Sc: Google |
“Segala hal dalam hidup ini terjadi tiga kali, Boi. Pertama lahir, kedua hidup, ketiga mati. Pertama lapar, kedua kenyang, ketiga mati. Pertama jahat, kedua baik, ketiga mati. Pertama benci, kedua cinta, ketiga mati. Jangan lupa mati, Boi.”
29 Maret 2020, 01:07 waktu Hongjo, Saitama. Saat ini, mempertimbangkan waktu yang sedang berjalan, tentu saja bisa ditebak aku sedang rebahan di atas kasur. Ditemani lagu dari Joox yang mengiringiku mengetik. Merdu suara penyanyi kadang terhenti untuk mendengar Tokopedia jual barang, kadang entahlah apa pokoknya harus menunjukkan bahwa aku bukan pengguna premium jadi terimalah nasib yang ada.
"Cinta adalah kata yang asing. Cinta adalah racun manis penuh tipu muslihat. Cinta adalah burung merpati pada topi pesulap. Cinta adalah tempat yang jauh, sangat jauh, dan urusan konyol orang dewasa".
Aku baru saja selesai membaca novel Ayah karya Andrea Hirata. Alasan mengapa aku bisa melabuhkan senggang pada novel ini karena salah seorang temanku yang tak suka membaca mengatakan bahwa ia berhasil menyelesaikan novel Ayah yang tebalnya tak kurang dari 300 halaman. Saking tak sukanya membaca, ia hanya akan membaca posting blog-ku kalau ada namanya. Maka aku tak mau kalah, jadi meski aku membahasnya, tak akan kutulis namanya pada postingan ini meski hanya panggilannya. Biarlah ia tak perlu tahu ada tulisan ini, tak perlulah ia membacanya.
Aku ingat-ingat bagaimana novel ini sejak dulu punya tempat khusus dihatiku. Sejak dari judul, aku memang punya ekspektasi tinggi terhadap novel ini. Sebab sejak dalam tetralogi Laskar Pelangi hingga Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas, rangkaian kata Andrea Hirata saat mengisahkan seorang "ayah" sungguh fantastis. Tak habis-habis aku dibuatnya kagum. Berderai-derai pengorbanan "ayah" yang Andrea ceritakan, berderai-derai pula terharuku.
Masih kuingat perjuangan Zamzami, ayah Enong pada Padang Bulan. Seorang ayah sederhana yang hidupnya hanya ia dedikasikan pada keluarga. Sempat mengenalnya merupakan salah satu pengalaman yang indah sekaligus mengharukan. Sebab Zamzami diceritakan meninggal, tertimbun timah, terhujam ke dalam tanah galian, ia sudah tak ada. Ia pergi dengan sejuta inspirasi untukku. Kini, aku mengenal sosok ayah baru yang juga menginspirasiku; Sabari.
Sabari, namanya. Dinamai demikian agar ia memiliki sifat sabar seperti namanya. Sabari bin Insyafi, lengkapnya. Sungguh nama memang sebuah doa, kongsi terang-terangan antara Tuhan dan orang tua. Maka tumbuh, besar, dan hiduplah Sabari sesuai dengan namanya.
Ditimpa musibah, ia senyum. Ditolak mentah-mentah, ia mengais-ngais syukur. Dicemooh, ia acuh. Dipandang rendah, ia sadar diri. Memang tak ada bagus-bagusnya ia sebagai manusia kecuali sifat sabarnya. Sifat sabarnya itu yang selalu menyelamatkannya berkali-kali. Membuatnya berusaha dua-tiga-bahkan empat puluh kali lipat dibanding orang lain. Membuat juangnya tak pandang lelah, terus mencoba. Gagal, bangun. Jatuh, berdiri. Tersungkur, merangkak. Tumbang, terseok-terseok bangkit. Begitulah Sabari diceritakan.
Berbeda dengan ayah lain, Sabari menjadi ayah tanpa perlu jadi ayah. Kalau kalian tak paham, pun aku tak paham bagaimana cara menceritakannya. Jadi kusarankan untuk membacanya sendiri. Bacalah, dan terkagum-kagumlah pada tokoh Sabari yang menjadi peran utama pada novel ini.
"Tuhan selalu menghitung, dan suatu ketika, Tuhan akan berhenti menghitung".
Diceritakan Sabari hanya mencintai sekali, pada hanya seorang perempuan, hingga mati menjemputnya. Marlena binti Markoni, perempuan manis berlesung pipit, pemberontak, pecontek kelas kakap, berpendirian batu sekeras karang. Sungguh tidak ada bagus-bagusnya jika kudeskripsikan demikian, namun begitulah adanya. Namun sejelek-jeleknya Lena diceritakan, ia adalah perempuan yang membuatku takjub atas jalan hidupnya.
"Lena bukanlah tipe lampu hijau, lampu kuning, lampu merah. Dia hanya akan memperingatkan sekali, setelah itu tiada maaf, khatam, tamat, the end, finito, game over". Lena adalah perempuan merdeka yang mampu bertanggungjawab atas pilihan-pilihan yang ia ambil dalam menjalani kehidupan. "Dapat mengambil keputusan sendiri adalah kemerdekaan yang indah" begitulah kuatnya karakter Lena. "Aku tak menyangkal bahwa banyak peristiwa masa lalu yang kusesali sekarang. Karena waktu itu aku muda, bodoh, dan marah. Namun, bukankah kita tidak benar-benar hidup jika kita tidak hidup tanpa penyesalan?".
Prinsip-prinsip 'batu' yang dianut oleh Lena sebenarnya menyuarakan pendapat perempuan-perempuan yang selama ini sulit berkata apa yang benar-benar ingin dijalaninya. Apa-apa yang sungguh ingin dilakukan perempuan tanpa takut dipandang aneh. Oh iya ada satu pesan Lena yang kurasa perlu kusampaikan; "pesannya untuk kawan-kawannya terutama dirinya sendiri, jika menghadapi pasangan yang selingkuh: get out, don't look back. Hidup ini terlalu singkat untuk dilewatkan dengan orang yang tak setia. Penyelewengan adalah penyakit kambuhan yang harus dibasmi dengan sekali bidik. Selingkuh ibarat ular yang menggigit ekornya sendiri, tak akan berkesudahan".
"Dalam peri kehidupan manusia, sebelum nasib sial menghantam bertubi-tubi, menganggur, tak lolos audisi, kena PHK, kena tipu, utang membelit, prahara rumah tangga, ekonomi sulit, berupa-rupa penyakit tiada jeda menghantam sampai napas tersangkut di tenggorokan, lalu mati, nasib memanjakan manusia dengan satu masa yang hebat: SMA".
Dimulai sejak ujian masuk SMA, lalu bersekolah di SMA yang sama. Entah berapa puisi Sabari tulis yang pastinya dihiraukan oleh Lena. Entah berapa request lagu di radio yang pastinya tidak digubris oleh Lena. "Khalayak ramai tak habis pikir melihat seorang lelaki hanya terpaku pada satu perempuan, tak dapat dibelok-belokkan ke perempuan lain, seolah dunia ini hanya selebar saputangan Lena".
Jika kisah cinta biasa, laki-laki hanya akan memberi bunga dan coklat. Tapi yang Sabari berikan adalah buku tulis hasil kerja kerasnya memenangkan lomba. Berjam-jam latihan baris berbaris karena Lena suka laki-laki demikian. Menjabat sebagai penggulung kabel di band, juru hapus papan tulis, penunggu pohon akasia, dan segala hal-hal tak masuk akal lain demi merebut perhatian Lena. Namun bagai menjaring angin, jangankan diberi balasan baik oleh Lena, dilirikpun tidak. Perjuangan Sabari, selalu ditolaknya mentah-mentah. Lebih mentah dari getah karet yang mengurai keluar dari pohonnya.
"Filosofi hidupnya adalah mencintai seseorang merupakan hal yang fantastis, meskipun orang yang dicintai itu merasa muak"
Namun, dari seribu jalan yang ditempuh Sabari, dari tumpukan kisah heroiknya memperjuangkan Lena, Sabari pernah hampir menyerah. Ia demam berhari-hari karena gundah gulana, hampir gila kehilangan akal sehat, bahkan sedikit lagi memilih kelar sekolah. "Bagaimana dia bisa ke sekolah kalau sekolah telah menjadi neraka? Dia bertekad meninggalkan sekolah. Bahkan, ayahnya tak bisa membujuknya. Mungkin bagi banyak orang hal itu absurd. Hanya karena cinta? Namun, mengingat banyak orang di dunia ini menjerat leher mereka sendiri karena cinta, bolehlah tindakan Sabari disebut konyol, tetapi tidak luar biasa".
Entahlah. Aku tak paham. Sebab konsep patah hatiku justru sebaliknya. Konsep patah hatiku mengharuskan aku untuk tetap bangun pagi, menjalani hari dengan letih hati, lalu dipandang aneh sebab lesu punggungku macam dunia hampir longsor seutuhnya. Biarlah. Biarlah dipandang malas hidup dengan tetap lunglai berjalan melewati hari demi hari. Mereka tak paham karena aku merasa tak perlu menjelaskan. Sebab sulit menggambarkan langit runtuh dihadapanku padahal matahari jelas-jelas masih tergantung terang-terang.
Aku tidak kabur. Aku tidak lari. Atau justru sebenarnya kabur dan lariku adalah dengan melanjutkan kehidupan seperti biasa? Toh sebelum patah hati pun hidupku baik-baik saja, jadi aku ingin semua baik-baik saja kembali. Jadi, entah aku atau Sabari, salah satu dari kami menjalani konsep patah hati yang salah.
"Mengapa tak ada hukum yang menjerat orang-orang yang suka main-main dengan cinta? Baginya cinta adalah perbuatan buruk yang dilindungi hukum".
Namun boleh aku jumawa sedikit? Bahkan tanpa perlu menanyakannya, kurasa konsep patah hatiku lebih masuk akal hingga Sabari pada akhirnya menyerah. Ia kalah, dan memilih mencoba konsepku. Meski pada akhirnya, tak ada konsep yang lebih baik antara milikku dan miliknya. Kami tetap sama, kami tetap kalah.
"Dia mau kerja berat membanting tulang. Dia mau tubuhnya hancur setiap pulang kerja, lalu jatuh tertidur lupa diri. Bangun tidur dan bekerja keras lagi. Semua itu karena dia mulai bertekad untuk melupakan Lena. Ini kemajuan. Barangkali semakin dewasa dia semakin bijak".
Salah satu hal yang paling kusukai dari Sabari adalah hobinya yang senang menulis puisi. "Puisi adalah salah satu temuan manusia yang paling indah". Benar. Aku setuju. "Jika dia berkata, matanya bersinar memancarkan kecerdasan berbahasa". Benar. Aku sungguh kagum. "Jangan sungkan berpantun, berpepatah. Pantun adalah madu bahasa, pepatah adalah harta bahasa. Kata-kata itu mencerminkan kualitas watak orang yang menyampaikannya". Benar. Pun aku berpendapat demikian.
Ada satu puisi Sabari yang sangat kusukai;
Tanpa tempat mengadu, Sabari hanya mengadu pada puisi. Jika dia rindu kepada Lena, berlembar-lembar puisi ditulisnya.
Rindu yang kutitipkan melalui kawan
Rindu yang kutinggalkan di bangku taman
Rindu yang kulayangkan ke awan-awan
Rindu yang kutambatkan di pelabuhan
Rindu yang kuletakkan di atas nampan
Rindu yang kuratapi dengan tangisan
Rindu yang kulirikkan dalam nyanyian
Rindu yang kusembunyikan dalam lukisan
Rindu yang kusiratkan dalam tulisan
Sudahkah kau temukan?
Sabari tumbuh dan besar dengan puisi bukan dengan sendirinya. Namun ayahnya yang berjasa membawanya pada dunia dimana kata-kata mampu disusun sedemikian indah. "Telah kucoba menulis puisi, namun rupanya hanyalah mereka yang disayangi Tuhan yang mampu menulis puisi. Puisi-puisimu akan menjadi utang asmaraku untukmu". Aih. Bukan main.
Membaca novel ini seperti mengisi baterai pada waktu senggangku. Meski kuperlukan 2 malam full untuk menghabiskannya. Lalu 2 malam full lagi untuk meriewnya. Tak apa. Aku senang melakukannya. Kalau senang, maka aku berada dijalur yang benar.
Awal-awal membacanya, ceritanya memang pontang panting kesana sini. Membawaku pada dunia satu ke dunia lain. Macam ujung-ujung benang yang kemudian menyatu padu dan rangkaplah semua ceritanya. Ini menjadi semakin dramatis karena pada BAB berjudul Biru, semuanya berlabuh. Indah sekali. Seindah warna biru itu sendiri.
Maka akan kututup saja review panjang lebar ini dengan; "cinta sejati akan melemparkanmu pada sebuah tempat yang dari situ kau dapat melihat segala sesuatu dalam hidupmu dengan jernih". Aku harap kalian bisa cepat-cepat membacanya. Lalu tenggelam dalam kisah Sabari sang "ayah".