Masalahnya Indonesia ini luas, dunia ini luas, dan setiap sudutnya ada perempuan-perempuan lain yang perlu diselamatkan.

"Dan dari perempuan yang telah dimatikan semangatnya serupa itu orang masih berani berharap lahirnya suatu keturunan yang kuat. Adakah, saudara-saudara, permintaan yang lebih gila daripada itu?" YEAY TUTI!!! HER WORDS DESERVES AN OSCAR.

Tuti nih perempuan super sibuk yang dimana-mana rapat, orasi sanasini, pokoknya kalau ditanya untuk apa masa mudanya dihabiskan, maka tak akan habis diceritakan kisahnya. Kontras yang membuat novel ini menjadi lebih menarik adalah penekanan perbedaan sifat yang dimiliki adiknya Tuti; Maria. Maria diceritakan memiliki kepribadian yang bertolak belakang dengan Tuti; ceria, supel, bawel, pokoknya pelangi deh warna warni. Sementara Tuti lebih ke hitam-putih; serius, pendiam, gitu deh. Selain mereka, ada pacarnya Maria yang juga punya peran penting pada novel ini. Berhari-hari kucoba mengingat namanya namun nihil. Aku tak ingat namanya:(

Dikisahkan Tuti yang superior itu menolak lamaran seorang laki-laki karena ia merasa dikekang jika sulit menerima izin untuk pergi-pergian. Padahal pergi yang Tuti lakukan adalah jalan hidupnya; pengorbanannya akan kecintaannya pada perjuangan. "Percintaan harus berdasar atas dasar yang nyata: sama-sama menghargai. Perempuan tidak harus mengikat hati laki-laki oleh karena penyerahannya yang tiada bertimbang dan bertangguh lagi. Perempuan tiada boleh memudahkan dirinya. Ia harus tahu dimana watas haknya terlanggar dan sampai mana ia harus minta dihormati dari pihak yang lain".

Pada saat itu, umur Tuti sudah hampir 30 dan belum kunjung menikah. Bisa dibayangkan betapa banyak cibiran untuknya, terutama pada zaman itu perempuan rata-rata nikah muda. Jangankan 30, angka 20 sudah dianggap aib. "Selalu ia berkata, apabila pernikahan menjadi ikatan baginya, bagi cita-cita dan pekerjaan hidupnya, biarlah seumur hidupnya ia tidak menikah. Hanya satu pendirian itu saja yang sesuai dengan akal sehat".

"Saya takut kalau-kalau ia menjadi korban kecakapannya. Ia hanya dapat hidup bersama-sama dengan orang yang luar biasa seperti ia pula. Orang biasa tiada akan mengerti sikap hidupnya yang terang dan nyata itu". Jadi seakan-akan tiada laki-laki yang kecakapannya mampu mengimbangi Tuti. Fakta itu tidak membuat Tuti merasa tinggi, ia yang serba tangguh itu didalam hatinya merasa takut.

"Sebentar tiada kuasa, sebagai orang yang putus asa merasa kekalahannya, sebentar sebagai seorang yang menang, yang dengan insyaf tahu apa yang akan harus dibuatnya dan telah mengambil keputusan tiada akan berbuat sesuatu yang berlawanan dengan pikirannya".

"Pikirannya sering melayang-layang tidak tentu arahnya. Sering ia merasa dirinya gelisah, tetapi apa sebabnya tidak dapat diselidikinya. Kadang-kadang memberat rasa hatinya dan selaku menghilanglah tempat ia berpegang dan berjejak. Lemah terasa olehnya dirinya hilanglah kepercayaannya akan kesanggupan dan kecakapannya. Tetapi apabila ia selaku orang yang berputus asa demikian, dikumpulkannya tenaganya dan dikeraskannya hatinya: perasaan ini harus hilang, harus hilang, saya tidak boleh dialahkannya".

"Sebenarnya telah terlampau berat pekerjaan yang dipikulkan orang kepadanya. Tetapi hal itu telah jamaknya demikian. Dan meskipun ia tahu bahwa pekerjaan yang diserahkan kepadanya itu berat, ia tiada hati sampai menolaknya, apalagi karena ia was-was, pekerjaan yang sebulat itu memenuhi hatinya kelak akan terserah ke orang lain, yang tiada akan bersungguh-sungguh melangsungkannya. Tetapi oleh itu pulalah ia terpaksa memakai tenaganya lebih-lebih dari biasa".

Entahlah...bagaimana harus kujelaskan? Sederhananya aku pernah ada diposisi itu. Posisi yang sama; dimana tak seorangpun kupercaya untuk turut serta dalam tanggungjawab yang harusnya tidak dipikul sendiri. Terlalu egois dan tidak memercayai kecakapan orang lain. Tenggelam dalam penilaian pribadi yang dirasa akan dan selalu berusaha memberikan, mengusahakan, dan menghasilkan yang terbaik. Standarku adalah segalanya. Betapa bodoh masa lalu kuhabiskan.

"Tetapi sebagai orang yang gembira berjuang, perasaan kecewa itu di dalam kalbunya menjelma menjadi pendorong baginya untuk lebih kuat berusaha dan bekerja".

"Tetapi kita sebagai golongan mereka yang insyaf menunjukkan jalan yang baru, tidak boleh sangsi-sangsi. Kita harus menyatakan sesuatu senyata-nyatanya. Sesuatu yang baik hanya mungkin baik, sesuatu yang jelek hanya mungkin jelek."

Baca novel ini seperti menerima nasihat dari seorang buyut pada cucunya untuk lebih menghargai kehidupan. Seperti mendengarkan dongeng sebelum tidur tentang mimpi-mimpi Tuti yang menggebu-gebu. Seperti melihat Indonesia lebih dalam, Indonesia yang kaya akan bahasanya. Membaca ceritanya seperti membaca puisi ditiap halamannya. 

Banyak sekali pesan-pesan perihal hidup yang disampaikan pada novel ini. Tidak hanya sebatas perjuangan, namun juga cinta, keluarga, lingkungan, bahkan agama. Banyak sindiran-sindiran yang mampu mengusik hati kecil agar lebih berkaca dan memperbaiki diri.

Epilog:
"Sembahyang jugakah, Tuan?"
"Saya? Ah, bukankah agama itu pekerjaan orang yang telah pensiun? Saya pun menanti saya pensiun dahulu, baru akan sembahyang..."

"Itulah hakekat yang sebenarnya pada kebanyakan kaum priyayi atau terpelajar. Agama itu dikerjakan, apabila tak ada suatu apalagi yang diharapkan dari hidup ini. Jika sudah berputus asa akan hidup, barulah mencari agama. Pada agama diredakannya perasaan takutnya akan mati, yang datang mendekat tiada terelakkan lagi. Tidak peduli ia tiada tahu, apa yang disebut dan diucapkannya, tapi dalam perbuatan yang tiada diketahuinya, yang oleh karena itu baginya mengandung rahasia itu, diredakannya perasaan takutnya akan rahasia mati yang nyata kelihatan kepadanya mengancamnya".